Senin, 24 Mei 2010

Kuliah 13

PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT)

Apa yang dapat kita pahami dari pembahasan tentang beberapa undang-undang yang sebelumnya sudah kita bahas; UU PKDRT, Korupsi, Agraria, Lingkungan, Politik? Apa yang tercantum indah dalam pasal-pasal tersebut belum bisa menjadi seindah apa yang terjadi di masyarakat. Harapan praktek kehidupan masyarakat sesuai dengan undang-undang masih jauh dari harapan pembuat undang-undang itu sendiri. Diatas kertas indah dan harmoni, akan tetapi masyarakat kita masih dilekati kebudayaan dan watak yang tidak mudah untuk ditaklukan hanya dengan undang-undang. Mengingat hal tersebut adalah karakter,watak dan mental masyarakat. Walaupun demikian tidaklah tabu kita membicaraka tentang pengakan hukum di Indonesia untuk mengetahui dimanakah posisi kita sebagai negara hukum dan untuk memperbaiki kehidupan berhukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Pengertian
Penegakan hukum mempunyai dua arti,yakni;
1. Arti Formil
Menurut pemahaman ini, penegakan hukum diartikan sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Ketertiban masyarakat menjadi syarat utama lancarnya pembangunan, stabilitas keamanan masyarakat serta langgengnya kekuasaan status quo yang dominan pada situasi itu. Kondisi masyarakat diharapkan bisa diorganisir oleh kekuasaan publik, sistem kaedah-kaedah didasarkan pada hierakhi perintah dan tentunya penegakan hukum ini menjadi alat yang efektif untuk menjalankankan pemerintahan yang tiranis.
2. Arti Materiil
Dalam arti ini, penegakan hukum dikembalikan kepada hakikat dan fungsi hukum yang sesungguhnya yakni adanya jaminan keadilan sosial (keadilan setiap golongan mendapatkan penghargaan dan tidak dirugikan oleh pihak atu golongan lain). Hukum justru menjadi pelindung bagi masyarakat dari kekuasaan yang semena-mena dan menindas.
Pengakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,cita yang abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral (keadilan dan kebenaran) yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkandi dalam kadiah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sementara itu penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum dan penegakan hukum ini dilakukan dengan kecerdasan spiritual bukan hanya inteletual saja. Konsep pemikiran dalam penegakan hukum dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan cita-cita hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keingainan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peratuan-peraturan hukum. Yang dapat digambarkan sebagai berikut;
organisasi
Tujuan-tujuan organisasi - kondisi keamanan dan ketertiban
Hukum organisasi - perumusan UU; hak dan kewajiban
organisasi


Artinya bahwa untuk menerjemahkan tujuan-tujuan hukum menjadi perumusan UU atau untuk mewuju7dkan kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat diperlukan perangkat organisasi-organiasasi yang komplek. Organisasi tersebut lahir sebagai wujud dari adanya masyarakat yang kompleks untuk mengakomodir beranekaragamnya kondisi sosial, ekonomi dan politik. Organisasi yang dimaksud adalah pembuat hukum dan birokrasi penegak hukum.

Alur Penegakan Hukum
Unsur-unsur yang terlibat dalam penegakan hukum dibagi menjadi 2; unsur-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang jauh (lingkungan pribadi ataupun sosial) dan dekat (badan legislatif dan kepolisian). Proses penegakan hukum menjangkau sampai pula pada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukumyang dituangkan dalam pertauran hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Pada kenyataannya proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabt penegak hukum. Sementara itu, tingkah laku orang dalam masyarakat didisiplinkan oleh kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat. Kaidah-kaidah tersebut engikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarakat, termasuk didalamnya para pejabat hukum.

Penegakan Hukum dan Struktur Masyarakat
Pengakan hukum bukanlah sutau kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat. Hukum yang dimaksud itu adalah hukum modern yang mengiringi lahirya masyarakt modern.Dalam tahap perkembangan masyarakat ditinjau dari perkembangan hukum, menurut Gianfranco Poggi proses pembentukannya dibagi dalam tahap-tahap sebagai berikut;
1. Feodalisme
(belum ada hukum tertulis, sengketa diselesaikan dengan kekeluargaan dan komunal )
2. Standestaat te
(awal adanya tata kehidupan hukum dan kenegaraan, muali adanya kelompok atau individu yang mengatur masyarakat)
3. Absolutisme
(kekuasaan ditentukan oleh penguasa)
4. Masyarakat perdata
(lahirnya penyeimbang penguasa dalam bentuk penguatan civil society dan korporasi)
5. Negara Konstitusional
(adanya peraturan yang diberlakukan oleh aparat negara kepada masyarakatnya)
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan masyarakat tersebut, menurut Weber semakin maju masyarakat, maka pola pikirnya semakin rasional yang bertumpu pada kepercayaan terhadap kesahihan pola-pola kaidah normatif dan terhadap hak mereka dari mereka yang memiliki otoritas yang muncul dari akidah tersebut. Penggarapan hukum dilakukan seara sistematis dan penyelenggaraan hukum secara sistemdan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesional dengan cara ilmiah dan logis formal. Kondisi punaknya adalah terbentuknya negara konstitusional. Sebelum terbentuk negara konstitusional penyelesaian masalah dalam masyarakat diselesaikan sebagai berikut;
Masyarakat Masyarakat
Yang kurang komplek lebih kompleks

Masyarakat perukunan penerapan hukum
Yang kurang berlapis perukunan perukunan

Masyarakat perukunan penerapan hukum
Yang lebih berlapis penerapan hukum penerapan hukum

Rasionalitas menjadi sangat dominan diterapkan di Negara konstitusional. Persoalan masyarakat yang komplek dan posisi masyarakat yang berlapis menyebabkan perlunya diterakan hukum untuk mengatur organisasi yang ada di masyarakat.

Penegakan Hukum di Indonesia
Lantas bagaimanakan penegakan hukum di Indonesia? Dalam kehidupan bernegara kita mengakui bahwa Negara berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekusaan belaka, Pemerintah berdasarkan konstitusi bukan pada kekuasaan belaka (Rule of law dilakukan oleh kekuasaan yudikatif) dan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, sebagai pemegang keuasaan yang merdeka. Berdasarkan tahap perkembangan masyarakat berdasarkan hukum (menurut Goff) kita merupakan negara konstituisonal. Artinya bahwa setiap relasi yang berhubungan dengan orang lain di masyarakat diatur dengan hukum sebagai panglima tertinggi, tidak hanya kekeluargaan apalagi komunal.
Akan tetapi apabila kita kaji lebih jauh karakter masyarakat kita masih menunjukan watak dan sis-sisa masyarakat Feodal. Hal ini nampak dalam budaya, misalnya tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Pembagian kerja domestik dan publik masih sangat kentara antara laki-laki dan perempauan. Adanya UU PKDRT pun ternayat belum mampu memecahkan problem kesetaraan tersebut. Selalu saja ada kasus kekerasan yang dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Dalam relasi politik, relasi patron klien masih mengakar pada decion maker untuk membuat keputusan publik. Demikian halnya peta perpolitikan di masyarakat kita juga diwarnai oleh hubungan KKN yang sangat kental. Tentunya ini menyebabkan kompetisi yang tidak sehat di dalam masyarakat dan menghambat tumbuhnya demokrasi da penegakan hukum. Kondisi ini menunjukan bahwa ada dunia yang berbeda akan tetapi berjalan dalam satu rel, kehidupan hukum yang bersifat rasional diterapkanda lam masyarakat yang masih bersifat komunal.
Dampaknya yang dapat kita amati adalah penegakan hukum yang ada di negara kita cenderung bersifat formil semata, yakni untuk melanggengkan kekuasaan penguasa. Bukan pada arti materiilnya, penegakan hukum untuk menegakan hukum itu sendiri (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan) bagi masyarakat secara adil, tanpa ada diskriminasi. Jadi sangat lumrah beberapa kasus di dunia hukum kita tidak berpihak kepada orang miskin, hukum lebih peka terhadap masyarakat pada kelas-kelas tertentu. Gejala yang nampak juga adalah apa yang dikatakan Myrdal sebagai sweeping legislation,yakni pembuatan perundang-undangan secara terburu-buru tanpa melakukan penelitian, dengar pendapat secara serius dengan masyarakat. Akibatnya lahir banyak undang-undang yang justru tidak ditaati oleh masyarakat.Bahkan masyarakat sendiri tidak mengathui kalau tindakannya diatur oleh aturan hukum. (*)


REFERENSi
Disarikan dari buku Penegakan Hukun, Satjipto rahardjo, Genta Publising, 2009

Kamis, 13 Mei 2010

Kuliah 10

UPAYA PERLINDUNGAN PRT
Oleh : Muryanti*
Kemiskinan menjadi starting point munculnya Pekerja Rumah Tangga (PRT), terutama di daerah pedesaan yang menjadi kantung terbesar asal- muasal PRT. Kesenjangan sosial petani sangat tampak dari stratifikasi sosial antara petani pemilik lahan dan buruh tani (petani gurem). Pemilik lahan pertanian mempunyai kecenderungan memonopoli lahan dan mengendalikan buruh tani. Pertanian yang kurang mampu memberikan hasil optimal karena tergantung pada musim dan mahalnya harga pupuk dan bibit, ditambah dengan status buruh tani yang hanya mendapatkan hasil sebagian semakin memperparah tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan.
Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian, menyebabkan hutang- hutang petani, terutama buruh tani semakin menumpuk hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari. Sehingga memaksa keluarga petani mencari penghasilan lain di luar pertanian yang dianggap lebih menjanjikan. Karena jumlah buruh tani itu tidak sedikit, menyebabkan kemiskinan itu semakin berkarat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah kaum tani di Indonesia paling tidak sekitar 44,3 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, kaum tani yang berprofesi buruh menurut data dari Sensus Pertanian (SP) 2003 sekitar 56,5 persen.
PRT lah sektor pekerjaan yang diincar oleh sebagian masyarakat, baik PRT yang bekerja di kota besar, misalnya Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan sebagainya ataupun TKI/TKW yang sebagian besar juga PRT. Sektor pekerjaan itu dipilih disebabkan ada unsur keterpaksaan, karena kurang pecaya diri jika memilih sektor pekerjaan yang lainnya ataupun kurangnya akses pekerjaan yang lainnya. Kurang PD alias minder itu disebabkan pendidikan mereka yang sangat rendah, rata- rata lulusan SD, SMP, dan hanya sebagian SMA, yang sangat berpengaruh terhadap keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki. Sedangkan keseharian mereka mengerjakan pekerjaan yang tidak jauh dari pertanian. Rendahnya akses dapat dilihat dari sebagian besar informasi pekerjaan diperoleh dari tetangga yang sebagian besar menjadi PRT ataupun melalui calo- calo yang datang ke desa- desa, yang juga menawarkan pekerjaan menjadi PRT. Sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota, yang sebagian besar perempuan dan rata- rata berusia sekitar 18 tahun menjadi PRT, dengan harapan merubah kehidupan keluarga di desa menjadi lebih baik.
Perjalanan kerja seorang PRT, dari daerah asal sampai ke tempat kerjanya dapat dikategorikan medan yang penuh dengan tantangan. Seorang PRT akan berhadapan dengan calo-calo yang sangat potensial melakukan kekerasan terhadapnya, baik secara fisik, psikis ataupun ekonomi. Dari berbagai kasus, banyak calo yang minta persenan dari beberapa bulan PRT bekerja, melakukan penganiayaan apabila PRT kritis mengajukan pertanyaan. Demikian halnya dengan teman yang membawanya bekerja, walaupun sedikit, kemungkinan besar akan minta balas jasa.
Ancaman kekerasan juga membayangi PRT di tempat dia bekerja. Rumah majikan bukan merupakan tempat kerja yang nyaman, mengingat profesinya hanya sebagai seorang Pembantu Rumah tangga (PRT). Yah bekerjanya hanya bantu-bantu semua pekerjaan majikan. Tidak ada spesifikasi jenis pekerjaan yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Mulai dari semua jenis pekerjaan di rumah tangga; memasak, mencuci dan seterika, bersih- bersih, merawat anak sampai dengan pijat memijat pun menjadi pekerjaan pokok PRT dan apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan stereotype buruk. Pembantu malas, pembantu tidak becus, pembantu durhaka, sampai dengan tidak layak menjadi seorang pembantu. Yang lebih kejam dan tidak manusiawi, majikan tega melakukan penganiayaan terhadap PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upahnya yang tidak segera dibayarkan sampai dengan penyiksaan sampai buta atau lumpuh. Sebagaimana dialami oleh Jumiah, seorang PRT usia 15 tahun berasal dari Brebes. Kisahnya sebagai berikut :
“Sekitar bulan Mei 2004, dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih baik, dari desa Klikiran RT/RW 01, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, ia menuju Jakarta, tepatnya di kawasan Cengkareng. Sebagai anak yang baru pertama kali datang ke Jakarta, dia tidak berangkat sendiri, tetapi bersama tetangganya Imam (28). “Anak saya ini baru pertama kali itu ke Jakarta. Ia tidak mengenal daerah sana, dan tahu tentang majikan- majikannya juga dari Imam, yang bekerja di perusahaan sablon di Jakarta. Kesulitan kami memang karena sama sekali tidak tahu alamat pasti majikan yang menganiaya Jumiah. Bahkan sampai saat ini Imam sulit dihubungi, apalagi dimintai keterangan tentang majikan Jumiah,” kata Turnya, ayah Jumiah, sebagaimana Tulisan di kompas, minggu 30 Agustus 2004.
Ketika tiba di Cengkareng, anak keenam dari delapan bersaudara ini, sempat menjadi PRT pengganti dengan mendapatkan bayaran sebanyak 150.000 rupiah selama satu bulan. Ia kemudian pindah kerja ke rumah Eva, masih di kawasan Cengkareng. Selama 25 hari bekerja di rumah Eva, yang dihuni pasangan Eva dan suami serta anak- anaknya, juga ibu Eva, Jumiah mengaku tidak pernah diberi makan teratur. Ia juga sering disalahkan dan dimarahi oleh ibu Eva. Seringkali kemarahan nenek ini berujung dengan penganiayaan, antara lain, tubuhnya ditendangi dan kepalanya dibenturkan tembok.
Akhir Juni, Jumiah sudah tidak tahan lagi disiksa oleh majikan. Tengah malam, tanpa membawa uang karena tidak pernah diberi uang saku apalagi gaji. Ia nekad memanjat pagar tembok dan melarikan diri. Ia berjalan hingga ke daerah jembatan dua sebelum akhirnya ditolong seorang pengemudi bajaj yang membawanya ke rumah kontrakan herman, teman Imam.
Dengan bantuan Herman, Jumiah dapat pulang. Saat itu ia mengaku masih dapat berjalan normal. Di rumah, penglihatannya semakin memburuk. Kakinya kian sulit digerakan. Dari hasil pemeriksaan dokter diperkirakan ia mengidap cafeldia, yakni gangguan pada syaraf mata. Semacam penyakit tumor, yang disebabkan oleh benturan tembok yang dilakukan oleh majikannya. Pengobatan awal, Jumiah dibawa ke Puskesma terdekat. Pihak puskesmas tidak dapat menangani penyakit Jumiah dan merujuknya ke Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal. Di rumah sakit tersebut, ia dioperasi tumor dibelakang kepalanyal. Akan tetapi akibat operasi tersebut Jumiah mengalami kebutaan dan hampir lumpuh. Pengobatan terakhir atas uluran tangan seorang dermawan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Jakarta. Akan tetapi kebutaan yang dialaminya belum berkurang juga, yang menjadikan putus harapan dengan kehidupannya”.
Jumiah hanya satu dari korban kekerasan yang menimpa seorang PRT. Berdasarkan data yang dikumpulkan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), kekerasan yang menimpa PRT dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan jenis kekerasannya data tiap tahun adalah sebagai berikut :
Tahun 2001
No Kategori Jumlah : 48
1 K. Psikis 12
2 K. Fisik 9
3 K. Ekonomi 23
4 K. Seksual 4

Tahun 2002
No Kategori Jumlah : 32
1 K. Psikis 10
2 K. Fisik 13
3 K. Ekonomi 4
4 K. Seksual 5

Tahun 2003
No Jenis kekerasan Jumlah : 56
1 Kekerasan Psikis 16
2 Kekerasan Fisik 22
3 Kekerasan Ekonomi 6
4 Kekerasan Seksual 12

Tahun 2004
No Jenis kekerasan Jumlah : 18
1 Kekerasan Psikis 1
2 Kekerasan Fisik 9
3 Kekerasan Ekonomi 1
4 Kekerasan Seksual 7

Penanganan Kasus PRT
Beberapa teknik yang digunakan untuk mendampingi PRT yang menjadi korban kekerasan, dengan cara litigasi maupun nonlitigasi. Kegiatan nonlitigasi dalam bentuk pendampingan dan penguatan korban kekerasan secara psikologis. Kekerasan yang menimpa PRT dalam berbagai bentuk menyisakan luka psikis yang sangat dalam, sehingga perlu mendapatkan masukan dari seorang pendamping secara kontinu. Sebagaimana dilakukan kepada seorang PRT, N (disamarkan), yang mengalami kegoncangan jiwa karena pernah dilecehkan oleh temannya di masa kecil, dianiaya oleh kakek tiri, mendapatkan perlakukan buruk dari majikan di tempat kerja, sampai dengan kasus terakhir N dicerai oleh suaminya karena perselingkuhan. Pendampingan secara intensif dilakukan untuk memulihkan kondisi N yang secara psikis mengalami goncangan. Hingga saat ini N sudah bekerja lagi di daerah Kwarasan, Jogjakarta Barat.
Sedangkan pendampingan litigasi yang dilakukan untuk memperjuangkan kasus PRT lewat jalur hukum. Beberapa penganiyaan yang dialami oleh PRT dapat dipidanakan karena tindakan majikan yang melanggar KUHP. Salah satu kasus yang sampai saat ini ditangani melalui jalur litigasi adalah kasus Sutini. Sutini (29), seorang PRT yang bekerja di Rumah Makan Mie Bandung di Jalan Bhayangkara, Jogjakarta. Sebagaimana layaknya PRT yang lainnya, Sutini mengerjakan pekerjaan di warung dan juga mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaan majikannya. Dia mulai bekerja dari jam 4 pagi sampai dengan jam satu malam dengan waktu istirahat yang bisa dibilang tidak ada untuk pekerjaan normal. Dari pagi dia menanak nasi untuk dijual di warung sampai dengan malam hari. Belum lagi tambahan pekerjaan kerumahtanggaan lainnya.
Pekerjaan yang dapat dikatakan berat itu ternyata tidak mendapatkan upah yang setimpal, bahkan upahnya yang perbulan dijanjikan sebesar 100-150 ribu itu tidak dikasihkan kepada Sutini tepat waktu, ditunda- tunda sampi 2-3 bulan bahkan diberikan kepada orang tuanya, dan Sutini tidak mendapatkan apapun. Belum lagi adanya pemotongan upah sepihak jika melakukan kesalahan kerja, misalnya ketika memecahkan gelas atau piring. Demikian halnya jika masak nasi sampai basi. Disamping itu Sutini juga mendapatkan penganiayaan dan pelecehan fisik, pemukulan dengan tang sampai berdarah-darah dan ditempeleng kepalanya. Kejadian yang dialaminya selama enam tahun itu, ternyata tidak dapat ia tahan lagi. Puncaknya awal tahun 2003, Sutini melompat pagar rumah majikan dan melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada pihak yang berwajib dan kejadiannya itu banyak diberitakan oleh media massa.
Memperjuangkan kasus Sutini melalui jalur litigasi memerlukan energi dan semangat besar, karena keburukan pengadilan di Indonesia, yakni proses yang lama, berbelit-belit, dan memerlukan banyak uang. Mempidanakan kasus penganiayaan Sutini berlangsung hampir satu tahun, sepanjang tahun 2003. Sampai akhirnya dari Pengadilan Negeri Jogjakarta menyatakan kasus tersebut kedaluarsa karena sudah hampir satu tahun. Di akhir putusan pidana pun tidak berpihak pada Sutini, karena majikan hanya dihukum 4 bulan percobaan penjara atau sama saja tidak pernah mendapatkan hukuman.
Usaha memperjuangkan keadilan bagi Sutini tidak pernah selesai, kegagalan kasus pidana bukan berarti berkhir dan memacu langkah lebih tinggi, yakni memperdatakan kasus Sutini di sepanjang tahun 2004. Dengan tuntutan membayarkan upah Sutini yang belum dibayar dan juga membayar ganti rugi penganiayaan secara fisik ataupun psikis terhadap Sutini.Walaupun berbagai macam media massa gencar memberitakan proses perdata kasus Sutini dan surat desakan kepada majelis hakim datang dari berbagai pihak, termasuk PRT sendiri, akan tetapi tidak mempengaruhi putusan hakim. Hakim bahkan menolak gugatan perdata kasus Sutini dan tidak memberikan upah yang belum dibayarkan tersebut, dengan alasan Sutini wajar mendapatkan perlakuan seperti itu karena mempunyai gangguan psikologis. Ketidakberpihakan lembaga peradilan ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya mafia peradilan di lembaga peradilan, yang tidak pernah memihak kepada PRT. Sampai saat tulisan ini ditulis, kasus Sutini baru diproses di tingkat banding.
Sedangkan untuk kasus Jumiah diupayakan pendampingan dengan cara menguatkan psikisnya secara kontinu, membantu pengobatan kelumpuhan dan kebutaan yang dideritanya. RTND juga mengupayakan adanya keringan biaya Rumah Sakit yang merawat, mencari dukungan dan solidaritas dari pihak lain untuk memberi bantuan uang biaya pengobatan.
Perlindungan Hukum
Jumiah, Sutini, dan N hanyalah sebagian kecil dari PRT yang mengalami penganiayaan oleh majikan. Jika kita mau membaca dan memperhatikan berita di media massa, hampir setiap hari selalu ada berita tentang PRT. Entah PRT itu digunting telinganya karena memecahkan barang milik majikan atau dituduh mencuri uang, disekap di kamar mandi karena dianggap tidak becus dalam bekerja, digosok matanya dengan balsem karena sering sakit- sakitan dan kurang cekatan dalam bekerja, bahkan ada PRT yang melayang nyawanya hanya karena dituduh mencuri roti majikan di lemari es. Dan masih banyak lagi penganiyaan yang dilakukan oleh majikan terhadap PRT yang tdiak pernah diketahui publik.
Kekerasan terhadap PRT yang dilakukan oleh majikan, masyarakat dan negara merupakan belenggu stratifikasi sosial yang selalu memposisikan kelas bawah sebagai pihak yang lemah, dalam hal ini PRT. Secara sosial, PRT lebih rendah posisi dan relasinya dengan majikan. PRT adalah pihak yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga diupah berapapun dan disuruh mengerjakan apapun dia mau dan tidak bisa menolaknya. Sedangkan majikan adalah seorang pemberi kerja dalam posisi atas, yang dapat memperlakukan PRT nya sesuka hati. Masyarakat pun masih sangat rendah menilai PRT dan belum menganggap PRT sebagai sebuah pekerjaan. Hal ini sangat tampak ketika seorang PRT mempunyai permasalahan sosial, masyarakat justru melecehkannya. Negara pun kurang peka terhadap permasalahan PRT. Ketika ada kasus PRT prosedurnya dipersulit dan penanganannya berbelit- belit.
Jeratan stratifikasi sosial tersebut perlu dibongkar untuk memberikan ruang bagi PRT sebagai pihak yang lemah. Membongkar status dan sebutan pembantu untuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). PRT bukanlah orang yang ngenger di rumah majikan, bukan hanya babu, bukan hanya jongos yang bisa disuruh apa saja, kapan saja dan diperlakukan apa saja. PRT adalah sama kedudukannya dengan majikan. Keduanya saling membutuhkan. PRT membutuhkan majikan dan majikan membutuhkan PRT, keduanya seimbang posisinya. PRT bekerja di rumah majikan karena dia adalah pekerja bukan pembantu.
Ada beberapa konsekuensi logis ketika sebutan pembantu diubah menjadi pekerja. Bukan hanya sekedar menigkatkan martabat ataupun status PRT itu sendiri, akan tetapi lebih pada memanusiakan manusia, memanusiakan pekerja, dan memanusiakan perempuan karena hampir sembilan puluh persen lebih PRT adalah perempuan. Sebagai seorang manusia, PRT mempunyai hak untuk hidup layak, hak berekspresi, hak untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinanNya, hak berbicara dan sebagainya. Sebagai seorang pekerja, PRT mempunyai hak mendapatkan upah layak, jaminan kesehatan, waktu istirahat, hari libur, dan beban kerja yang sesuai dengan upah dan kemampuan. Sebagai seorang perempuan, PRT memerlukan istirahat di kala sakit haid ataupun di kala hamil dan menyusui.
Banyak majikan yang akan mencibir dan tidak akan terima apabila PRT mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia, pekerja, dan perempuan. Dengan berbagai dalih mereka kemukakan. Gajinya yang tidak cukup untuk mengupah PRT secara layak ataupun alasan sudah berbaik hati mau menyekolahkan PRT nya sampai dengan Perguruan Tinggi.
Diantara penyebabnya disamping masyarakat masih belum legowo degan peran pentingnya PRT dalam kehidupan Rumah Tangga, secara struktural tidak ada peraturan yang khusus mengatur PRT. Undang- undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai pekerja, dalam hal ini bagian dari buruh. Kondisi kerja yang wajar akan diterima oleh PRT jikalau kebetulan majikan yang ditemui memperlakukannya dengan baik. Kalau pun tidak, ketika akan memperkarakan PRT yang bermasalah pun kesulitan karena tidak adanya acuan dalam memutuskan perkara. Sehingga dari waktu ke waktu, kasus PRT hanya berhenti di tengah jalan, tanpa ada penyelesaian hukum secara adil.
Akankah PRT yang menjadi korban penganiayaan semakin bertambah ? akankah korban hanya meratapi nasibnya, tatkala negara dan masyarakat tidak mempedulikannya ? Hal itulah yang mendorong RTND dan pihak- pihak yang terkait selalu berupaya mendesakan perlindungan hukum bagi PRT, dalam bentuk perda yang mengatur PRT di daerah Jogjakarta khususnya dan UU PRT yang berlaku secara Nasional. Mengingat kesibukan dan kepadatan agenda DPRD untuk menggoalkan berbagai macam perda yang mengatur masyarakat, sangatlah perlu menyusun draft standarisasi perlindungan PRT. Beberapa penekanan dalam susunan draft tersebut adalah pemaknaan tentang PRT, perjanjian kerja yang seharusnya dilakukan PRT dengan majikan sebelum dia bekerja, adanya perlindungan bagi PRT, misalnya ketika dia sakit, adanya rasa aman ketiks berada di lingkungan kerja, dan juga bantuan hukum ketika PRT bermasalah, adanya pengupahan yang layak sesuai dengan beban kerjanya, dan adanya pendidikan alternatif bagi PRT untuk meningkatkan profesionalitas kerjanya.
Pada tahun 1999, JPPRT (Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang terdiri dari; RTND, LBH Jogjakarta, Yabinkas, SBPY, LKBH UII, Lapera, Rifka Annisa, KPI DIY, PSW UMY, Serikat PRT DIY, dan ICM, mengajukan draft raperda PRT kepada DPRD Sleman. Dan sudah sampai pada pembahasan untuk menjadi perda. Akan tetapi terjadi penolakan karena diakhir pengesahan Perda PRT, ketentuan itu hanya berlaku untuk PRT yang menandatangani kontrak kerja, sedangkan PRT yang tidak menandatangani kontrak kerja tidak mendapatkan perlindungan hukum. Padahal jika ditelusuri dari jumlah PRT Di DIY saja, menurut data Susenas 2002 sejumlah 36.961 orang, tidak ada 5 persen yang menggunakan kontrak kerja. Belum jumlah secara keseluruhan di Indnesia. Sedangkan kontrak kerja sendiri masih dalam tahap pembahasan karena pada keadaan tertentu kontrak kerja itu tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Usaha terus menerus untuk menggoalkan Perda PRT di DIY tidak kenal lelah selalu diupayakan. Akan tetapi DPRD kota pun masih enggan untuk melakukan pembahasan Perda PRT. Pada tanggal 5 Maret 2003, Gubernur DIY mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang berisi desakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengeluarkan peraturan yang mengatur hubungan kerja antara PRT dengan Pengguna Jasa (majikan) dengan memperhatikan jaminan keselarasan hubungan kerja antara PRT sendiri dengan majikan, pengupahan dan kesejahteraan PRT, hak dan kewajiban serta perlindungan PRT dengan majikan, pelaksanaan hubungan kerja antara PRT dengan majikan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan PRT, dan pengawasan terhadap PRT dan majikan. SE itupun belum memberikan perlindungan kepada PRT dan permasalahannya, hanya sebuah himbauan. Diharapkan pada tahun 2005 mendatang ada kemauan positif dari pemerintah kota untuk menggoalkan SE tersebut dalam bentuk Perda PRT yang berlaku di Jogjakarta. Tentunya dengan desakan dari berbagai pihak secara terus menerus, kesiapan draft standarisasi perlindungan PRT, kampanye yang terus menerus tentang permasalahan PRT kepada publik. Sedangkan untuk skala Nasional tidak bisa dilakukan oleh RTND sendiri, sehingga dibentuklah Jaringan Advokasi Nasional (Jala) PRT yang melakukan kegiatan legislasi, kampanye isu PRT secara Nasional dengan harapan dapat mewujudkan UU PRT yang berlaku secara Nasional. Beberapa lembaga yang tergabung Jala PRT diantaranya; Spekham, Institut Perempuan, Rifka Annisa, KPPD, ICM, Atma, SP Kinasih, Gema Perempuan, Perisai, FOBMI, Komnas Perempuan, Kapal Perempuan, dan LBH Apik.
Pengorganisasian PRT
Dalam proses kegiatan perlindungan kepada PRT, hal yang sangat diperlukan adalah bagaimana PRT sendiri yang menyuarakan bahwa dirinya membutuhkan perlindungan hukum, bukan pihak lain. Sehingga pengorganisasiaan PRT untuk membangun basis massa PRT menjadi sangat perlu dilakukan. Hal yang sudah dilakukan adalah mendirikan Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) di berbagai daerah yang menjadi basis PRT, yakni perumahan yang ada di. Operata yang sudah terbentuk diantaranya; Operata Jambusari, Griya Arga Permai (GAP), Wirokerten, Gunungsempu, Berbah, Sumberan, dan lainnya. Di Operata itu diskusi, pertemuan infrormal tentang permasalahan, sharing pendidikan keterampilan menjadi materi pokok seminggu sekali. Juga sharing atau curhat tentang permasalahan PRT di tempat kerja. Penguatan organisasi juga dilakukan dengan pemahaman tentang HAM, gender, kepemimpinan, ketenagakerjaan, dan keorganisasian. Jatuh bangun memang pengorganisasian PRT, mengingat kondisi kerja PRT tertutup akses dari luar, sehingga perlu strategi yang sesuai dengan konteks PRT tersebut.
Sedangkan untuk PRT yang belum bekerja, pendidikan alternatif diadakan sebagai bekal untuk bekerja, melalui Sekolah PRT. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan PRT yang sduah bekerja untuk meningkatkan profesionalisme dalam bekerja. Pendidikan di Sekolah PRT terbagi dalam 3 jurusan yakni; pramurukti, baby sitter, dan kerumahtanggaan. Ketiga jurusan tersebut paling banyak dibutuhkan oleh majikan yang membutuhkan jasa PRT. Disamping pendidikan keterampilan, yang diutamakan adalah pendidikan kritis, tentang bagaimana memahami persoalan apapun dan berani melakukan negosiasi dengan majikan. Diharapkan adanya bekal pendidikan alternatif tersebut, PRT mempunyai posisi tawar di depan majikan, karena lebih profesional dengan pekerjaan dan mengetahu hak serta kewajibannya sebagai pekerja.
Pengorganisasian terpenting adalah mendorong lahirnya organisasi di kalangan PRT sendiri dalam skala luas, minimal lingkup Jogjakarta. Tanggal 23 April 2003, lahirlah Serikat PRT “Tunas Mulia” Jogjakarta. Anggota Serikat PRT ini terdiri dari anggota Operata yang tersebar di beberapa perumahan dan PRT sebaran yang tidak tergabung adalam Oparata. Harapannya Serikat PRT dapat mandiri menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Mandiri dalam organisasi, usaha dana, dan networking dengan pihak lain. Tanpa tergantung kepada pendampingnya. Pengorganisiran yang dilakukan belum berarti apa- apa karena masih banyaknya permaslahan yang belum diselesaikan. Tentunya memerlukan banyak masukan dari berbagai kalangan, guna menambah jumlah anggota yang tergabung dalam Serikat PRT, sebagai sarana membangun Gerakan PRT.


Rujukan;
Kompas 6 desember 2004, Hal 41, “Reformasi Agraria dan Masalah Perempuan”.
Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13, Tahun 2003

Kuliah 9

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( KDRT )
UU PKDRT

1. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK PEREMPUAN
Bagaimana kondisi perempuan, ditinjau dari sosial, ekonomi dan politik tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berkembang di suatu negara. Ideologi yang menjadi arus mainstream di sebuah negara menentukan bagaimana perempuan diperlakukan di negara tersebut.
Feodalisme yang menempatkan dominasi kepada pemilik lahan, dalam hal ini kaum laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai obyek dari kekuasaan dominan tersebut. Maka istilah yang muncul, wanita sebagai sebutan perempuan yang artinya wani ditoto. Perempuan adalah pelengkap laki-laki yang mempunyai pekerjaan seputar dapur, sumur dan kasur. Film Pride and Prejudice menggambarkan situasi Feodal, pada abad ke-18 di Eropa. Posisi perempuan benar-benar sebagai pelengkap laki-laki. Bagaimana kehidupannya dari masa kecil sampai dengan dewasa hanya diperuntukan untuk bagaimana mendapatkan simpati, perhatian dan cinta dari laki-laki. Tentunya laki-laki yang diidamkan pun tidak hanya sebatas laki-laki “biasa” saja tetapi yang mempunyai nilai lebih; harta, tahta dan kedudukan (kekuasaan). Perempuan sangat mengidamkan laki-laki tampan, gagah, mapan dan mampu melindungi perempuan, sehingga y ang dipilih misalnya; pengusaha, militer dan bangsawan. Perempuan tidak bisa memilih dan kehidupan yang “merdeka’. Tetapi menunggu dipilih dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada pihak yang dianggapnya memiliki dominasi terhadapnya, orang tua dan kerabat. Kondisi ini merupakan gambaran masih lekatnya budaya patriarkhi pada karakter masyarakat Feodal. Pada situasi ini kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah hal yang dianggap biasa dan seharusnya atas nama “kesetiaan, cinta kasih dan kodrat” seorang perempuan.
Bergeser pada masyarakat industri ada perubahan terhadap perlakuan kepada perempuan. Pada awalnya perempuan lebih banyak di rumah dengan aktivitas domestik, pada masa ini perempuan didorong untuk keluar dari pekerjaan domestik dan beraktivitas pada ranah publik. Tuntutan industri yang membutuhkan tenaga kerja massal dan murah jatuh pada perempuan. Mereka didorong untuk menempati pos-pos pekerjaan publik sebagai salah satu bentuk upaya partisipasi dan kesetaraan perempuan terhadap akses pekerjaan. Selain sektor pekerjaan, perempuan pada masa ini pun juga mendapatkan kemudahan dalam mengenyam pendidikan karena pendidikan dan pekerjaan tidak bisa dipisahkan. Untuk mendapatkan pekerjaan “layak” tentunya memerlukan pendidikan yang tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan memunculkan tindak kekerasan, walaupun perempuan didorong untuk bekerja pada ranah publik, akan tetapi terdapat konstruksi sosial dan budaya yang mengkondisikan perempuan bertanggungjawab terhadap pekerjaan domestik. Inilah yang disebut dengan double bourden (beban kerja ganda). Kondisi ini yang memungkinkan perempuan dan laki-laki yang pada posisi setara sangat rentan dengan “kekerasan” yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Pelaku bisa dari pihak perempuan ataupun laki-laki, korban pun sebaliknya bisa laki-laki dan perempuan.
Jika demikian yang menjadi permasalahan adalah bukan jenis kelaminnya laki-laki ataupun perempuan, tetapi lebih pada perilaku kekerasan yang muncul dari pihak yang mendominasi terhadap yang lain, bisa laki-laki ataupun perempuan. Artinya kesetaraan dan partisipasi ini tidak mengenal jenis kelamin, akan tetapi lebih pada budaya saling menghargai dan “menganggap ada” kelompok-kelompok marginal, bukan sebagai sampah masyarakat.

2. PEREMPUAN DAN ISLAM
Posisi perempuan dalam Islam memang dibedakan dengan laki-laki, akan tetapi perbedaan tersebut seharusnya bukanlah sebagai pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak uang lain. Akan tetapi justru mendukung misi pokok Al Qur’an yakni terciptanya hubungan harmonis yang didasari kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga yang nantinya menjadi pendukung terwujudnya suatu negara yang penuh ampunan dari Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Kesamaan tersebut daat dilhat pada; (1) hakikat kemanusiaannya. Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan untuk peningkatan kualitas kemanusiaannya. . hak tersebut antara lain; waris (An.Nisa/4:11), persaksian (Al Baqarah/2:282), aqiqah ( At Taubah/ 9:21). (2) islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat pahala yang sama atas amal sholeh yang dibuatnya, sebaliknya keduanya mendapatkan azab yang sama atas pelanggarannya. Dan (3) Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antaumat manusia (Al Hujurat/49:13). Pada aaayat tersebut menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan diperlakukan sama walaupun berasal dari bangsa dan suku yang berlainan (Musdah, 2001).
Rasulullah pun sebagai nabi juga sangat memberikan contoh dalam membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, Beliau mengerjakan pekerjaan rumah tangga; mencuci, membersihkan rumah, memeras susu kambing dan sebagainya. Dalam hal partisipasi, istri-istri Beliau diberikan kebebasan untuk berpendapat dan lebih berperan dalam kehidupan publik (pencari nafkah utama).
Sementara itu, beberapa ayat Al Qur’an yang menafsirkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (An Nisa), beberapa Ulama melakukan tafsir ulang bahwa pada konteks tersebut, hubungan laki-laki dan perempuan lebih pada hubungan yang bersifat bekerjasama satu sama lain (partner kerja). Sementara itu tentang adanya Hadis dari Abu Hurairah RA, yang menyebutkan bahwa perempuan yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, jika kau paksa meluruskannya dia akan patah, dan jika kau biarkan tentu dia akan tetap bengkok. Mengenai tafsir dari hadist tersebut perlu dibaca dengan kritis, bahwa ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang penciptaan antara laki-laki dan perempuan bahwa perempuan diciptakan terlebih dahulu dibandingkan dengan laki-laki. Al Qur’an yang menjelaskan relasi tersebut adalah sebagai berikut; Q.S 4:1; 7:189 dan 39:6. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi satu sama lainnya (Musdah, 2001)


3. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin pun secara tekstual memberikan ruang yang sama terhadap peran antara laki-laki dan perempuan tersebut. Akan tetapi ada kata yang selalu kita ingat sebagai seorang sosiolog yang selalu membaca fakta di masyarakat bahwa fakta yang muncul di lapangan, tidak selalu sama dengan apa yang tertulis. Pada kenyataannya indahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kitab suci tersebut, umat Islam pun banyak yang tidak menerjemahkan tekstual tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kesetaraan dan saling melengkapi satu sama lain pun belum bisa terwujud, bahkan yang muncul adalah diskriminasi sosial yang berbasiskan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi ada karena adanya perbedaan antara jenis kelamin yang satu terhdapa yang lain, dalam arti ada satu jenis kelamin yang tertinggal dibandingkan lainnya. Diskriminasi sosial tersebut berbentuk; stereotype, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan beban ganda (Faqih,1998). Berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan ini menurut UU No. 24 tahun 2004 tentang UU PKDRT kekerasan dikategorikan menjadi; kekerasan ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Berdasarkan data Rifka Annisa, kasus kekerasan yang menimpa perempuan tersebut adalah sebagai berikut;
Data KDRT menurut Rifka Annisa

2003 335
2004 349
2005 312
2006 269
2007 329
2008 309

Data KDRT menurut Mitra Perempuan

1997 64
1998 101
1999 113
2000 232
2001 258
2002 111
2004 329
2005 455
2006 323
2007 283
2008 275


4. Undang-Undang PKDRT
Tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting bagi gerakan perempuan di Indonesia. Mengingat pada tahun tersebut undang-undang yang memberikan perlindungan kepada perempuan disetujui dan menjadi affirmative action terhadap setiap kekerasan yang menimpa perempuan selama ini. Banyak pihak yang tidak menyetujui dan mencibir kelahiran Undang-undang tersebut, disebut sebagai undang-undang yang bersifat “lelucon” dengan mengatakan “relasi suami istri dalam rumah tangga diatur oleh orang lain”. Itu merupakan permasalahan yang privat dan negara tidak perlu mengatur urusan privat sebuah rumah tangga.
Tentu tidak mudah mengubah apa yang menjadi stereotype masyarakat tentang relasi antara perempuan dan laki-laki dalam konteks domestik (pekerjaan rumah tangga). Perlu kerjasama dengan berbagai pihak, tidak hanaya gerakan perempuan itu sendiri aakan tetapi perlu bersinergi dengan gerakan sosial yang lain. Gerakan perempuan di Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan gerakan perempuan di tingkat Internasional. Pada masa Orde lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mampu menunjukan aktivitas sebagai sebuah organisasi perempuan yang mampu sejajar dengan organisasi yang lain. Perempuan pada masa itu sudah mendapatkan hak sosial, ekonomi dan politik dari negara. Akan tetapi pergolakan politik pada masa itu menyebabkan organisasi dibubarkan sampai pada level yang paling rendah.
Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan direduksi dan dibuat seragam dari tingkat nasional sampai daerah dengan nama Dharma Wanita dengan kegiatannya yang paling familiar adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Pada waktu itu kegiatan PKK ini justru mendomestifikasi peranan perempuan. Artinya perempuan lebih banyak disibukan dengan aktiviitas domestik dibandingkan dengan kegiatan publik, dengan tujuan untuk meningatkan peran serta perempuan sebagai pendukung keharmonisan keluarga dan masyarakat. Walaupun pada situasi sedemikian rupa, gerakan perempuan justru mampu membangun kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya dengan berbagai macam aktivitas yang bersifat non formal. Tentunya yang mempelopori aktivitas tersebut adalah akademisi yang melahirkan gerakan sosial berbasiskan perempuan dalam wadah Non Government Organisation (NGO), LSM ataupun organisasi lain yang bersifat massal. Pasca reformasi semua aktivitas perempuan tersebut menemukan momentum sampai pada tahap perjuangan litigasi, terutama dengan lahirnya UU PKDRT dan adanya kuota 30% untuk perempuan di DPR. Kedua perangkat hukum tersebut memberikan angin pada aktivitas kaum perempuan di domestik dan publik. Setiap kekerasan yang terjadi pada level domestik ada perlindungan hukum bagi kaum perempuan. Demikian pula pada ranah publik, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa berkiprah di dunia politik sama dengan kaum laki-laki, dimana selama ini dunia politik banyak didominasi laki-laki.


5. SOSIOLOGI HUKUM
Pada masa sekarang ini, sudah hampir 6 tahun berlakunya UU PKDRT dan kuota 30 % untuk perempuan. Harapannya dengan lahirnya payung hukum bagi perempuan tersebut, semakin berkurangnya kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga dan partisipasi aktif perempuan pada dunia politik semakin tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Payung hukum itupun diiringi dengan berbagai macam kegiatan yang bersifat edukatif bagi masyarakat dan penyadaran bagi perempuan itu sendiri tentang hak-haknya, untuk menyangga dan menguatkan masyarakat terhadap keberadaan perlindungan hukum bagi perempuan. Sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Pemerintah dan organisasi non pemerintah pun terlibat aktif dalam upaya tersebut, dengan berbagai macam bentuk program pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Upaya ini secara umum dinilai berhasil, masyarakat sudah familiar dengan permasalahan perempuan. Sebutan perempuan sudah tidak asing di masyarakat. Sebelum familiar dengan perempuan, istilah yang digunakan adalah wanita yang dalam terminologi Jawa sebagai kependekan dari wani ditoto (perempuan adalah orang yang mudah ditata (diatur) oleh laki-laki sebagai kaum yang dominan). Perempuan sendiri adalah seseorang yang diempu(akar)kan. Artinya memiliki kekuatan sebagai ujung tombak dari keberhasialn keluarga dan negara. Perempuan diposisikan sebagai makhluk yang terhormat dan sejajar dengan laki-laki.
Selain penyebutan istilah perempuan, pada dunia kerja pada beberapa jabatan tertentu di setiap level mulai ada kebijakan yang tidak bias gender. Dalam arti adanya pelibatan perempuan dalam setiap aktivitas atau program kegiatan dan menduduki berbagai macam jenis pekerjaan. Situasi ini memposisikan perempuan untuk lebih berperan aktif dalam aktivitas publik dan tidak hanya tersita pada aktivitas domestik. Lagi-lagi perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam pekerjaan publik dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan partisipasi perempuan dan laki-laki pada berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa menjadi tukang parkir, tambal ban ataupun angkat besi serta menikmati fasilitas yang dulunya tabu dilakukan. Naik motor laki-laki ataupun bekerja di pertambangan sudah biasa perempuan lakukan.
Kesempatan partisipasi yang sama dalam berbagai jenis pekerjaan serta payung hukum untuk perlindungan hukum bagi perempuan adalah termasuk afirmative action untuk mencegah terjadinya berbagai macam kekerasan; psikis, fisik, ekonomi ataupun seksual. Pada kenyataannya pasca diberlakukannya UU PKDRT tersebut angka kekerasan terhadap perempuan, cenderung meningkat (lihat tabel angka kekerasan). Bahkan bisa jadi lebih tinggi karena banyak kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat dibiarkan saja dan tidak disampaikan kepada pihak luar (pemerintah atau lembaga bantuan hukum). Mengingat kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan, artinya kalau korban tidak melaporkan, suatu kasus tidak bisa diproses.
Pasca pemberlakuan payung hukum tersebut, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki akan tetapi oleh perempuan sendiri kerap terjadi. Perempuan menjadi pelaku kekerasan. Yang sangat nampak adalah relasi PRT dengan pengguna jasa (majikan) yang mayoritas lebih dekat dengan perempuan. Banyak kekerasan terhadap PRT dilakukan oleh majikan perempuan daripada majikan laki-laki. Perempuan kelas atas menindas perempuan kelas bawah pada situasi ini. Termasuk kekerasan istri terhadap suami di rumah tangga. Fenomena yang lain, laki-laki pun juga semakin banyak yang melakukan kekerasan, ketika istrinya memiliki “kelebihan” dari segi ekonomi, poltik ataupun status sosial. Watak feodalisme dengan budaya patriarkhi muncul ketika relasi antara suami dan istri di luar kondisi yang seharusnya berlaku dalam masyarakat, laki-laki lebih mendominasi perempuan.
Masyarakat Indonesia pada transisi feodalisme ke modern secara revolusi masih menyisakan kultur yang feodal. Pada kelas tertentu memang pendidikan gender dan sosialisasi UU PDRT dapat terjangkau, akan tetapi pada kelas lain yang berjumlah mayoritas justru tidak mengetahui apa itu gender dan KDRT. Kebiasaan mendominasi dan melakukan kekerasan menjadi sebuah “tradisi” sampai subyek pelaku maupun korban tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan disebut kekerasan. Kekuatan yang bersifat hegemonik masih mengungkung setiap tindakan masyarakat. Arus modern yang serba cepat dengan membawa angin keseteraan baru merubah ide dan wacana relasi antara kelas dominan dan terdominasi bahkan pada situasi tertentu semakin terpolarisasi jarak diantara keduanya. Pendekatan law enforcement pun belum mampu merubahnya.
Pasal-pasal dalam UU PKDRT yang mendefinisikan kekerasan, ancaman hukuman dan denda yang harus dibayarkan pelaku pada korban hanya menjadi praktek pejabat hukum dan tidak diterjemahkan oleh masyarakat. Tidak banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diangkat sampai ke pengadilan, kecuali untuk beberapa masyarakat yang mempolitisirnya atau membuat sensasi. Mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ranah hukum adalah “tabu” bagi mayoritas masyarakat. Ada ketakutan, rasa malu, keengganan ataupun tidak mampu membayar perkara sampai ke pengadilan menjadikan mayoritas masyarakat memilih diam dengan apa yang terjadi. Apalagi citra pejabat hukum ataupun lembaga peradilan adalah sangat buruk dengan berbagai macam kasus suap dan korupsi.
Tahap diberlakukannya UU PKDRT baru satu langkah untuk menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Mengingat sampai pada tahap ini perubahan di dalam masyarakat belum nampak secara progresif. Pada situasi tertentu, masih ada kebijakan yang bias gender. Bahkan kebijakan yang dianggap peka gender pun justru semakin memperlemah posisi perempuan itu sendiri. Kuota 30% bagi perempuan di parlemen adalah afirmative action, akan tetapi ada sebagain berpendapat justru semakin menunjukan posisi perempuan yang “lemah” sehingga memerlukan jatah kursi untuk mempengaruhi kebijakan. Kalau perempuan itu setara kemampuan dan kecerdasannya dengan laki-laki tanpa mendapatkan jatah pun pasti akan bisa menjadi anggota parlemen.
Penegakan hukum yang tidak dilakukan secara progresif perlu ditindaklanjuti dengan langkah berikutnya, pendekatan sosial budaya untuk membersihkan sisa feodalisme. Sosialisasi dan pendidikan gender secara masif harus menjadi konsumsi semua kelas dalam masyarakat. Yang lebih penting lagi selalu menekankan bahwa penghapusan kekerasan tersebut bukanlah antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengertiannya lebih luas, yakni relasi antara masyarakat yang dominan dan terdominasi. Keasadaran kelas untuk lebih memanusiakan masyarakat lain yang tertindas sosial, ekonomi dan politik adalah paling penting. Sehingga permasalahan kekerasan bukanlah laki-laki adalah musuh perempuan dan sebaliknya. Akan tetapi lebih pada perlawanan kelas yang terdominasi terhadap yang mendominasi. Kesadaran yang tidak bias jenis kelaminnya tersebut, akan menumbuhkan penghargaan dan saling menghormati kaum yang berbeda jenis kelamin. Itulah hakikat pelaksanaan UU PKDRT secara progresif. Tanpa UU tersebut pun seharusnya kita sudah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, karena dalam diri kita sudah tertanam untuk menempatkan kaum tertindas setara dengan kita. Tanpa diskriminasi dan penindasan (*)

REFERENSI;
Faqih,Mansur. 1996. Membincang Feminisme. Surabayaa. Risalah Gusti
Musdah. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender. Jakarta. Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Depag RI
Waryono Abdul Ghafur. 2004. Dinamika Studi Gender. Yogyakarta. UIN SUKA
-------------. 2009. Gender dan Islam; Teks dan Konteks. Yogyakarta. PSW UIN SUKA

Selasa, 13 April 2010

Kuliah 8

ANALISIS KASUS CENTURY

1. Pengertian Korupsi
Korupsi secara etimologis berasal dari kata corruptio atau corruptus yang berarti merusak, tidak jujur dan dapat disuap. Korupsi juga mengandung arti; kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan. Korupsi juga diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Jeremy Pope mendefinisikan bahwa korupsi menyalahgunakan kekuasaan atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Senada dengan itu, Azyumardi Azra mengutip Leiken yang mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan kekuasaan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kemanfaatan politik. Definisi Leiken ini menyebut unsur keuntungan materiil, padahal korupsi juga terkait dengan keuntungan non materiil yang jauh lebih banyak . Sementara itu Syeid Husein Alatas; “corruption is abuse of trust in the interest of private gain” (korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi). Sehingga dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan, jabatan atau amanah (trust) secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum. Sehingga dari sini dapat disimpulkan unsur-unsur yang melekat pada korupsi adalah; (1) tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat dan perusahaan; (2) melawan norma-norma yang sah dan berlaku; (3) penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya; (4) demi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang atau korporasi; (5) merugikan orang lain, baik negara atau masyarakat.
Munculnya perbuatan korupsi didorong oleh 2 motivasi; intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Dalam hal ini pelaku mendapatkan kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi (Chaplin, 2002). Dalam hal ini pelaku mendapatkan kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil melakukannya. Pada tahap selanjutnya korupsi menjadi gaya hidup, kebiasaan, tradisi/ budaya yang lumrah. (2) motivasi ekstrensik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari perilaku itu sendiri. Melakukan korupsi karena alasan ekonomi. Sementara itu penyebab terjadinya korupsi dapat dikategorikan menjadi dua macam; internal (ada dalam diri seorang pemegang amanah yang mendorong melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu) dan eksternal (sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pemegang amanah untuk melakukan korupsi). Secara detil, korupsi disebabkan oleh tiga hal; corruption by greed (keserakahan), corruption by need (kebutuhan) dan corruption by chance (peluang).(Anwar, 2006)

2. Korupsi dalam Islam
Terminologi korupsi dikenal pada masa pasca islam ataupun pada masa modern. Beberapa unsur yang mengandung korupsi adalah;
1. Ghulul
Diartikan sebagai mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya. Pada awalnya istilah ini berarti penggelapan harta rampasan perang atau penggelapan harta rampasan perang. Oleh Rasulullah diartiakn sebagai; komisi (tindakan seseorang mengambil sesuatu/penghasilan di luar gajinya yang telah ditetapkan) dan hadiah (orang yang mendapatkan hadiah karena jabatan yang dimilikinya). Ghulul ini memenuhi unsur-unsur korupsi karena; adanya niat untuk memperkaya diri, merugikan orang lain sekaligus kekayaan negara karena ghanimah dan hadiah yang diterima merugikan hak ornag lain dan negara dan adanya penyalahgunaan wewenang serta tindakan yang bertentangan dan sekaligus melawan hukum karena dilarang agama dan merusak sistem hukum dan moral masyarakat.
2. Risywah (Suap)
Kata risywah secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi.sedangkan penyuapan (risywah) secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semislanya membataslakn hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain (Kompas,2005). Pengertian ini sesuai dengan pengertian para ulama yang menjelaskan bahwa korupsi adalah upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu. Suap atau Risywah walaupun dimaksudkan untuk tujuan yang tidak merugikan orang lain tetapi tetap dilarang sebagaimana haramnya hadiah bagi para pejabt, karena walaupun transaksi ini tidak merugikan orang lain atau publik tetapi dapat mengakibatkan hancurnya tata nilai dan sistem hukum (PP no 71, tahun 2000)
Beberapa kasus suap yang melibatkan pejabat di Indonesia adalah sebagai berikut;
1. Herman Alossitandi (Hakim PN Jakarta Selatan)
2. Ramadhan Rizal
3. Urip Tri Gunawan
4. Muhammad Iqbal
5. Samuel Ismoko
6. Suyitno Landung
7. Tengku Syaifuddin Popon
8. Harini Wiyoso
9. Al Amin Nur Nasution
10. Sarjan Tahir
11. AKP Suparman
12. Bagindo Quirino
13. Agus Sjafiin Pane
14. Soedji Darmono
15. Irawadi Joenoes
(Sumber Kompas, 5 April 2010)
3. Khianat
Secara umum, khianat diartikan sebagai tidak menepati janji. Dalam surat Al Anfal;27 dikemukakan larangan untuk mngkhianati amanat sesama manusia beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasulnya. Amanah yang dimaksud berarti sangat luas; politik, ekonomi, bisnis,sosial dan pergaulan.
4. Mukarabah dan gasab
Ghasab adalah mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan kekerasan (paksa) atau menghilangkan kekuasaan orang yang berhak dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat batil secara terang-terangan, tidak secara rahasia pada harta yang berharga dan dapat dipindahkan.
5. Saraqah (Pencurian)
Saraqah adalah tindakan mengambil harta pihak lainsecara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya.

6. Intikhab
Adalah merampas, menjambret atau mencopet.
7. Aklu Suht (Makan Hasil atau Barang Haram)
Merupakan semua konsep yang berkaiatan dengan korupsi, mulai dari ghulul sampai intikhab.
8. Kasus Bank Century
Hasil pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century;
Yang dipilih adalah OPSI C, yang kesimpulan isinya adalah sebagai berikut;
1. Diduga terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam;
a. Operasional bank CIC
b. Proses merger Bank Danpac, Bank Pikko dan bank CIC menjadi bank Century
c. Pemberian FPJP
d. Penyertaan modal sementara
e. Pengucuran dana
2. Diduga terjadi penyalahgunaan wewenang pihak otoritas moneter dan fiskal dengan mengikutsertakan pemegang saham pengendali, pengurus dan manajemen Bank CIC dan bank Century, debitor, nasabah terkait sehingga terindikasi merugikan keuangan dan perekonomian negara
3. Panitia angket telah mengidentifikasi nama pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab
4. Kasus bank Century merupakan perbuatan melawan hukum yang berlanjut dan/atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat otoritas moneter dan fiskal yang dapat merugikan keuangan negara sehingga dapat dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi.

REKOMENDASI
1. Semua penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terindikasi perbuatan melawan hukum agar diserahkan ke Polri, Kejaksaan Agung dan KPK
2. Meminta DPR bersama pemerintah segera membentuk dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan sektor moneter dan fiskal
3. Pemulihan aset yang telah diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan bank/negara selambat-lambatnya bulan desember 2012
4. Meminta DPR untuk membentuk tim pengawas tindak lanjut rekomendasi pansus selambat-lambatnya pada masa persidangan berikutnya
5. Meminta pemerintah dan atau BI segera menyelesaikan permasalahan yang menimpa nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas
(sumber; kompas, 5 Maret 2010)

Tindak Lanjut kasus Century

PROSES HUKUM

KPK
Kepolisian
Kejaksaan Korupsi melibatkan penyelenggaraan negara dan ada kerugian negara;
• pidana perbankan
• pencucian uang
• tindak pidana umum lain

PROSES KETATANEGARAAN
Hasil Pansus Angket
Hak menyatakan pendapat
Diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR
Perlu disetujui rapat paripurna DPR yang dihadiri ¾ anggota DPR, disetujui ¾ anggota DPR yang hadir
Kalau disetujui, pembentukan Pansus hak menyatakan pendapat, bekerja 60 hari
Hasil dilaporkan ke rapat Paripurna DPR, 2/3 DPR hadir, 2/3 setuju
Hasil : - bisa disampaikan ke presiden (rekomendasi)n
- Mahkamah Konstitusi (“impeachment”) – DPR – MPR – Putusan Pemakzulan
(Kompas, Maret 2010)

9. Analisis Kasus Perspektif Sosiologi
Menganalisis masalah indikasi korupsi di bank Century tidak semata-mata hanya menilai korupsi an sich, akan tetapi lebih jauh tentang kondisi sosial, ekonomi, politik yang terjadi di masyarakat. Ada beberapa komponen untuk bisa menguraikan kasus yang terjadi pada bank Century ini, yakni pengucuran dana sebesar 6,7 T tidak jelas siapa yang menerima, pemilik yang melarikan diri, transaksi keuangan yang lebih banyak fiktifnya, institusi pengawas bank yang dinilai tidak mampu menjalankan fungsinya serta perilaku nasabah bank yang memiliki perubahan perilaku.
Masyarakat yang menjadi nasbah sebuah bank, tentunya ada ekspektasi mengapa mereka menyimpan atau melakukan transaksi keuangan di sebuah bank. Sebelum kapitalisme finance ini berkembang, meluas, familiar dan menjadi bagain dari gay a hidup modern, masyarakat lebih tenang menyimpan uangnya di rumah (celengan) atau menyimpan uangnya tidak dalam bentuk uang, tetapi benda tidak bergerak (investasi tanah, rumah, sawah, emas dan atau usaha). Apalagi pada masyarakat yang lebih mengutamakan safety first (James Scote, 1964), tentunya tidak ada referensi dalam otaknya untuk menyimpan uang baik di rumah ataupun pada jasa bank, yang ada untuk memenuhi kebutuhan pokok. Seiring dengan perkembangan masyarakat ditinjau dari segi ekonomi, yang menurut WW. Rostow dapat ditinjau menjadi 5 tahap, yakni; masyarakat tradisional, persiapan tinggal landas (take off), tinggal landas (take off), industri (modern), Konsumsi tingkat tinggi dan pasca Konsumsi Tingkat Tinggi, ada perubahan perilaku masyarakat dalam bertransaksi keuangan. Pada masyarakat modern dan konsumsi tingkat tinggi, lebih aman, efektif dan efisien menyimpan uang di bank daripada di rumah dari segi keamanan dan keuntungan yang diperolehnya. Apalagi dengan keun tungan yang dijanjikan lebih besar dari yang biasa, tentu mereka akan lebih memilih pada bank tersebut. Harus kita ingat, pada level ini masyarakat mempunyai prinsip ekononi, dengan usaha yang sekecil-kecilnya, berusaha mendapatkan keuntungan yang sebasar-besarnya.
Nasabah bank Century tidak dalam jumlah sedikit menyimpan uangnya di bank ini, jutaan dan miliaran mereka menyimpan uang di bank Century. Ini menunjukan bahwa nasabah bank ini bukan hanya melakukan transaksi perbankan untuk sekedar menyimpan atau malakukan kredit perbankan, akan tetapi ingin mendapatkan keuntungan yang besar dari penyimpanan uangnya dari iming-iming yang diberikan oleh pihak bank itu sendiri (melalui promosi dan sebagainya). Ini yang mendorong para nasabah berbondong-bondong menyimpan uang dalam jumlah besar pada sebuah bank dalam kategori kecil pada level nasional, bermasalah artinya baru melakukan merger dan masih pada tahap pengawasan BI. Pilihan mereka ini pun sangat rasional ditinjau dari perspektif ekonomi.
Berkaitan dengan transaksi perbankan yang ada di Bank Century patut dinilai secara detil, apakah transaksi perbankan yang ada di sana seperti layaknya korporat financial yang lain, ataukah banyak terjadi transaksi fiktif. Misalnya penggelapan saham yang berniali milyaran rupiah dan sebagainya sehingga menarik nasabah yang tidak hanya berjumlah sedikit untuk menanam saham di bank Century. Karena transaksinya fiktif maka yang terjadi adalah kemudahan melakukan penggelapan uang alam bentuk perampokan dan sejenisnya yang bisa saja dilakukan oleh pemilik bank atau pihak lain yang memiliki akses di bank ini.
Sementara itu dugaan korupsi tentunya bisa dilihat dari faktor pemilik dan pengawas perbankan (LPS, JPKS, KSSK dan BI). Mengapa lembaga pengawas perbankan mengalami kebobolan dalam pengawasan terhadap bank sekecil bank Century. Mengapa mereka memberikan previllege kepada Bank ini, apa hubungan antara pemilik bank dan pengawas perbankan ini ? tentunya ada hubungan khsusus sehingga lembaga ini memberikan perlakukan khusus, untuk memperhatikan kondisi bank ini pada situasi krisis dengan memberikan dana talangan sebesar 6,7 T rupiah.
Yang menjadi kejanggalan kedua dan indikasi kuat korupsi adalah ketidakjelasan kemana aliran dana transfer dari bank ini. Mengingat pemilik bank tidak merasa menerima dana sebesar itu dan nasabah juga mempertanyakan kemana uang di bank Century yang mereka simpanan senilai milyaran rupiah itu. Tentunya pemilik dan pengawas bank dapat terjerat pasal 2 UU no 31/ 1999 tentang korupsi yang berbunyi Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara didipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Tentunya tidak mudah untuk dapat memutuskan suatu perkara itu adalah tindakan korupsi mengingat memerlukan bukti dan fakta yang tidak sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menindak perkara korupsi tidak hanya melibatkan pejabat hukum saja; kepolisian, KPK dan kejaksaan akan tetapi justru membutuhkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat yang lebih penting. Mengapa? Perlu kita ingat ada pilar demokrasi; civil society, media massa dan masyarakat yang berperan penting untuk mengontrol perkara hukum tersebut. Masih ada dalam ingatan kita kasus hukum Bibit Samad dan Candra serta Prita yang mendapat dukungan dari masyarakat luas dengan berbagai bentuknya yang mendapatkan kemenangan. Di sinilah apa yang disebut progresif dalam berhukum, bagaimana sebauah putusan itu melihat subyek dan obyek hukumnya, dan tentunya hati nurani para pejabat hukum. Demikian halnya dengan kasus Century ini, masyarakat harus terus mengawalnya.
Pada kenyataannya walaupun masih dalam tahap penyidikan dan melanjutkan rekomendsi dari DPR, akan tetapi masyarakat sudah dibuat lupa dengan kasus bank Century ini. Pemerintah yang bertanggungjawab bahkan sampai seperti terdakwa, akan tetapi berhasil melakukan pengalihan isu di media massa sehingga kasus bank Century ini tergantikan dengan kasus makelar kasus yang berkembang di polri. Masyarakat Indonesia yang berkarakter melodramatik berhasil “dikelabui” oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Artinya masyarakat kita belum siap untuk secara penuh menjadi negara demokrasi yang melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, akan tetapi justru masih didominasi oleh kekuataan pemerintah. Pilar-pilar demokrasi belum ditegakan di negara kita.

10. Referensi
James Scote. 1987. Moral Ekonomi Petani. Jakarta. LP3ES
Rostow,WW. 1963. The Stage of Economic Growth. America. The Cambridge University
Syamsul Anwar, Prof.Dr.2006.Fikih Korupsi (perspektif Ulama Muhammadiyah); Kemitraan Partnership
Yunahar Ilyas.2004. Korupsi dalam Perspektif Agama-agama. Yogyakarta. LP3 UMY
Wacana edisi 14 tahun III 2002; Korupsi, sengketa antara Negara dan Modal

Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 31 Republik Indonesia
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Selasa, 23 Maret 2010

Absurdnya Anomali Keadilan

TAJUK RENCANA KOMPAS, 20 MARET 2010

Dua nenek sepuh, Rusmini dan Soetarti, harus menghadapi proses pengadilan. Didakwa telah menyerobot tanah. Jika terbukti bersalah, masuk bui dua tahun.
Kita iba atas kasus dua orang berusia 78 tahun, yang akan disidangkan kembali minggu depan itu. Tidak hanya oleh kondisi yang tua renta, tetapi terutama oleh keterpaksaan mereka mengahadapi ganasnya hukum pidana dan bukan perdata. Padahal mereka sedang menunggu keputusan Mahkamah agung aatas gugatan perdata yang mereka ajukan.
Pepatah hukum tidak lain kecuali untuk kepentingan mereka yang kuat dan hukum pada dasarnya memang demikian. Sebaiknya tidak jadi rujukan. Sebab yang adil diartikan sebagai yang legal. Padahal dalam praktek, setiap rezim penguasa membuat hukumncenderung untuk mempertahankan, memperbesar dab melanggengkan kekuasaan.
Hukum dalam konteks demikian bertampang sangar, ganas dan menakutkan. Tidak bagi yang mempunyai kekuatan dan uang, tetapi bagi mereka yang lemah. Keadilan tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip mulia luhur keadilan, tetapi oleh kepentingan yang berkuasa dan berkekuatan.
Putusan pengadilan pun menjadi absurd. Keadilan menjadi anomali, teka teki yang sulit ditebak. Lembaga pengadilan bukan tempat untuk mencari dan mendapatkan keadilan dalam arti sebenar-benarnya, melainkan pengesahan publik.
Hakim dan jaksa bersamadengan polisi, masuk sebagai aparat penegak hukum, merupakan sosok-sosok serba kuasa. Ditangan mereka nasib perkaran diputus dalaam dua pilihan; bersalah atau tidak bersalah.
Keduduakn maha tinggi itu menggerakan ahli sosiologi hukum mengintroduksi ide hukum progresif. Ajakan itu-obsesi almarhum Prof. Satjipt rahardjo, bukan mematikan penafsiran hukum, bukan sebaliknya superaktif menafsirkan demi kepentingan yang berkekuasaan dan berkekuatan. Obsesi itu semata agar lembaga peradilan menjadi tempat meraih keadilan bagi siapapun, memeperkecil terjadinya absurditas dan anomali keadilan.
Dalam kasus Rusmini dan Soetarti, hukum progresif bukan hanya demi rasa iba dan kasihan, tetapi dmei dasr asasi yang bisa dipertanggungjawabkan, yakni menunggu keluarnya keputusan MA atas pengaduan perdata mereka, dan kepastian bahwa PP no.4/1994 tentang Rumah Negara yang jadi gugatan perdata mereka tidak berlaku.
Faktor-faktor diats tidak berarti mematikan prinsip yang bersalah harus dihukum, melainkan bahkan tanpa menempatkan faktor usiapun, asas-asas yuridis bisa menjad celah keberanian dan keluhuran budi hakim dalam memutus perkaras Rusmini dan Soetarti.
Selain keberanian, dibutuhkan empati dan kepekaan nurani hakim. Kasus dua janda pahlawan itu menjadi batu ujian; seberapa jauh anomali dan absurdnya keadilan bisa dibuat tegas sekaligus bernurani.

Senin, 22 Maret 2010

Kuliah 7

HUKUM PROGRESIF
(Disarikan dari Buku Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif dan Membedah Hukum Progresif)

Ada suatu pertanyaan yang berkaitan dengan hukum dan peraturan. Apakah ketertiban di masyarakat merupakan hasil dari bekerjanya hukum. Kita menganggap wajar, bila ketertiban disebabkan oleh karena adanya hukum; seperti perundang-undangan dan isntitusinya. Pikiran tersebut bersifat Hobbesian, dalam arti mempercayakan ketertiban masyarakat sepenuhnya kepada hukum yang hanya bisa dilahirkan oleh satu-satunya kekuasaan. Tanpa adanya kekuasaan absolute yang menguasai seluruh masyarakat, akan terjadi kekacauan, pertentangan antar anggota masyarakat. Maka, demi ketertiban dalam masyarakat, semua orang harus tunduk pada Negara. Masyarakat ditelan habis oleh Negara. Itulah menurut Hobbes, ongkos yang harus dibayar untuk mendaatkan ketertiban dalam masyarakat. Dalam konteks ini tidak ada ruang public, yang ada hanya ruang bagi Negara. Segala urusan ketertiban dalam masyarakat hanya bisa dilakukan melalui Negara, karena itu harus diserahkan kepada hukum. Hukum adalah satu-satunya institusi yang mampu menuntuskan segalanya.
Akan tetapi kenyataan di masyarakat bahwa serahkan semuanya kepada hukum, maka segalanya akan beres, hanyalah mitos belaka. Bila dikatakan bahwa hukum akan menghentikan kejahatan melalui sanksi pidana yang diancamkan, itu hanya sebagian dari proses. Itu baru cita-cita atau harapan karena sesudah peraturan, masih diperlukan tindakan agar apa yang diinginkan oleh peraturan (hukum) menjadi kenyataan. Dalam proses hukum, masih ada polisi yang harus bertindak, masih diperlukan masyarakat yang mendukung keinginan hukum. Artinya hukum perlu bekerja sama dengan penegak hukum untuk menuntaskan sebuah perkara.
Salah satu contoh masyarakat yang sangat menjunjung hukum adalah AS yang mengenal Syndrom Kitty Genovese (SKG). Mereka beranggapan jika sudah ada hukum, mengapa kita harus susah-susah melibatkan diri? Kita sudah membayar pajak, biarkan saja polisi menyelesaikan permasalahan kejahatan. Apa yang dialami oleh Kitty Genovese, pada tahun 1960, dalam perjalanan pulang, perempuan itu dicegat oleh laki-laki di dekat apartemennya, diperkosa, lalu dibunuh. Walaupun dia berteriak-teriak, tidak ada satu orang pun di apartemen yang perlu turun tangan. Hukum yang dijunjung tinggi habis-habisan akan menghilangkan sifat kemanusiaannya dalam hukum. Hukum menjadi steril tanpa adanya kepedulian kemanusiaan. Sebaliknya di Indonesia, kaum legalis menyatakan adanya sindrom tindakan main hakim sendiri, sedangkan para sosiologi hukum mengatakan sebagai bentuk self help dari komunitas di situ. Lalu dimanakah kondisi yang ideal diantara keduanya? Hukum diatas segalanya atau solidaritas yang tinggi dalam berhukum.



NEGARA HUKUM
Semenjak kita memproklamasikan kelahiran Negara hukum RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pada waktu itu kita merasa sudah menjadi Negara hukum yang sempurna secara formal, akan tetapi secara substansialnya masih jauh. Negara hukum yang ingin kita bangun berdasarkan Undang-Undang Dasar yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga Negara hukum memikul beban yang sangat berat, yakni memandu bangsa ini menuju kepada kehidupan yang bahagia.

Negara hukum tidak instan, akan tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia sendiri, layaknya perkembangan masyarakat di Eropa yang membutuhkan waktu 10 abad untuk menemukan sebuah konsep rule of law dan Negara konstitusional yang diawali dari feodalisme, staendesstaat, negara absolute sampai Negara konstitusional. Negara hukum di Indonesia adalah impor, dipaksakan dari luar (imposed from outside) melalui transformasi dan transplantasi, melalui lompatan dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Sehingga membangun Negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum dan membangun peradaban baru. Menjadi Negara hukum yang sebenarnya adalah proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan social dan kultur. Hukum dan Negara hukum modern membutuhkan suatu predisposisi social dan cultural tertentu untuk berhasil dengan baik. Salah satu persyaratan yang menonjol adalah ambruknya tatanan kolektif dan personal untuk digantikan dengan tatanan yang rasional dan impersonal. Seingga semakin teralienasi manusia satu dengan yang lain, hukum modern semakin diperlukan. Semakin urban dan individual suatu masyarakat, maka semakin hukum itu dibutuhkan. Sebaliknya masyarakat dengan kehidupan kolektif dan solidaritas yang tinggi kurang memerlukan hukum.

Negara hukum tidak bisa direduksi menjadi negara undang-undang atau lebih rendah lagi negara prosedur. Apabila itu yang terjadi, negara hukum Indonesia sudah kehilangan grandeur, keaguangan dan kebesarannya. Negara hukum bukan hanya secarik dokumen, tetapi sesuatu proyek yang jauh melampaui dokumen kata-kata dan konsep. Sehingga penyelenggaraannya perlu diserahkan kepada orang-orang yang tercerahkan oleh ide besar bernegara hukum. Negara hukum juga perilaku bagi orang-orang yang melaksanakannya. Negara hukum yang diharapkan menjadi bangunan yang penuh Grandeur dan berkah bagi rakyat manakala hukum dipahami dan dijalankan dengan kelengkapan logika; logika peraturan (membaca peraturan), logika kepatutan sosial (socaial reasonableness). Pada saat kita mempertimbangkan “apakah yang ingin kita lakukan sudah sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat” dan logika keadilan (logika yang dapat diperoleh tidak hanya dengan membaca aturan, tetapi melakukan perenungan dan pemaknaan lebih dalam terhadap apa yang kita baca. Adilkah keputusan yang sudah dibuat ?

Karut marut hukum di Indonesia, bukan hanya ditunjau dari sisi hukum semata, artinya perhatian lebih diarahkan pada aspek perundang-undangan dengan melakukan amandemen, akan tetapi perlu juga diimbangi dengan gerakan penegakan supremasi hukum, yang selama ini berjalan di tempat.

Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan social yang lebih luas. Berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).

Menurut Hakim Agung, O.W.Holmes bahwa menjalankan hukum bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience). Menurut Van Doorn, sosiolog hukum Belanda bahwa hukum merupakan skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri sering terjatuh dari skema yang diperuntukan baginya. Hal ini disebabkan oleh factor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lainnya yang mempengaruhi dan membentuk perilaku. Factor perilaku atau manusia sangat berpengaruh dalam kehidupan hukum. Ketika kita berbicara perilaku dalam hukum, maka hal yang perlu diperhatikan adalah aspek Human Capital, yang kita miliki hanya sedikit. Seseorang pernah menyatakan bahwa “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan. Dalam suatu dialog di TVRI, seorang anak muda ada yang mengatakan bahwa ‘selama UUD kita dijalankan oleh orang-orang yang berjiwa kerdil, maka impian dan cita-cita UUD tidak akan terwujud’.

Selain Human Capital, kita juga memerlukan Social Capital dalam berhukum. Kita menyatakan bangsa Indonesia yang berbudi luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan dan semacamnya, akan tetapi hal tersebut tidak sampai pada kultur hukum kita. Kultur hukum kita cenderung individualistic. SC merupakan tulang punggung untuk menjalankan kehidupan bernegara hukum. Jepang dan Amerika memilki SC masing-masing sebagai pendukung Negara hukumnya. Jepang menekankan moral kolektivisme yang menjalankan hukum dengan hati nurani, sementara AS pada individualism dan liberalism yang sangat rasional dalam menjalankan hukum.

Kita bernegara hukum untuk apa? Apakah hukum itu hanya semata-mata untuk mengatur masyarakat ataukah untuk suatu tujuan yang lebih besar, yakni memberikan kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya. Hukum sebagai peraturan menempatkan rasionalitas diatas segalanya, sehingga dapat menghasilkan sebuah peraturan. Artinya hukum demi hukum. Akan tetapi tujuan hukum bukan pada itu, akan tetapi hukum lebih menginginkan mewujudkan keadilan dan kebahagiaan diatas segalanya. Itu yang kita dapat amati bagaimana orang Timur menjalankan hukum yang ada di negerinya.

Selain pemikiran rasionalitas, ada metode berpikir yang lain, yakni perasaan (mempertimbangkan lingkungan atau habitat sehingga tidak semata-mata logika dan spiritual (mencari makna dan nilai yang tersembunyi dibalik obyek yang ditelaah). Kecerdasan intelektual yang bersifat rasional selalu terikat pada patokan (rule bound) dan amat melekat pada program yang telah dibuat (fixed program) sehingga menjadi deterministic. Berpikir menjadi suatu finite game. Berpikir dengan perasaan lebih maju, karena tidak semata-mata menggunakan logika tetapi bersifat kontekstual. Sedangkan kecerdasan spiritual, tidak ingin dibatasi dengan patokan (rule bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, nilai yang lebih dalam. Dengan demikian berpikir menjadi suatu infinite game, tidak ingin diikat dan dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transenden). Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule making). Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkkrkan kedua model yang lain, akan tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat yang oleh Zohar dan Marshall disebut sebagai “kecerdasan sempurna”.

Dalam kaitannya kehidupan hukum, kecerdasan spiritual tersebut muncul dalam menjalankan hukum, tidak semata-mata menerapkan huruf-huruf dalam peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Paul Scholten, seorang Guru Besar di Belanda menyatakan bahwa hukum memang dalam undang-undang, akan tetapi masih harus ditemukan (finding law). Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar.

Pengadilan Progresif-Kasasi
Kasasi pada tingkat pangadilan adalah tidak lagi membicarakan fakta, yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum yang telah dijalankan dengan benar ataukah tidak oleh pengadilan di tingkat bawah. Yang berhak melakukannya adalah MA, sehingga MA akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan hakim di PN atau PT untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif, proses yang sarat dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya.

Pengadilan progresif memiliki semboyan; hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Dalam pengadilan progresif pun membutuhkan seorang hakim progresif bahwa hakim bukan hanya pembaca teks undang-undang semata, akan tetapi juga sebagai makhluk social. Hakim adalah representasi dari masyarakat, ia berbagi suka dan duka, kecemasan, penderitaan, harapan seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat. Melalui putusan-putusannya, hakim mewakilki suara masyarakat yang tidak terwakilki (unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented). Pekerjaan penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh factor dari luar, tetapi juga dari dalam. Dalam hal ini dikemukakan ada 2 penegak hukum, sehingga melahirkan 2 macam penegakan hukum. Hal ini menunjukan bahwa hukum bukan hanya soal peraturan, akan tetapi keterlibatan manusia secara utuh. Jaksa yang berani dan membedakan dengan yang lainnya karena mereka selalu merujuk pada hati nurani.

PEJABAT HUKUM PROGRESIF
1. Baharudin Lopa

(Baharudin Lopa)
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah. Dia, teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum. Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur.Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung. Ketika menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan (dari berbagai sumber).
2. HAKIM BISMAR SIREGAR

(Bismar Siregar)
Ibarat kaca, mantan hakim agung Bismar Siregar SH, menjadi cermin kebeningan hati nurani bagi para hakim. Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara (1984), ini selalu mengandalkan hati nurani setiap kali mengambil keputusan. Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang, hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.
Untuk itu, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya sendiri. Dia tidak ingin membohongi hati nuraninya ketika memutuskan suatu perkara. Setiap kali membuka berkas perkara atau memimpin sidang pengadilan, nurani keadilan selalu terbayang dibenaknya. Karena itu, kebanyakan teman menganggapnya sebagai hakim yang aneh, penuh kontroversi. Padahal duduk soalnya sederhana saja, Bismar tidak mau disuap, tidak bisa dibeli. Bismar selalu berdialog dengan hati nuraninya: “Salahkah orang ini? Jahatkah dia? Bagaimana hukumannya, berat atau ringan?” Sesudah hati nuraninya memutuskan, maka ia mencari pasal-pasal hukum sebagai dasarnya. Masih ada contoh lain. Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan menjadi tiga tahun. Perkara ini diputuskan oleh PN Tanjungbalai, tetapi diubah oleh Pengadilan Tinggi Sumut. Ketika mengadili seorang tokoh BTI/PKI, Mei 1965, Bismar berani melawan tekanan PKI. Sebab Bismar beranggapan, hakim itu wakil Tuhan di dunia.Dia juga menggelisahkan kekurangan pemahaman dan penjabaran hukum oleh para penegak hukum. Bagi dia, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka harus disingkirkan, asal mencapai keadilan. Demi keadilan, baginya, tidak ada alasan bagi hakim menyatakan belum ada undang-undangnya. Hakimlah undang-undangnya!
Dia juga menyesalkan hakim-hakim yang tidak mengerti ajaran agamanya. Sebab hakim memutuskan perkara dengan diawali kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, sesuai ajaran Tuhan tegakkan dengan adil. Pengalamannya sebagai hakim, selalu memutuskan perkara dengan bijaksana, dengan mendengar hati nurani. Dalam KUHAP juga disebut dengan arif dan bijaksana. “Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum,” ujar Bismar Siregar.
3. POLISI HOEGENG


Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia, ini dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dia simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.
Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat. Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm. Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.
Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan
mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula. Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean. Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng
masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng. (disarikan dari berbagai Sumber)
Mereka; Baharudin Lopa, Bismar Siregar dan Hoegeng adalah tokoh-tokoh penegak hukum yang selalu merujuk pada hati nurani yang memiliki keberanian dalam menegakan hukum. Putusan hati nurani adalah nomor satu, sedangkan hukum adalah nomor dua. Sehingga ada ungkapan bahwa keadilan adalah diatas peraturan. Hukum bisa ditempatkan pada wilayah abu-abu. Masalah yang dihadapi adalah masalah social, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Di lain pihak, ia dituntut untuk bekerja sebagai teknologi yang eksak. Tarikan antara titik kemanusiaan dan titik mesin inilah yang mewarnai dunia hukum saat ini.

HUKUM PROGRESIF
Progresif berasal dari kata Progress yang berarti kemajuan.
Hukum progresif berarti hendaknya hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum sendiri.

Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelamahan dan berusaha untuk memperbaikinya. Hukum sangat rentan dengan terhadap keadaan status quo. Bagi para penegak hukum, mempertahankan status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan perubahan dan pembaharuan. Kekuatan hukum progresif (kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokad, akademisi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dll) akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Hal ini merupakan paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan, yang paling penting adalah manusia yang bisa menolong kondisi buruk yang diakibatkan oleh sistem. Sehingga sangat diperlukan sikap kritis terhadap hukum normatif dan inilah semangat progresif untuk memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people). Hakim-hakim profgresif bertindak atas dasar itu.

Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan kepada rakyat?” Artinya, hukum tidak menjadi tawanan sistem dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, manusia pada dasarnya baik, memilki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Artinya hukum itu menjadi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan tersebut. Hukum bukan raja, tetapi hanya alat saja yang memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Hukum mempunyai tujuan besar untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka hukum selalu berada pada status law in the making. Hukum bukan untuk dirinya sendiri dan tidak final. Artinya setiap putusan adalah sebagai terminal menuju kepada keputusan berikutnya yang lebih baik. Sehingga hukum ini selalu peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya; awalnya ada dua sistem hukum di dunia yang bekerja dengan jalannya masing-masing, yakni civil law dan common law. Civil law adalah sebuah sistem yang mencerminkan karya manusia yang sadar dan sengaja, sedangkan yang common law adalah sistem yang berkembang secara tradisional tanpa aktor-aktor pembuat yang nyata. Akan tetapi sekarang dunia berbicara mengenai keduanya pada suatu sistem yang myxed system. Tentunya percampuran itu terjadi karena berbagi faktor; fenomena global yang memicu kepadatan dan intensitas interasi, interface dan interchange kelembagaan dan proses-proses di dunia.

Hukum progresif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum ini merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang syarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum ini ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo,serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Konsep pemikiran tersebut ditawarkan untuk diimplementasikan dalam tataran agenda akademis dan aksi. Agenda akademis, dalam arti hukum progresif menolak pengutamaan dan penggulan ilmu hukum yang bekerja secara analitis (analytical jurisprudence), yaitu mengedepankan peraturan dan logika. Hukum progresif lebih bertumpu pada aras sosilogis dalam menjalankan hukum.

Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Secara lebih spesifik, hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Hukum ini ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat yang memiliki tipe responsif; artinya hukum akan selalu dikaitakand engan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.

Hukum progresif banyak dipengaruhi oleh aliran legal realisme yang melihat hukum bukan dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibta-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang tentang mengenai hukum melampaui peraturan dan teks dokumen. Karena kehadiran hukum diakiatkan dengan tujuan sosialnya, maka hukum ini juga dekat dengan sociological jurisprodence, Roscoe Pound. Studi hukum bukan hanya tentang peraturan-peraturan, melainkan keluar dari stu dan melihat efek hukum serta bekerjanya hukum. Kedekatan hukum progresif dengan teori hukum alam terletak pada kepeduliannnya terhdap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta juridical. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan. Hukum progresif juga memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies (CLS) di AS, tahun 1977. Keduanya muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum di negera tersebut.

Minggu, 14 Maret 2010

Kuliah 6

Hari senin, tanggal 15 maret 2010 tidak ada kuliah

Tugas makalah harus terkumpul semua
Tanda tangan di Mas Anif

terima kasih,
Muryanti,MA