Senin, 08 Februari 2010

Kuliah 1

ALIRAN DAN BEKERJANYA HUKUM

Sebagai sebuah ilmu yang bersifat praksis, sosiologi hukum menganalisis hukum secara luas. Hukum itu memang tidak bisa dimaknai secara sempit dalam bentuk undang-undang semata, akan tetapi proses kelahiran sebuah undang-undang dan dampak berlakunya sebuah undang-udang (peraturan) dalam masyarakat pun perlu dikaji. Sehingga masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan sebuah peraturan. Atau hukum menghadirkan kebahagiaan dalam masyarakat. Untuk mengawali pembahasan dalam mata kuliah ini kita akan mengenali hukum itu lebih dekat, sehingga kita tidak menyimpulkan bahwa hukum itu sama dengan produk perundang-undangan.

1. ALIRAN DALAM HUKUM
Aliran pemikiran hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia sering dilihat sebagai suatu jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran yang dominan pada suatu waktu. Aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum itu secara konvensional (Barat) dibedakan atas;
1. Hukum Alam
Hukum alam tumbuh di Yunani dan Romawi yang di kedua negara tersebut memiliki perbedaan dalam penerapannya. Karena memang hukum alam ini tidak tunggal. Pemikiran Yunani tentang Hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan Romawi lebih praktis dan mengaitkan hukum alam dengan hukum positif. Tiga tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari Yunani adalah Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa berhukum itu untuk menciptakan keadilan, baik keadilan korektif atau distributif. Tokoh dari Romawi adalah Cicero yang menyatakan konsepnya true law (hukum yang benar) harus berdasarkan pada penalaran yang benar (right reason).
Hukum alam sebagai metode selalu berusaha untuk menciptakan aturan-aturan yang mampu menghadapi keadaan yang berbeda-beda. Ia tidak mengandung kaidah, tetapi hanya mengajarkan bagaimana membuat aturan yang baik. Hukum alam secara substansi merupakan hukum alam yang membuat kaidah-kaidah. Ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dari beberapa asas yang absolut sifatnya yang dikenal dengan Hak Azasi Manusia.
2. Positivisme
Aliran positivisme berakar dari filsafat Yunani yakni Epicurus. Sementara itu positivsme dari aliran hukum mendapat banyak pengaruh dari positivisme sosiologis yang dimotori oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Kaum positivis menganut paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Dalam kajian sains hanya ada satu saja metode untuk menghasilkan kesimpulan yang lugas, yakni metode scienties. Mempelajari benda-benda mati dalam ilmu Fisika sama halnya dengan mempelajari manusia yang memiliki jiwa dan ruh. Perilaku pada ranah yang berbeda itu sama-sama dikontrol oleh hukum sebab akibat yang berlaku universal. Menurut Rousseau, positivisme sepertinya hendak menyatakan bahwa manusia-manusia itu memang dilahirkan sebagai makhluk bebas, akan tetapi di dalam kehidupan yang nyata di masyarakat mereka akan menemukan dirinya terikat dimana-mana. Kehidupan manusia dikontrol dan dikuasai oleh seperangkat hukum positif yang lengkap dan tuntas serta bersanksi, sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa law is society. Hukum dipositifkan dengan statusnya yang tertinggi diantara berbagai norma (the supreme state of law), yang teridri dari pernyataan tentang berbagai perbuatan yang didefinisikan sebagai “fakta hukum” dengan konsekuensinya yang disebut “akibat hukum”.
Perkembangan hukum yang diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara bangsa yang modern ini mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian dalam pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib itu. Hukum menurut modelnya yang baru ini diperlukan para reformis untuk mengatasi kesemena-menaan para penguasa otokrat yang mengklaim dirinya sebagai secara sepihak sebagai penegak hukum yang bersumber dari kekuasaan Ilahi yang maha Sempurna.
Dari sinilah berawal pemikiran yang mengetengahkan dan memperjuangkan ide bahwa apa yang dimaklumatkan sebagai hukum harus mempunyai statusnya yang positif dalam arti telah disahkan tegas-tegas (positif) sebagai hukum dengan membentuknya dalam wujud produk perundang-undangan. Inilah pemikiran positivisme yang berkembang pasca revolusi Perancis yang serta merta menolak segala pemikiran yang serba metafisik dan menolak praktik-praktik penyelenggaraan tertib kehidupan atas dasar rujukan yang metayuridis. Inilah tipe hukum yang dikenal dengan istilah hukum undang-undang. Setiap unsur-unsur yang ada di dalamnya ditandai dengan penomoran. Setiap unsur ini terbaca sebagai aturan berupa kalimat yang menyatakan ada tidaknya sutau peristiwa atau perbuatan tertentu (disebut dengan fakta hukum), yang disusul dengan pernyataan tentang apa yang akan menjadi akibatnya (akibat hukum). Sehingga dalam khazanah peristilahan hukum nasional modern, setiap baris aturan dalam setiap undang-undang disebut norma-norma positif dan keseluruhannya disebut dengan hukum positif. Jaminan akan berlakunya kepastian hukum, demi terwujudnya keteraturan dalam kehidupan nasional yang diupayakan lewat langkah-langkah poistivisasi dan sistematisasi.
Hukum nasional yang menganut ajaran positivisme yang marak di Barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 18 ini kemudian dikenali sebagai hukum positif dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan. Berawal dari sini lahirnya hukum nasional yang dituliskan atas dasar konsep-konsep kaum positivis yang akan dirawat oleh sebarisan hukum yang profesional. Dari sini awal mula hukum sebagai norma-norma penata tertib yang tidak menjadi bahasan para filosof dan atau kaum moralis, melainkan kian berlanjut ke para ahli hukum penggunanya (ahli hukum, the lawyers) dan atau pengkajinya yang ilmuwan (sarjana hukum, jurist). Dari sini lahirlah kajian ilmu baru yang disebut dengan ilmu hukum tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang mengikuti norma-norma.
Kritik terhadap paham legisme diberikan oleh kelompok Critical Legal Study (CLS) yang sejak tahun 1970an mengkritik pikiran berikut rasional dan rasionalitas kaum yuris legal yang liberal itu. Adalah paradigma mereka yang tergabung dalam CLS yang mehatakan bahwa masyarakat bukanlah struktur yang terbangun sepenuhnya dari konsensus-konsensus dan yang karena itu lalu mampu bertahan secara penuh dan berterus pada konsensus-konsensus itu. Kritik yang dilakukan oelh kaum CLS pada tahun 1970an tersebut sebenarnya sudah dilakukan pada tahun 1940an oleh kaum Realist
3. Utilitarianisme
Aliran ini bahwa tujuan hukum dan keadilan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang dan tujuan peruandang-undangana dalah untuk kebahagiaan semua orang (masyarakat); John Stuart Mill yang menyatakan bahwa berhukum adalah suatu tindakan untuk pencapaian kebahagiaan dan sangat keliru jika hukum tidak bertujuan untuk mendapatkannya; Rudolf Von Jhering yang menyatakan bahwa hukum bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik.
4. Hukum Murni
Tokohnya adalah Hans Kelsen, tetapi banyak juga yang menggolongkan pada golongan positivisme karena pandangannya tentang isi kaedah-kaedah hukum yang merupakan produk dari negara. Secara ringkas Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum, seperti; sejarah, moral, sosiologis, politik dan sebagianya. Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Menurutnya keadilan adalah masalah ideologi yang ideal rasional….
5. Historisme
Tokohnya adalaah Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran historisme adalah bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan kekuatan inti rakyat dan akhirnya mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Hukum itu bukan dibuat akan tetapi ditemukan dalam masyarakat, hukum yang benar-benar hidup adalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah ketidakpercayaan pada pembuatan undang-undang dan kodifikasi. Peranan pakar hukum lebih penting daripada pembuatan undang-undang.
6. Sosiologis
Hukum adalah kenyataan sosial dan bukan hukum sebagai kaidah. Hubungan antara positivisme dan sosiologis adalah keduanya memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau perundang-undangan. Kalau positivisme memandang kaidah-kaidah dalam bentuk undang-undang, sedangkan sosiologis memandang hukum adalah kenyataan sosial. Ia mempelajari bagaimana dan mengapa tingkah laku sosial yang berhubungan hukum dan pranata hukum sebagaimana yang berlaku di suatu negara. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri sedangkan sosiologi hukum memandang hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada di dalam masyarakat; ekonomi, politik, budaya, sosial. Positivisme hanya mempersoalkan hukum sebagai das sollen (apa yang seharusnya), sedangkan sosiologi hukum memandang hukum sebagai das sein (dalam kenyataannya). Positivisme berpandangan yuridis dogmatis sedangkan sosiologi hukum berpandangan empiris. Metode yang digunakan oleh positivisme adalah preskriptif yaitu menerima hukum positif dan penerapannya sedangkan sosiologi adalah deskriptif.
7. Antropologis
Hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk survival, hukum juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
8. Realisme
Aliran ini tumbuh dari aliran realias dalam pemikiran filsafat umum. James dikenal sebagai pencetus teori pragmatis, suatu filsafat positif yang menolak sistem tertutup dan berlaku absolut dan asli dan beralih pada pandangan tentang fakta-fakta, tindakan, kekuatan (powers). Hal ini dimungkinkan untuk melawan hal-hal yang bersifat dogmatik, artifisial dan menganggap ada kebenaran mutlak. Para Yuris yang beraliran realis pada umumnya berpendapat bahwa ilmu hukum yang sesungguhnya adalah dibangun dari suatu studi tentang hukum dalam pelaksanaannya (the law in action).
1. Realisme Amerika
Tokoh-tokohnya adalah; Oliver Wendell Holmes, selama 30 tahun menjabat Hakim Agung dengan kata-katanya yang terkenal the life of the law has been, not logic, but experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang penting. Hukum adalah kelakuan aktual para hakim (patterns of behaviors) dimana patterns of behaviour (keputusan) hakim itu ditentukan oleh 3 faktor; kaidah-kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi, moral hidup pribadi hakim dan kepentingan sosial. Llewellyn menyatakan bahwa hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus menerus berubah. Tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Masyarakat merupakan proses yang terus menerus berubah secara berkesinambungan sehingga perubahan hukum merupakan hal yang esensial. Hal yang fundamental bagi aliran realis adalah keyakinan mereka tentang perlunya investigasi yang menggunakan metode objektif. Jerome Frank dengan pengertiannya bahwa hukum adalah bukan Undang-undang melainkan seperangkat kenyataan-kenyataan, suatu keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kenyataan yang ada. Benjamin Cardoso, seorang hakim yang terkenal di USA, Pokok-pokok pandangannya adalah hukum adalah kegiatan hakim di pengadilan yang terikat pada tujuan hukum, yaitu kepentingan umum; hakim bebas memutus tetapi dengan batasan, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Realisme Skandinavia
Bersama dengan aliran Amerika merupakan suatu penolakan umum terhadap das sollen dalam studi hukum dan juga menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan kenyataan-kenyataan dari sistem hukum. Realisme ini lebih menitikberatkan perhatiannya pada aspek-aspek perilaku hakim daripada pernyataan-pernyataan tentang hukum yang tumbuh dari perhatian pada sifat hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum.
Banyaknya aliran hukum yang berkembang di dunia tersebut, akan tetapi yang menjadi mainstream adalah dua aliran besar, yakni legal positivism dan legal realism. Sementara aliran yang lain itu mengikuti aliran yang mainstraim. Utilitarianisme, historisme, sosiologis-antropoligis mempunyai landasan pikir yang sama dengan Realisme. Sedangkan aliran alam merupakan cikal bakal lahirnya aliran positivisme yang berkembang saat ini.
Positivisme dan Realisme sama-sama melahirkan hukum positif yang belaku di masyarakat. Dalam positivisme disebut sebagai undang-undang (law), Realisme dikenal dengan act. Proses pembuatan peraturan tersebut juga melibatkan badan legislatif, yang membedakan adalah pada pelaksanaannya. Aliran Positivisme selalu mengacu pada undang-undang untuk mengatur masyarakat atau yang dikenal dengan hukum positif artinya hukum yang diacu saat ini yang mengatur secara tegas-tegas suatu kasus tertentu. Kebalikannya dengan realism yang lebih mengutamakan hati nurani masyarakat dalam menerapkan sebuah undang-undang. Sehingga Realisme sangat cepat dalam merespon setiap fakta hukum yang berkembang, sedangkan Positivisme agak lambat merespon sebuah persoalan yang ada di masyarakat. Keterlambatan tersebut dikarenakan mengacu kepada setiap prosedur secara detil dalam menghadapi setiap peristiwa hukum dan untuk menghasilkan peraturan yang baru. Realisme berkembang sebagai kritik terhadap positivisme dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan aspek kemanusiaan atau hati nurani (conscience) dalam berhukum. Aliran realisme selalu disebut sebagai pahlwan karena dalam bekerjanya hukum selalu mempunyai itikad baik dan memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama pihak yang tertindas dalam berhukum. Sementara itu positivisme dianggap berhukum yang tidak berperasaan dan tidak mempunyai keberpihakan kepada masyarakat yang lemah. Untuk menutupi kekurangan tersebut, maka lahirlah Lembaga yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan adanya MK tersebut masyarakat bisa mengadukan persoalannya yang tidak diakomodir oleh produk hukum yang berlaku. Perkembangan Realisme di Indonesia mulai tahun 1990- an semenjak merebaknya kekuatan civil society di Indonesia, dengan motor penggeraknya YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Sementara dari perseorangan, pak Satjipto Rahardjo yang mengembangkan aliran Realisme dengan paradigma hukum progresif.
Dalam praktek peradilan pidana, kedua aliran tersebut mempunyai praktek yang sangat berbeda. Aliran positivism, perangkat hukumnya adalah; judge (hakim), lawyer (pengacara) dan atternoy (jaksa). Decision maker (pengambil keputusan) dalam sidang adalah Hakim, melalui sidang majelis hakim. Yang mengakibatkan hakim adalah seorang yang dipuja-puja kebenarannya dalam memutuskan perkara. Hakim adalah dewa dan “disembah” oleh para tersangka dan dihormati oleh pekerja hukum yang lainnya karena peranannya yang sangat besar dalam memutuskan sebuah perkara. Aliran Realisme, perangkat hukumnya tidak terpusat pada seorang hakim. Decision makernya ada pada jury, sekelompok perwakilan masyarakat yang terdiri dari berbagai profesi dan memiliki kapasitas untuk memutuskan perkara. Hakim berfungsi sebagai fasilitator yang berperan memeberikan asistensi kepada para Jury tersebut, artinya kekuasaan tertinggi bukan pada hakim. Selain hakim dan jury, pekerja hukum yang lainnya sama dengan positivism,yakni aternoy (jaksa) yang mempunyai peranan penuntut umum.
Kedua aliran mempunyai sisi kelemahan dalam praktek pidana. Keterpusatan pada hakim ataupun pada jury, menyebabkan kedua pekerja hukum rawan aksi penyuapan oleh para tersangka. Hal tersebut menjadi sisi kelemahan kedua aliran. Menurut Boaventura De Sausa Santos mengatakan bahwa ada tiga tahapan pada penyempurnaan berlakunya hukum di sebuah negara, yakni 1) the frontier; 2) the baroque; 3) the South. Pada tahap pertama (The Frontier) merupakan tahap awal berkembangnya masyarakat yang masih belum teratur dan masih berlaku hukum adat yang tidak terulis. Masyarakat sangat cair relasi sosialnya, hirarkhi sosial yang sangat lemah dan bercampurnya peninggalan sejarah dan penemuan baru dalam masyarakat. Bangunan masyarakat pada periode ini sangat lambat dan ruwet. Pada masyarakat seperti itu, tidak aturan yang secara tertulis berlaku, semuanya normatif dan identik dengan suasana “kacau balau”.
Pada tahapan masyarakat yang kedua, digambarkan seperti design bangunan seni dan arsitektur pasca klasik pada abad ke-17 di Eropa atau design kebudayaan negara-negara di Amerika Latin. Bangunan ini merupakan bangunan yang sangat eksentrik dari sebuah kebudayaan modern. Pada tahap ini masyarakat sudah mempunyai kebudayaan dan sosial yang kreatif, mempunyai kodifikasi, mempunyai bangunan dan hukum yang nyata. Pada tahap ini berlaku hukum tertulis seperti apa yang kita kenal saat ini berupa produk undang-undang dan menunjukan suatu keteraturan.
Tahapan ketiga ini merupakan tahapan tertinggi suatu masyarakat karena peraturan yang berlaku di sebuah negara adalah tidak hanya untuk melanggengkan kekauasaan dari bangsawan, akan tetapai memberikan keadilan bagi kelompok yang tertindas juga. Hukum yang selama ini berlaku adalah hukum yang “mengeksploitasi dan tidak memberikan akses yang sam” bagi semua golongan dalam masyarakat. Hukum pada tahap The South mempunyai semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut.
Untuk bisa melihat bekerjanya hukum, kita awali dengan proses-proses sebuah hukum bisa berlaku menjadi sebuah peraturan yang berlaku di masyarakat;

1. Pembuatan hukum
Proses pembuatan hukum mempunyai hubungan dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum tersebut sebagai sebuah fungsi dalam masyarakat. Di dalam hubungannya dengan masyarakat dimana pembuatan hukum itu dilakukan, orang membedakannya dengan beberapa model. Menurut Chambliss dan Seidman dua model masyarakat tersebut adalah;
1. Masyarakat yang berbasiskan kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus)
Masyarakat kategori ini minim sekali mengalami konflik karena atau ketegangan sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi landasan hidupnya. Unsur-unsur yang menjadi pendukung kehidupan sosial itu dapat terangkum dalam satu kesatuan yang laras (well integrated). Di dalam masyarakat tersebut masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku dalam masyarakat itu. Pembuatan hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh warga masyarakat.
2. Masyarakat yang berdasarkan Konflik
Pada model ini masyarakat dinilai sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warga masyarakat mendapatkan tekanan dari sebagian masyarakat yang lain. Pembuatan hukum tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat

2. Bekerjanya Hukum di Pengadilan
Dilihat dari kaitan sosialnya, setiap pengadilan itu merupakan respon dari susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan yang dimaksud adalah sebagai pranata sosial untuk menyelesaikanya sengketa yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan pranata yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah, Chambliss menyebutkan ada dua unsur yang menentukan;
1. Tujuan yang hendak dicapai untuk menyelesaikan sengketa. Apabila hendak mendamaikan orang yang bersengketa maka cara yang dilakukan adalah mendamaikan
2. Tingkat perlapisan yang ada di dalam masyarakat, semakin tinggi tingkat perlapisan yang ada di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan niali-nilai yang terdapat disana. Berdasarkan dua unsure tersebut menunjukan, bahwa masyarakat yang kurang berlapis dan kurang kompleks maka penyelesaian yang dilakukan lebih dipilih cara perukunan dan begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan bagan berikut ini;
Tabel 1; Pranata yang digunakan masyarakat untuk menyelesaikan masalah
Masyarakat kurang komplek Masyarakat Komplek
Masyarakat kurang berlapis Perukunan
Perukunan Penerapan hukum
perukunan
Masyarakat berlapis Perukunan
Penerapan hukum Penerapan hukum
Penerapan hukum
(dikutip dari Satjipto, 1995)

Unsur-unsur yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengolahan sebuah sengketa di pengadilan;
1. Cara-cara bagaimana persoalan itu bisa sampai di pengadilan
Syarat dasar bagi persoalan sampai pengadilan; pengetahuan tentang hukum dan kemampuan keuangan. Baik perkara pidana dan perdata, tetapi mayoritas perkara pidana. Masuknya perkara pidana tergantung dari lembaga-lembaga hukum yang bertugas menangani perkaranya, misalnya kepolisian. Secara umum, kepolisian lebih mudah memperkarakan orang miskn daripada orang kayak arena keterbatasan sumber ekonomi dan politiknya.
1. Sumber-sumber teori
2. Atribut-atribut pribadi hakim
Seorang hakim mempunyai peran sebagai berikut; pengemban nilai-niali yang dihayati oleh masyarakat, hasil pembinaan masyarakat dan menjadi obyek pengaruh pada massanya. Secara umum hakim itu berasal dari pembinaan oleh hakim senior sebelumnya dengan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Menurut Dahrendoorf, mayoritas hakim berasal dari kelas atas, sehingga jika menangani kasus kelas menengah ke bawah, merupakan dunia yang lain bagi seorang hakim dan bisa jadi sebuah ancaman bagi dirinya.
3.Sosialisasi professional hakim
Pendidikan sarjana hukum di Indonesia itu masih menekankan pada keterampilan untuk menerapkan hukum bukan untuk melakukan pembaharuan hukum, berbuat kreatif, mencari alternatif-alternatif pengaturan yang lebih sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
4. Tekanan-tekanan keadaan terhadap hakim
Kondisi sosial menempatkan hakim pada posisi yang paling tinggi di dalam setiap aspek kehidupan. Seorang hakim memilki previllige yang tinggi dibandingkan dengan masyarakt yang bekerja di sektor pekerjaan yang lain.
5. Tekanan-tekanan keorganisasian terhadap hakim
Pengadilan merupakan lembaga yang mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, sehingga mereka mengembangkan kehidupan sendiri, membentuk norma-norma sendiri untuk mewujudkan tujuannya sendiri pula. Sehingga pengadilan pun juga dituntut untuk melakukan kegiatan yang bersifat rasional ekonomis dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut;
1. Berusaha untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal bagi lembaganya
2. Berusaha menekan sampai batas minimal, beban-beban yang menekan organisasinya.
3. Alternatif-alternatif peraturan yang bisa dipakai

4. Pelaksanaan Hukum (Hukum sebagai suatu proses)
Hukum diciptakan untuk dijalankan. Menurut Scholten; hukum yang tidak pernah dijakankan pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum. Hukum juga bukan dari keluaran pabrik yang begitu keluar langsung bisa dipakai. Akan tetapi perlu dipersiapkan piranti untuk mendukungnya. Itu artinya hukum hanya bisa berjalan jika ada manusia, yang sekaligus juga mencipakan hukum itu sendiri. Disinilah peranan sosiologi hukum, yang memandang bahwa hukum itu bukan hanya seperangkat peraturan yang bersifat statis akan tetapi sebagai sebuah proses. Hukum itu tampak pada sidang-sidang pengadilan, dalam tindakan para pejabat atau pelaksana hukum, dalam kantor-kantor pengusaha dan juga dalam hubungan-hubungan yang dilakukan oleh dan diantara para anggota masyarakat satu sama lain (Soerjono Soekanto, sosiologi pengantar).
Apakah hukum yang dijalankan oleh masyarakata dalah cerminan dari hukum yang dituangkan dalam peraturan? Roscoe Pound membuat pembedaan antara law in book and law in action. Pembedaan itu mencakup hal-hal sebagai berikut; apakah hukum yang berlaku dalam bentuk peraturan yang diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu, apakah yang dikatakan oleh pengadilan itu sama dengan apa yang dilakukan olehnya, apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh sutau peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataan (Edwin,hal 39. Menurut Van Doorn, dalam setiap pengorganisasian itu banyak kita dapati manusia itu terjatuh pada luar bagan yang telah ditetapkan. Perbuatan manusia tersebut sangat sulit untuk didisiplinkan oleh organisasi karena masyarakat yang diwajibkan untuk menaati bagan tersebut memiliki latar belakang yang berbeda; kepribadian, asal usul sosial, kepentingan ekonomi dan politik serta pandangan hidupnya.

5. Hukum dan nilai-nilai di dalam masyarakat
Pembahasan mengenai pola-pola penyelenggaraan hukum oleh badan-badan yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum telah memperlihatkan hal penyimpangan antara produk hukum dan pelaksanaannya. Hukum berupaya untuk menetapkan pola hubungan antara masyarakat dan merumuskan nilai-nilai yang diterapkan oleh masyarakat menjadi bagan atau stereotype (Soekanto, hal 25). Sehingga hal ini berhubungan dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarak at. Norma menurut Parson adalah suatu deskripsi tertulis mengenai perbuatan yang konkret dan dipandang sebagai suatu perbuatan yang diinginkan, sedangkan nilai diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang.
Menurut Lon L. Fuller hukum itu adalah sebagai sebuah usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Usaha tersebut tergantung pada energy, wawasan, intelegensia dan kejujuran dari mereka yang menjalankan hukum. Delapan nilai yang harus dimiliki oleh hukum yang disebut sebagai delapan prinsip legalitas, adalah;
1. Harus ada peraturan yang terlebih dahulu, artinya tiadan ada tempat bagi keputusan ad hoc atau tindakan arbitrer
2. Peraturan itu harus diumumkan kepada khalayak
3. Peraturan tersebut tidak berlaku surut
4. Perumusan peraturan-peraturam itu harus jelas dan terperinci (mudah dimengerti)
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
6. Diantara peraturan tidak boleh ada pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya
7. Peraturan tersebut harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah
8. Harus terdapat kesesuaian antara pejabat hukum dengan peraturan yang dibuatnya.
Kegagalan menajalankan salah satu dari asas hukum tersebut disebut sebagai sistem hukum yang jelek.
Fungsi hukum adalah sebagai berikut; melayani kebutuhan-kebutuhan elementer bagi kelangsungan kehidupan sosial (memepertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan penyimpangan). Singkatnya untuk menjaga ketertiban dan control sosial. Pendapat yang lain menyatakan bahwa hukum adalah suatu lembaga di dalam masyarakat yang menegakan ketertiban dan menjalankan control, sehingga di dalam hukum itu harus memiliki nilai-niai tersendiri yang harus diwujudkan. Semakin masyarakat mengaitkan hukum dengan nilai-nilai yang harus diwujudkan, maka semakin besar fungsi hukum itu dalam melindungi hak-hak manusia. Selznick mengatkan hukum dengan latar belakang masyarakat yang menganut nilai-nilai tertentu. Misalnya; demokrasi.
Telaah tentang hukum yang dikaitkan dengan nilai-nilai serta sikap-sikap terhadap sistem hukum dikembangkan menjadi konsep kultur hukum yang membedakan dengan sistem hukum. Sistem hukum lebih berfokus pada prosedur yang lebih menunjukan pada konsepsi hukum prosedural. Sistem hukum ada 2 macam; common law dan civil law.
Friedman merumuskan Kultur Hukum sebagai berikut; sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama dengan sikap-sikap dan nilai terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya baik secara positif atau negative. Berhubungan dengan ini, ketika kita mengamati bekerjanya hukum, maka kita harus melihatnya sebagai suatu proses, yakni apa yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga hukum dan bagaimana mereka melakukannya. Sehingga kita bisa melihat hukum diluar dari kerangka hukum itu sendiri, tetapi nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Komponen untuk melihat bekerjanya hukum;
1. Struktural
Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Secara struktural ini dapat melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan-penggarapan bahan hukum secara teratur.
Misalnya; ada pengadilan negeri, tinggi, administrasi atau agama
2. Kultural
Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
Kultural hukum berfungsi untuk bensinnya motor keadilan
3. Substantif
Komponen ini adalah segi output sistem hukum, ke dalam pengertian ini dimasukan norma-norma hukum itu sendiri baik berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan. Komponen substantif ini tidak terikat pada formalitas tertentu, apakah undang-undang ataupun peraturan. Yang dipentingkan apakah ia digunakan di dalam masyarakat.
Ketiganya menyatu dan saling berinteraksi dan membentuk sistem hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar