Minggu, 28 Februari 2010

Kuliah 4

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

Pada kuliah ke empat ini kita akan membahas tentang Sosiologi Hukum Islam . Pengertian sosiologi islam sangat perlu untuk dikaji berkaitan dengan sosiologi dan islam sebagai ilmu.
PENGERTIAN SYARI’AH DAN FIQH
Syari’ah secara etimologis berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh Bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Secara terminologis (istilah) syari’ah menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mengadnung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah Syariatkan begi hamba-hambaNya. Menurut Manna al Qathan, syariah berartoi segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya, baik mneyangkut akidah, ibadah akhlak dan muammalah. Berdsarkan kesimpulan diatas, syariah itu sama dengan agama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Syariah tertuu atau digunakan untuk menunjukan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh manusia.(Djamil, 1987)
Fiqh secara semantic bermakna untuk mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Sedangkan secara terminologis, menurut Abu Zahrah mengethaui hukum-hukum syara’ yang bersifat amliyah yang dikaji dari dalil-dalil yang terperinci. Berdasrkan pengertian tersebut, fiqh bukanlah hukum syara itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara’. Mengingat fiqh itu hanya interpretasi yang bersifat zanni yang terikat dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, maka fiqh senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Berdasarkan pengertian tersebut, hakikat fiqh dapat dipahami, yaitu;
1. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara
2. Fiqh membicarakan hal-hal yang bersifat ‘amaliyyah furu’iyyah (praktis dan bersifat cabang)
3. Pengetahuan tentang hukum syara’ didasarkan pada dalil tafsili, yakni Al Qur’an dan Hadis
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid (Djamil, 1987)
Syariah sebagai hukum Allah diturnkan di muka bumi dengan tujuan menegakan kemaslahan, kedamaian dan kebahagiaan umat manusia. Syariah ada yang diterangkan secara jelas dan ada yang samar (implicit). Terhadap hukum yang bersifat implicit ini, perlu dilakukan pengakajian dan penelitian terhadapnya. Ketentuan yang terperinci tentang tingkkah laku mukallaf diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah. Hasil pemahaman tersebut yang disebut fiqh. Sehingga secara sederhana fiqh tersebut diartikan sebagai penjelasn terhadap syariah yang terang dan agak terang serta pemahaman dan penggalian terhadap kandungan syariah yang tidak tampak. (Djamil, 1987)

PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Kata hukum islam sama sekali tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan literature hukum dalam Islam. Yang ada dalam Al Qur’an dalah kata-kata Syariah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term Islamic law dari literature Barat. Apabila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rassul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragam Islam (Djamil, 1987).
Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teleologis, artinya hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujaun. Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunai dan akhirat. Bukan kebahagiaan yang fana dan di dunia semata, tetapi juga di akhirat kelak. Tujuan dari hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim. Dengan adanya syari’ah tersebut dapat ditegakan di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang (Djamil, 1987)
Hukum islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al Qur’an maupun As sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku universal, relevan pada setiap ruang dan waktu manusia. Keuniversalan hukum islam ini sebagai kelanjutan dari hakikat Islam sebagai agama Universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaranNya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam dimanapun dan kapanpun. Hukum islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari al fiqh al Islamiy atau dalam konteks tertentu disebut al syariah al islamiy, atau dalam literature Barat disebut dengan Islamic Law. Wahyu Allah dalam al Qur’an menjadi memuat hukum islam yang utama. Kata syariah kemudian dijelaskan oleh Rasulullah dengan ijtihad-ijtihadnya yang berwujud dalam Al Sunnah. Adapun Al Fiqh adalah proses pemahaman terhadap al syariah yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi social masyarakat. Al Qur’an sebagai sumber pertama hukum islam, di dalamnya memuat ajaran-ajaran di bidang hukum perdata, dagang, pidana, Tata Negara, acara, perburuhan, ekonomi dan sosial dan hukum Internasional. Ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam Al qur’an dilengkapi dengan sunnah Rasul dan dikembangkan dengan ijtihad Ulama, keputusan Pemerintah dan ijtihad hakim dalam yurisprudensi (Al Munawar, 2004)
Mulai dari awal kedatangan Islam sampai dengan saat ini, hukum Islam menjadi factor penting dalam menentukan setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijakan dalam penyelenggaraan Negara. Mengenai sejarah berlakunya hukum islam di Indonesia, dapat dilihat dari dua periode yakni 1) periode penerimaan hukum islam sepenuhnya dan 2) periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat. Periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat, disebut sebagi teori receptive. Penerimaan hukum islam sepenuhnya disebut dengan teori receptio in complexu. Pada masa ini hukum islam dilaksanakan sepenuhnya oleh hukum islam, semenjak adanya kerajaan-kerajaan islam di Indonesia, pemerintah hukum kolonial juga memberlakukan hukum islam bagi umat islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum waris yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan.
HUKUM ISLAM PADA ZAMAN BELANDA
VOC yang lebih dahulu berkuasa di Indonesia tidak terlalu memperdulikan agama dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Setealh kekeuasaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, baru ada perhatian terhadap perkembangan Islam di Indonesia, terutama karena gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekeuasaaan Kesultanan Othmaniyyah di istambul, merupakan Imperium Islam di eropa Timur dan Asia kecil pada abad ke XVII sampai abad ke XX. Pan Islamisme ini bertujuan untuk mempersatukan umat Islam seduani dengan Sultan Turki sebagai pimpinan tertinggi. Belanda mendapat perlawanan dari kesultanan dan pemimpin umat Islam di seluruh Indonesia, sepajang abad ke XIX. Oleh karean itu Belanda memperhatikan psychology massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum islam di Indonesia. Pengakuan tersebut akhirnya dituangkan dalam peraturan-peraturan hukum seperti terdapat dalam pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving disingkat A.B. jo Pasal 131 ayat 2 Indische Staatsregeling atau I.S. Pada pokoknya pasal 11 A.B menentukan bahw a bagi orang Indonesia yang baginya berlaku Hukum Perdata Belanda baik karena agama, penaklukan sukarela pda hukum perdata Barat, baginya berlaku ketentuan-ketentuan hukum Indonesia, yakni hukum agama, lembaga-lembaga dan kebijakan-kebijakannnsepanjang tidak bertentangan dengan asas keadilan. Mengenai kegiatan keagamaan terlihat adanya sikap diskriminatif terhadap agama-agama selain Kristen, termasuk Islam (Syahar, 1986) Pelaksanaan hukum Belanda dikeluarkan peraturan Resolutie der indische Regeering tanggal 25 Mei 1760, yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Dalam Reggerings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 dinyatakan bahwa oleh hakim Indonesia, hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten) (Al Munawar, 2004)
HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
Adapun periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat, dipahami bahwa hukum islam berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Bila yang dimaksud hukum adat adalah kebiasaan maka pertengahan abad ke 19 hukum agama dalam hal ini hukum islam dan hukum kebiasaan berlaku sama kuat sepanjang dihormati oleh amsyarakat dan selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan meruapkan kebutuhan kemasyarakatan yang nyata. Istilah hukum adat baru dikenal pada abd ke 19 oleh van Vollenhoven. Menurunta bagi golongan bumiputera, hukum yang berlaku baginya adalah hukum adat, yakni hukum yang turun menurun (tradisional) Indonesia. Hukum agama termasuk dan tetutama hukum islam merupakan tambahan atau pelengkap hukum tradisional yang telah ada di masyarakat. Pendapat ini berdasarkan pada banyaknya pengurangan kekuasaan raja-raja dan Sultan-Sultan Islam di Indonesia oleh Belanda (Syahar, 1986).
Sementara menurut Mr. Van den Berg yang menganggap bahwa hukum kebiasaan itu atau hukum adat adalah hukum agama, bila masyarakat setempat beragama Islam, maka hukum yang berlaku (hukum adatnya) adalah hukum Islam. Demikian halnya apabila masyarakat setempat juga beragama lain, maka hukum yang adat yang berlaku adalah hukum agama itu sendiri. Teori ini yang dikenal dengan receptio in complex. Pendapat van den Berg ini berdasarkan pada zaman sebelum pemerintah Belanda mengeliminir kekuasaan Sultan-Sultan dan Raja-raja Islam di Indonesia. (Syahar, 1986)


Pada Zaman kemerdekaan, hukum islam pun melewati dua kali periode; 1) periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasive. 2) Periode kedua adalah periode hukum islam sebagai autoritatif. Sumber persuasive dalam kontek hukum konstitusi, yaitu sumber hukum yang baru diterima apabila diyakini. Dalam hukum islam, piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan sumber persuasive. Hukum islam baru menjadi autoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam ketatanegaraan, ketika dekrit Presiden 5 Juli yang mengakui bahwa PIagam Jakarta menjiwai UUD 1945 (Al Munawar, 2004)
MATERI HUKUM ISLAM SECARA NASIONAL
Apabila dilihat dari ilmu Fiqh, maka yang dapat dimasukan ke dalam hukum islam itu adalah bagian dari mu’amalat dari Syariat, sementara ibadah yang merupakan relasi antara manusia dengan Tuhan tidak menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya perubahan yang menandai perkembangan hukum islam dan masyarakat muslim. Perubahan tersebut pada orientasi masyarakat Muslim dari urusan ibadah (hubungan vertical manusia dengan Allah) kepada urusan muammalat (hubungan horizontal manusia dengan lingkungan alam). Mu’amalat itu menurut kitab-kitab fiqh meliputi;
1. Munakahat dengan syarat dan rukunnya
2. Faraidh atau pembagain warisan
3. Jinayat atau hukum pidana
4. Jihad atau hukum perang
5. Buyu’ atau jual-beli termasuk riba
6. Syarikat atau perseorangan
7. Al suthanat atau hukum tata Negara
8. Aqdhiyah atau hukum acara
Diantara materi hukum islam (mu’amaalat) diatas yang telah masuk sebagai hukum Indonesia hanyalah bagian munakahat untuk seluruh Indonesia dan faraidh untuk sebagian Indonesia (Syahar,1986). Kontribusi materi hukum islam tersebut dapat kita lihat pada beberapa undang-undang sebagai berikut;
1. UU No.1/1974 tentang perkawinan
2. UU No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional
3. UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5. PP No. 28 tahun 1991 tentang Perwakafan nasional
6. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat.
Sejarah perjalanan hukum islam di Indonesia, kehadiran hukum islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa datang menegaskan bahwa hukum islam itu ada dalam hukum nasional, baik secara tertulis atau pun tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum. Teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum islam dalam hukum nasional Indonesia, ada dalam arti;
1. Bagian integral dari dari hukum nasional Indonesia
2. Kemandirian yang diakui
3. Hukum nasional dan norma hukum islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
4. Bahan utama dan unsur utama
Jadi secara eksistensial kedudukan hukum islam dalam hukum nasional merupakan sub system dari hukum nasional. Karenanya hukum isla m juga menjadi memberikan sumbangan bagi pembaharuan dan pembentukan hukum nasional. Bagaimana secara sosiologis, tentunya pada kondisi eksistensial tersebut, hukum islam melibatkan kesadaran keberagaman dalam masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan dengan masalah kesadaran hukum dan norma hukum.
Disamping itu, penerapan hukum islam di Indonesia juga mengalami kendala, yakni;
1. Kemajemukan bangsa
2. Metode pendidikan hukum yang cenderung bersifat trikotomi; islam, barat dan adat
3. Kurangnya pengkajian akademik di bidang hukum islam (Al munawar, 2004)


SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang ecara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. Maksudnya sejauh mana hukum itu mempengaruhi tingkah laku social dan pengaruh tingkah laku social terhadap pembentukan hukum (Tebba, 2003). Dengan obyek sosiologi hukum adalah; produk undang-undang, para pejabat hukum dan pendapat para ahli tentang situasi dan kondisi hukum yang berada di dalam masyarakat.
Hukum Islam tidak saja berfungsi sebagai hukum secular, tetapi juga berfungsi sebagai nilai-nilai normative. Ia secara teoritis berkaitan dengan segenap aspek kehidupan dan satu-satunya pranata (institusi) social dalam islam yang dapat memberikan legitimasi terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam penyelarasan antara islam dan dinamika social. Sehingga hukum islam mempunyai fungsi ganda; 1) sebagai hukum berusaha mengatur tingkah laku manusia (umat Islam) sesuai dengan citra islam dan 2) sebagai norma memberikan legitimasi ataupun larangan-larangan tertentu dengan konteks spiritual. Apabila dilihat dari segi hukum tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan social dan budaya di sekitarnya dan dari norma menunjukan bahwa adanya intervensi Allah dalam penetapan hukum. Hal itu yang menjadi ciri dari hukum islam dan yang membedakan masyarakat Islam dengan di luar Islam. Pola cita masyarakat bukan islam terbentuk berdasarkan pengalaman dan pemikiran social secara evolusi, sedangkan pola cita masyarakat islam diturunkan oleh Allah berupa wahyu dan terbentuk secara revolusi (cepat). (Tebba, 2003)
CATATAN;
Berlakunya hukum Islam di Indonesia merupakan sub system dari hukum nasional. Artinya hukum islam bukan menjadi acuan pokok, akan tetapi hukum islam justru harus mengacu pada konstitusi dasar yang ada di Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Situasi ini ditunjang karena bangsa Indonesia sangat plural dan multikultur, dari segi social budaya dan termasuk religiusnya. Sehingga pembelakuan hukum Islam tentunya perlu dikaji lebih jauh.
Mengkaji tentang pelaksanaan hukum islam di Indoensia harus dilakukan karena di Negara ini, mayoritas penduduknya beragama muslim. Salah satu cara yang dtempuh adalah dengan melakukan penelitian untuk memahami secara mendalam tentang kasus-kasus yang terjadi dalam pelaksanaan hukum islam. Umat islam harus mampu menjabarkan hukum islam dalam konteks sosiologis. Adapun cabang-cabgang hukum islam yang dikenal selama ini adalah; tarikh tasyri’ (sejarah hukum islam), falsafah al tasyri’ al islami (filsafat hukum islam), qawa’id fiqh (kaidah-kaidah hukum islam), ushul fiqh (pengantar hukum islam) dan fiqh itu sendiri. Penjabaran dalam sosiologis itu perlu dilakukan agar pelaksanaan hukum islam itu benar-benar memperhatikan keadilan semua umat dan islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalaupun selama ini pembahasan hukum yang berkaiatan dengan muammalat dikatakan sudah selangkah lebih maju apabila dibandingkan dengan pembahasan ibadah, maka ke depan hukum islam harus lebih progressif lagi dengan konteks kehidupan social yang lebih kompleks atau melahirkan fiqh social.

BAHAN DISKUSI;
1. Undang-Undang tentang Nikah Sirri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar