Kamis, 18 Februari 2010

Kuliah 3

PEMIKIRIAN SOSIOLOGI TENTANG SOSIOLOGI HUKUM
Pada kuliah ketiga ini kita akan membahas tentang tokoh-tokoh sosiologi yang mempunyai sumbangan pemikiran terhadap sosiologi hukum dan melanjutkan film the Jury yang baru diselesaikan minggu lalu.

1.EMILE DURKHEIM
Karya Durkheim menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Ciri khas dari masyarakat tradisional ini adalah menghasilkan solidaritas mekanik bahwa solidaritas itu berdasarkan pada suatu tingkatan homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan lainnya. Homgneitas serupa hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim (Johnson, 1986).
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif, seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Dalam karyanya “The Division of Labour in Society” ini juga, Durkheim mencoba mengkaji perbedaan antara hukum dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik dan hukum dalam masyarakat dengan solidaritas organic (Cotteral, 1999). Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secra obyektif yang menimpa masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukukman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang atau tidanakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya. (Johnson, 1986)
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan soidaritas mekanik dibentuk oleh hukum represif. Karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Karena setiap orang merasakan pelanggaran itu dan sama-sama meyakini moralitas bersama, maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggarannya terhadap system moral kolektif. Pencurian akan melahirkan hukuman berat. Meskipuan pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat. (Ritzer, 2008)
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. (www.wikipedia.org). Masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif dimana seseorang yang melanggar hukum harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Hukum restitutif berfungsi untuk mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantugan yang komplek antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tipe sanksi yang diberikan kepada seorang tersangka misalnya bukan untuk memberikan efek jera, melainkan untuk memulihkan keadaan (Johnson, 1986)
Dalam masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap system moral itu sendiri. Karena kurangnya moral bersama, kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Para pelanggar hukum pada masyarakat organis akan dituntut membuat restitusi untuk siapa saja yang diganggu gugat kepentingannya. Meskipun dalam masyaerakat ini ada hukum represif akan tetapi hukum yang bersifat restitutif lebih menonjol (Ritzer, 2008)
Dalam system organic, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat. Sebagai hasilmnya hukum itu lebih besifat rasional, disesuaikan dengnparahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang kompleks itu, yang mendasaari solidaritas social. Pola restitutif ini jelas terlihat pada hukum-hukum pemilikan, hukum-hukum kontrak, hukum perdagangan dan pertaurana dministratif dan prosedur-prosedur.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri. (www.wikipedia.org)

CATATAN;
Perkembangan hukum yang berlaku di masyarakat menunjukan tingkat perkembangan masyarakat tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik mainstream. Hukum adalah manifestasi dari persoalan laten ekonomi dan politik suatu Negara. Menurut Durhekim pembagian kerja yang ada di masyarakat (tentunya ditnjau dari segi ekonomi) mempengaruhi solidaritas yang terbentuk dan hukum yang berlaku. Hukum represif untuk masyarakat mekanik dan hukum restitutif bagi masyarakat organic.
Kondisi berlakunya sutau hukum tertentu adalah tahap perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa hukum yang berlaku di suatu Negara tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan hukum yang belaku di Negara yang lain. Semuanya adalah proses, kesadaran dan kebutuhan bersama terhadap peraturan yang seharusnya ditaati oleh semua kelompok dalam masyarakat itu sendiri.
Pada perkembangan masyarakat kita, masyarakat tradisional (pedesaan) tidak selalu menerapkan hukum represif, justru ada yang restitutif dan pada masyarakat modern (perkotaan, dengan pembagian pekerjaan yang tinggi) tidak juga menerapkan hukum yang bersifat restitutif akan tetapi justru sebaliknya. Hal ini yang perlu menjadi catatan bahwa kedua karakter masyarakat tersebut masih menerapkan hukum yang bersifat represif (bersifat mengukum dan memberikan efek jera), tidak bersifat restitutif (memulihkan dan mencegah keadaan). Mengapa hal ini bisa terjadi, apakaah tahap perkembangan masyarakat kita adalah baru pada solidaritas mekanik ataukah hukum yang bersifat restutif itu utopia balaka ?

2. MAXILIAN WEBER
Weber merupakan tokoh yang sanagt berpeangaruh di sosiologi karena karyanya banyak dan bervariasi dapat ditafsirkan secara beragam sehingga sangat mempengaruhi banyak teori sosiologi. Karyamya mempengaruhi teori structural fungsional melalui Talcot Parson, karyanya juga dianggap penting bagi tradisi konflik dan teori kritis yang sama-sama dibangun oleh Marx dan Weber. Ahli interaksi simbolik juga dipengaruhi oleh Weber dengan teori verstehen. Kalangan teoritikal pilihan rasional pun juga dipengaruhi oleh Weber (Ritzer, 2008)
Pada awalnya studi Weber adalah ilmu hukum dan menjalani kerja akademik pertamanya juga di bidang hukum. Kemudian dia bergeser memiliki ketertarikan yang luar biasa pada sosiologi dan sejarah. Berkaitan dengan analisisnya tentang hukum, tidak bisa dipisahkan pendapatnya tentang tindakan social. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tidak lain untuk memfokuskan perhatian pada individu, pola, regularitas hukum dan bukan pada kolektivitasnya. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subyektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia individual. Weber tidak mengelak bahwa sosiologi tindakan pada akhirnya berkutat pada individu, bukan kolektivitas (Ritzer, 2008)
Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar;
1. Rasionalitas sarana-tujuan
Atau disebut tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia laian; harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan actor lewat upaya dan perhitungan yang rasional. (Ritzer,2008). Tingkat rasionalitas ini merupakan tahapan yang paling tinggi karena menyangkut pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang diperguankan untuk mencapainya. Individu dilhat sebagai seseorang yang mempunyai tujuan-tujuan yang mungkin didinginkannya dan atas suatu criteria menentukan satu tujuan diantara tujuan-tujaun yang saling bersaiangan. Individu yang menentukan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Pada akhirnya suatu pilihan dibuat dibuat atas dasar alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitasnya. Tindakan ekonomi pada system pasar merupakan bentuk dasar dari tindakan rasionalitas instrumental. Tipe tindakan ini juga tercermin pada organisasi birokratis yang ada saat ini. (Johnson, 1986)
2. Rasionalitas nilai
Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh atas kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religious atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya
3. Tindakan Afektual
Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor
4. Tindakan Tradisional
Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak actor yang biasa dan telah lazim dilakukan
Tindakan-tindakan social yang dilakukan oleh individu memperngaruhi bangunan dasar untuk struktur-struktur social yang lebih besar, mulai dari tungajtan hubungan social, ke tingkat keteraturan ekonomi dan social politik. Stabilitas keteraturan social yang abash tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja (uniformitas tidak diperkuat oleh sanksi eksternal) atau pada kepentingan diri individu yang terlibat. Sebaliknya keteraturan social didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-pertauran yang mendasari keteraturan itu sebagai sesutaui yang diterima dan atau yang diinginkan. Norma atau pertauran tersebut bisa berdasarkan hukum atau konvensi. Pembedaan diantara keduanya aalah bahwa hukum tersebut diperkuat oleh sutau badan khsusus, sedangkan konvensi didukung oleh tanggapan masyarakat di sekitarnya (Johnson, 1986)
Individu dapat menerima peraturan yang berlaku berdasarkan alasan yang berbeda-beda. Organisasi yang berbadan hukum, yang didirikan berdasarkan kepentingan kontraktual merupakan hubunagn yang asosiatif (rasional) bukan komunal (emosional). Perhatain Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan social yang abash, ini artinya bahwa keteraturan social dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu diterima sebagai sesuatu yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada dominasi atau mereka yang dominan.
Menurut Weber tiga dasar legitimasi yang digunakan untuk menggolongkan otoritas adalah sebagai berikut;
1. Otoritas Legal Rasional
Otoritas ini dianggap paling tertinggi tingkatannya, otoritas ini berdasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peratuuarn yang dibuat secara resmi dan ditaur sevcara impersonal. Orang yang mau melakukan otoritas ini karena dia memilki posisi social yang menurut peraturan yang sah dia didenisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi social yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai yang harus tunduk dalam bidang-bidang tertentu. Artinya peraturan berhubungan dengan posisi serupa itu, bukan dengan orang yang kebetulan menduduki posisi itu. Otoritas legal rasional ini diwujudkan dalam bentuk organisasi birokrasi (Johnson, 1986)
2. Otoritas Tradisional
Tipe otoritas ini berdasarkan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu sertablegitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimiliknya. Jadi alas an terpenting seseorang taat pada struktur otoritas adalah kepercayaan terhadap hal masa lalu yang selalu ada. Mereka menggunakan otoritas termasuk dalam satu kelompok status yang secara tradisional menggunakan otoritas atau yag mereka dipilih sesuai dengan pertauran yang berlaku. Hubunagn antara tokoh yang memilki otoritas dengan bawahannya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Weber menggolongkan tiga otoritas tradisional; gerontokrasi, patriarchalime dan patrimonialisme.
1. Gerontokrasi
Pengawasan berada pada pada orang-orang tua pada kelompok. Tidak memiliki staf administrasi
2. Patriarchalisme
Pengawasan pada tangan satu satuan kekerabatan (rumah tangga) yang dipegang oleh seorang individu tertentu yang memilii otoritas warisan. Memilki staf adminstrasi
3. Patrimonialisme
Memiliki staf administrasi yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpinnya. Pegawai-pegawai lahir di dalam administrasi rumah tangga si pemimpin. Para administrator pemerintaha dalah pelayan pribadi dan wakil-wakil pemimpin.
3. Otoritas Karismatik
Otoritas ini berdasarkan pada mutu luar biasa yang dimilki pemimpin itus ebagai seorang pribadi. Istilah charisma digunakan untuk menunjukan pada daya trik pribadi yang ada pada diri seorang pemimpin. Dalam penggunaan Weber, hal itu meliputi karakteristik-karakteristik pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menajdi pengikutnya. Dia juga menggunakan istilah ini untuk pemeimpin umat beragama yang kharismatik dimana dasar kepemimpinan mereka adalah keperayaan bahwa mereka memiliki suatu hubungan khusus dengan yang Ilahi atau malah mewujudkan karakteristik-karakteristil Ilahi tersebut. (Johnson, 1986)
Tidak seperti system otoritas tradisionalda n legal rasional, kepemimpinan karismatik tidak diorientasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Kalau otoritas tradisional diorientasikan untuk mempertahankan status quo, kepemimpinan karismatik biasanya menantang status quo. Pemimpin karismatik mengemukakan pesannya dengan rumusan tegas. Gerakan social yang dipimpin secara kharismatik bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah yang biasanya muncul di luar kerangka kehidupan sehari-hari yang biasa dan dalam semangatnya bertentangan dengan apa yang rutin dalam kehidupan yang biasa tersebut. (Johnson, 1986)

CATATAN;
Sumbangan pemikiran Weber pada sosiologi hukum adalah tahap perkembangan masyaraakat yang mencerminkan bagaimana hukum itu berlaku. Pada masyarakat yang memiliki tindakan rasional dipengaruhi oleh otoritas tradisional, nilai dan kharismatik tentunya hukum yang berlaku berbeda dengan tahapan masyarakat yang memiliki rasionalitas sarana tujuan. Pada masayarakat ini bukan lagi konvensi dan hukum lisan yang berfugsi untuk menegakan peraturan dalam masyarakat, akan tetapi yang berlaku adalah hukum positif seperti yang kita kenal saat ini, yang produknya berupa undang-undang.
Birokrasi seperti yang kita kenal saat ini dalam berbagai macam bentuknya ataupun system ekonomi kapitalisme yang kita kenal memerlukan suatu regulasi yang tegas, teratur dan mengatur system keteraturan social secara rapi. Bentuk-bentuk organisasi social seperti ini ataupun tahapan masyarakat yang legal dan rasional ini merupakan kondisi yang tepat untuk berlakunya hukum positif.

3.TALCOTT PARSON
Struktural fungsional merupakan aliran sosiologi yang dominan pada awal abad ke-19 dengan tokoh yang tokohnya Talcot Parson dan Robert Merton. Kingsley Davus mengatakan bahwa dalam hal maksud dan tujuan, fungsionalisme structural sinonim dengan sosiologi. Dalam fungsionalisme structural, istilah structural dan fungsional tidak boleh digunakan secara bersamaan, meskipun kedua-duanya adalah satu kesatuaan. Kita dapat mempelajari struktur-struktur masyarakat tanpa membahas fungsinya (atau konsekuensi-konsekuensinya) baagi struktur lain. Senada dengan itu kita dapat menelaah fungsi dari berbagai proses social yang mungkin saja tidak berbentuk structural. Meskipun fungsionalisme structural memiliki beragam bentuk. Fungsionalisme masyarakat adalah pendekatan dominan dinatar para fungsionalis structural social (Ritzer, 2008)
Menurut focus ini, isu fungsional utamanya adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan orang-orang pada posisi tepat dalam system stratifikasi, yang dapat dikerucutkana menajdai daua maslaha; 1). Bagaimana masyarakat memasukan hasrat untuk memasukai posisi tertentu pada individu-individu yang tepat. 2) begitu orang-orang pada posisi yang tepat, bagaimana masyarakat memberikan hasrat untuk memenuhi persyaratan-persyaratan posisi tersebut. Fungsionalisme structural Parson ini mempunyai 4 imperatif fungsional bagi system tindakan, yakni skema AGIL; fungsi adalah suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan system. Empat imperative fungsional yang diperlukan adalah A (adaptation)-adaptasi, G (goal attainment)-pencapaian tujuan; I (integration)-integrasi dan L 9Latency)- pemeliharaan pola. Agar sebuah system bisa berjalan dan bertahan hidup, maka keempat imperatif fungsional tersebut harus berjalan bersama-sama;
1. Adaptasi, system harus mengatasi kebutuhan situasional yang dating dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Pencapaian Tujuan, sistemharus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya
3. Integrsi, system harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menadji komponennya, ia pun harus mengatur antara ketiga imperative fungsional tersebut
4. Latensi (pemeliharaan pola), system harus melengkapi, memelihara dan memperbari motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahan motivasi.
Dalam analisis structuralnya Parson lebih banyak mengkaji tentang system social pada skala makro, yakni kolektivitas, nirma dan nilai. Pada analisis sistemnya, dia juga seorang fungsionalis dengan prasyaratnya sebagai berikut;
1. Sistem harus terstruktur sehingga dapat beroperasi secara baik dengan system yang lain
2. Agar bisa bertahan hidup, system harus didukung oleh system yang lain
3. System harus secara signifikan memenuhi kebutuhan-kebutuhan aktornya
4. System harus menimbulkan partisipasi yang memadai dari anggota-anggotanya
5. Sistem harus mempunyai control yang minimum terhadap perilaku yang merusak
6. Jika konflik mmejadi sesuatu yang menimbulkan kerusakan signifikan, ia harus dikontrol. (Ritzer, 2008)

Pada akhirnya system memerlukan bahasa dan regulasi untuk menjalankan fungsinya


CATATAN;
Struktural fungsionalisme mensyaratkan beberapa hal agar dapat terwujud system social yang bisa berjalan sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Sistem social tersebut memerlukan aturan (hukum) yang berfungsi untuk menggerakan roda-roda system agar berjalan dengan baik. Secara eksplisit Parson memang tidak memberikan sumbangan pada sosiologi hukum, akan tetapi hanya secara global memberikan pendapat bahwa system social yang dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya memerlukan prasyarat memperhatiakn system yang lain sehingga berjalan seirama dengan harmoni kehidupan. Hukum itu lah yang diiperlukan untuk menciptakan sebuah system social yang rapi, teratur dan ada mekanisme keseimbangan dengan system yang lain. Alat control apabila terjadi konflik yang berada dalam system itu pula yang disebut dengan hukum yang sangat diperlukand alam masyarakat.

MOGA BERMANFAAT
KITA DISKUSIKAN HARI SENIN DI KELAS YA……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar