Senin, 24 Mei 2010

Kuliah 13

PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT)

Apa yang dapat kita pahami dari pembahasan tentang beberapa undang-undang yang sebelumnya sudah kita bahas; UU PKDRT, Korupsi, Agraria, Lingkungan, Politik? Apa yang tercantum indah dalam pasal-pasal tersebut belum bisa menjadi seindah apa yang terjadi di masyarakat. Harapan praktek kehidupan masyarakat sesuai dengan undang-undang masih jauh dari harapan pembuat undang-undang itu sendiri. Diatas kertas indah dan harmoni, akan tetapi masyarakat kita masih dilekati kebudayaan dan watak yang tidak mudah untuk ditaklukan hanya dengan undang-undang. Mengingat hal tersebut adalah karakter,watak dan mental masyarakat. Walaupun demikian tidaklah tabu kita membicaraka tentang pengakan hukum di Indonesia untuk mengetahui dimanakah posisi kita sebagai negara hukum dan untuk memperbaiki kehidupan berhukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Pengertian
Penegakan hukum mempunyai dua arti,yakni;
1. Arti Formil
Menurut pemahaman ini, penegakan hukum diartikan sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Ketertiban masyarakat menjadi syarat utama lancarnya pembangunan, stabilitas keamanan masyarakat serta langgengnya kekuasaan status quo yang dominan pada situasi itu. Kondisi masyarakat diharapkan bisa diorganisir oleh kekuasaan publik, sistem kaedah-kaedah didasarkan pada hierakhi perintah dan tentunya penegakan hukum ini menjadi alat yang efektif untuk menjalankankan pemerintahan yang tiranis.
2. Arti Materiil
Dalam arti ini, penegakan hukum dikembalikan kepada hakikat dan fungsi hukum yang sesungguhnya yakni adanya jaminan keadilan sosial (keadilan setiap golongan mendapatkan penghargaan dan tidak dirugikan oleh pihak atu golongan lain). Hukum justru menjadi pelindung bagi masyarakat dari kekuasaan yang semena-mena dan menindas.
Pengakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,cita yang abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral (keadilan dan kebenaran) yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkandi dalam kadiah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sementara itu penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum dan penegakan hukum ini dilakukan dengan kecerdasan spiritual bukan hanya inteletual saja. Konsep pemikiran dalam penegakan hukum dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan cita-cita hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keingainan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peratuan-peraturan hukum. Yang dapat digambarkan sebagai berikut;
organisasi
Tujuan-tujuan organisasi - kondisi keamanan dan ketertiban
Hukum organisasi - perumusan UU; hak dan kewajiban
organisasi


Artinya bahwa untuk menerjemahkan tujuan-tujuan hukum menjadi perumusan UU atau untuk mewuju7dkan kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat diperlukan perangkat organisasi-organiasasi yang komplek. Organisasi tersebut lahir sebagai wujud dari adanya masyarakat yang kompleks untuk mengakomodir beranekaragamnya kondisi sosial, ekonomi dan politik. Organisasi yang dimaksud adalah pembuat hukum dan birokrasi penegak hukum.

Alur Penegakan Hukum
Unsur-unsur yang terlibat dalam penegakan hukum dibagi menjadi 2; unsur-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang jauh (lingkungan pribadi ataupun sosial) dan dekat (badan legislatif dan kepolisian). Proses penegakan hukum menjangkau sampai pula pada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukumyang dituangkan dalam pertauran hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Pada kenyataannya proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabt penegak hukum. Sementara itu, tingkah laku orang dalam masyarakat didisiplinkan oleh kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat. Kaidah-kaidah tersebut engikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarakat, termasuk didalamnya para pejabat hukum.

Penegakan Hukum dan Struktur Masyarakat
Pengakan hukum bukanlah sutau kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat. Hukum yang dimaksud itu adalah hukum modern yang mengiringi lahirya masyarakt modern.Dalam tahap perkembangan masyarakat ditinjau dari perkembangan hukum, menurut Gianfranco Poggi proses pembentukannya dibagi dalam tahap-tahap sebagai berikut;
1. Feodalisme
(belum ada hukum tertulis, sengketa diselesaikan dengan kekeluargaan dan komunal )
2. Standestaat te
(awal adanya tata kehidupan hukum dan kenegaraan, muali adanya kelompok atau individu yang mengatur masyarakat)
3. Absolutisme
(kekuasaan ditentukan oleh penguasa)
4. Masyarakat perdata
(lahirnya penyeimbang penguasa dalam bentuk penguatan civil society dan korporasi)
5. Negara Konstitusional
(adanya peraturan yang diberlakukan oleh aparat negara kepada masyarakatnya)
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan masyarakat tersebut, menurut Weber semakin maju masyarakat, maka pola pikirnya semakin rasional yang bertumpu pada kepercayaan terhadap kesahihan pola-pola kaidah normatif dan terhadap hak mereka dari mereka yang memiliki otoritas yang muncul dari akidah tersebut. Penggarapan hukum dilakukan seara sistematis dan penyelenggaraan hukum secara sistemdan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesional dengan cara ilmiah dan logis formal. Kondisi punaknya adalah terbentuknya negara konstitusional. Sebelum terbentuk negara konstitusional penyelesaian masalah dalam masyarakat diselesaikan sebagai berikut;
Masyarakat Masyarakat
Yang kurang komplek lebih kompleks

Masyarakat perukunan penerapan hukum
Yang kurang berlapis perukunan perukunan

Masyarakat perukunan penerapan hukum
Yang lebih berlapis penerapan hukum penerapan hukum

Rasionalitas menjadi sangat dominan diterapkan di Negara konstitusional. Persoalan masyarakat yang komplek dan posisi masyarakat yang berlapis menyebabkan perlunya diterakan hukum untuk mengatur organisasi yang ada di masyarakat.

Penegakan Hukum di Indonesia
Lantas bagaimanakan penegakan hukum di Indonesia? Dalam kehidupan bernegara kita mengakui bahwa Negara berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekusaan belaka, Pemerintah berdasarkan konstitusi bukan pada kekuasaan belaka (Rule of law dilakukan oleh kekuasaan yudikatif) dan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, sebagai pemegang keuasaan yang merdeka. Berdasarkan tahap perkembangan masyarakat berdasarkan hukum (menurut Goff) kita merupakan negara konstituisonal. Artinya bahwa setiap relasi yang berhubungan dengan orang lain di masyarakat diatur dengan hukum sebagai panglima tertinggi, tidak hanya kekeluargaan apalagi komunal.
Akan tetapi apabila kita kaji lebih jauh karakter masyarakat kita masih menunjukan watak dan sis-sisa masyarakat Feodal. Hal ini nampak dalam budaya, misalnya tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Pembagian kerja domestik dan publik masih sangat kentara antara laki-laki dan perempauan. Adanya UU PKDRT pun ternayat belum mampu memecahkan problem kesetaraan tersebut. Selalu saja ada kasus kekerasan yang dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Dalam relasi politik, relasi patron klien masih mengakar pada decion maker untuk membuat keputusan publik. Demikian halnya peta perpolitikan di masyarakat kita juga diwarnai oleh hubungan KKN yang sangat kental. Tentunya ini menyebabkan kompetisi yang tidak sehat di dalam masyarakat dan menghambat tumbuhnya demokrasi da penegakan hukum. Kondisi ini menunjukan bahwa ada dunia yang berbeda akan tetapi berjalan dalam satu rel, kehidupan hukum yang bersifat rasional diterapkanda lam masyarakat yang masih bersifat komunal.
Dampaknya yang dapat kita amati adalah penegakan hukum yang ada di negara kita cenderung bersifat formil semata, yakni untuk melanggengkan kekuasaan penguasa. Bukan pada arti materiilnya, penegakan hukum untuk menegakan hukum itu sendiri (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan) bagi masyarakat secara adil, tanpa ada diskriminasi. Jadi sangat lumrah beberapa kasus di dunia hukum kita tidak berpihak kepada orang miskin, hukum lebih peka terhadap masyarakat pada kelas-kelas tertentu. Gejala yang nampak juga adalah apa yang dikatakan Myrdal sebagai sweeping legislation,yakni pembuatan perundang-undangan secara terburu-buru tanpa melakukan penelitian, dengar pendapat secara serius dengan masyarakat. Akibatnya lahir banyak undang-undang yang justru tidak ditaati oleh masyarakat.Bahkan masyarakat sendiri tidak mengathui kalau tindakannya diatur oleh aturan hukum. (*)


REFERENSi
Disarikan dari buku Penegakan Hukun, Satjipto rahardjo, Genta Publising, 2009

Kamis, 13 Mei 2010

Kuliah 10

UPAYA PERLINDUNGAN PRT
Oleh : Muryanti*
Kemiskinan menjadi starting point munculnya Pekerja Rumah Tangga (PRT), terutama di daerah pedesaan yang menjadi kantung terbesar asal- muasal PRT. Kesenjangan sosial petani sangat tampak dari stratifikasi sosial antara petani pemilik lahan dan buruh tani (petani gurem). Pemilik lahan pertanian mempunyai kecenderungan memonopoli lahan dan mengendalikan buruh tani. Pertanian yang kurang mampu memberikan hasil optimal karena tergantung pada musim dan mahalnya harga pupuk dan bibit, ditambah dengan status buruh tani yang hanya mendapatkan hasil sebagian semakin memperparah tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan.
Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian, menyebabkan hutang- hutang petani, terutama buruh tani semakin menumpuk hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari. Sehingga memaksa keluarga petani mencari penghasilan lain di luar pertanian yang dianggap lebih menjanjikan. Karena jumlah buruh tani itu tidak sedikit, menyebabkan kemiskinan itu semakin berkarat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah kaum tani di Indonesia paling tidak sekitar 44,3 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, kaum tani yang berprofesi buruh menurut data dari Sensus Pertanian (SP) 2003 sekitar 56,5 persen.
PRT lah sektor pekerjaan yang diincar oleh sebagian masyarakat, baik PRT yang bekerja di kota besar, misalnya Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan sebagainya ataupun TKI/TKW yang sebagian besar juga PRT. Sektor pekerjaan itu dipilih disebabkan ada unsur keterpaksaan, karena kurang pecaya diri jika memilih sektor pekerjaan yang lainnya ataupun kurangnya akses pekerjaan yang lainnya. Kurang PD alias minder itu disebabkan pendidikan mereka yang sangat rendah, rata- rata lulusan SD, SMP, dan hanya sebagian SMA, yang sangat berpengaruh terhadap keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki. Sedangkan keseharian mereka mengerjakan pekerjaan yang tidak jauh dari pertanian. Rendahnya akses dapat dilihat dari sebagian besar informasi pekerjaan diperoleh dari tetangga yang sebagian besar menjadi PRT ataupun melalui calo- calo yang datang ke desa- desa, yang juga menawarkan pekerjaan menjadi PRT. Sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota, yang sebagian besar perempuan dan rata- rata berusia sekitar 18 tahun menjadi PRT, dengan harapan merubah kehidupan keluarga di desa menjadi lebih baik.
Perjalanan kerja seorang PRT, dari daerah asal sampai ke tempat kerjanya dapat dikategorikan medan yang penuh dengan tantangan. Seorang PRT akan berhadapan dengan calo-calo yang sangat potensial melakukan kekerasan terhadapnya, baik secara fisik, psikis ataupun ekonomi. Dari berbagai kasus, banyak calo yang minta persenan dari beberapa bulan PRT bekerja, melakukan penganiayaan apabila PRT kritis mengajukan pertanyaan. Demikian halnya dengan teman yang membawanya bekerja, walaupun sedikit, kemungkinan besar akan minta balas jasa.
Ancaman kekerasan juga membayangi PRT di tempat dia bekerja. Rumah majikan bukan merupakan tempat kerja yang nyaman, mengingat profesinya hanya sebagai seorang Pembantu Rumah tangga (PRT). Yah bekerjanya hanya bantu-bantu semua pekerjaan majikan. Tidak ada spesifikasi jenis pekerjaan yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Mulai dari semua jenis pekerjaan di rumah tangga; memasak, mencuci dan seterika, bersih- bersih, merawat anak sampai dengan pijat memijat pun menjadi pekerjaan pokok PRT dan apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan stereotype buruk. Pembantu malas, pembantu tidak becus, pembantu durhaka, sampai dengan tidak layak menjadi seorang pembantu. Yang lebih kejam dan tidak manusiawi, majikan tega melakukan penganiayaan terhadap PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upahnya yang tidak segera dibayarkan sampai dengan penyiksaan sampai buta atau lumpuh. Sebagaimana dialami oleh Jumiah, seorang PRT usia 15 tahun berasal dari Brebes. Kisahnya sebagai berikut :
“Sekitar bulan Mei 2004, dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih baik, dari desa Klikiran RT/RW 01, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, ia menuju Jakarta, tepatnya di kawasan Cengkareng. Sebagai anak yang baru pertama kali datang ke Jakarta, dia tidak berangkat sendiri, tetapi bersama tetangganya Imam (28). “Anak saya ini baru pertama kali itu ke Jakarta. Ia tidak mengenal daerah sana, dan tahu tentang majikan- majikannya juga dari Imam, yang bekerja di perusahaan sablon di Jakarta. Kesulitan kami memang karena sama sekali tidak tahu alamat pasti majikan yang menganiaya Jumiah. Bahkan sampai saat ini Imam sulit dihubungi, apalagi dimintai keterangan tentang majikan Jumiah,” kata Turnya, ayah Jumiah, sebagaimana Tulisan di kompas, minggu 30 Agustus 2004.
Ketika tiba di Cengkareng, anak keenam dari delapan bersaudara ini, sempat menjadi PRT pengganti dengan mendapatkan bayaran sebanyak 150.000 rupiah selama satu bulan. Ia kemudian pindah kerja ke rumah Eva, masih di kawasan Cengkareng. Selama 25 hari bekerja di rumah Eva, yang dihuni pasangan Eva dan suami serta anak- anaknya, juga ibu Eva, Jumiah mengaku tidak pernah diberi makan teratur. Ia juga sering disalahkan dan dimarahi oleh ibu Eva. Seringkali kemarahan nenek ini berujung dengan penganiayaan, antara lain, tubuhnya ditendangi dan kepalanya dibenturkan tembok.
Akhir Juni, Jumiah sudah tidak tahan lagi disiksa oleh majikan. Tengah malam, tanpa membawa uang karena tidak pernah diberi uang saku apalagi gaji. Ia nekad memanjat pagar tembok dan melarikan diri. Ia berjalan hingga ke daerah jembatan dua sebelum akhirnya ditolong seorang pengemudi bajaj yang membawanya ke rumah kontrakan herman, teman Imam.
Dengan bantuan Herman, Jumiah dapat pulang. Saat itu ia mengaku masih dapat berjalan normal. Di rumah, penglihatannya semakin memburuk. Kakinya kian sulit digerakan. Dari hasil pemeriksaan dokter diperkirakan ia mengidap cafeldia, yakni gangguan pada syaraf mata. Semacam penyakit tumor, yang disebabkan oleh benturan tembok yang dilakukan oleh majikannya. Pengobatan awal, Jumiah dibawa ke Puskesma terdekat. Pihak puskesmas tidak dapat menangani penyakit Jumiah dan merujuknya ke Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal. Di rumah sakit tersebut, ia dioperasi tumor dibelakang kepalanyal. Akan tetapi akibat operasi tersebut Jumiah mengalami kebutaan dan hampir lumpuh. Pengobatan terakhir atas uluran tangan seorang dermawan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Jakarta. Akan tetapi kebutaan yang dialaminya belum berkurang juga, yang menjadikan putus harapan dengan kehidupannya”.
Jumiah hanya satu dari korban kekerasan yang menimpa seorang PRT. Berdasarkan data yang dikumpulkan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), kekerasan yang menimpa PRT dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan jenis kekerasannya data tiap tahun adalah sebagai berikut :
Tahun 2001
No Kategori Jumlah : 48
1 K. Psikis 12
2 K. Fisik 9
3 K. Ekonomi 23
4 K. Seksual 4

Tahun 2002
No Kategori Jumlah : 32
1 K. Psikis 10
2 K. Fisik 13
3 K. Ekonomi 4
4 K. Seksual 5

Tahun 2003
No Jenis kekerasan Jumlah : 56
1 Kekerasan Psikis 16
2 Kekerasan Fisik 22
3 Kekerasan Ekonomi 6
4 Kekerasan Seksual 12

Tahun 2004
No Jenis kekerasan Jumlah : 18
1 Kekerasan Psikis 1
2 Kekerasan Fisik 9
3 Kekerasan Ekonomi 1
4 Kekerasan Seksual 7

Penanganan Kasus PRT
Beberapa teknik yang digunakan untuk mendampingi PRT yang menjadi korban kekerasan, dengan cara litigasi maupun nonlitigasi. Kegiatan nonlitigasi dalam bentuk pendampingan dan penguatan korban kekerasan secara psikologis. Kekerasan yang menimpa PRT dalam berbagai bentuk menyisakan luka psikis yang sangat dalam, sehingga perlu mendapatkan masukan dari seorang pendamping secara kontinu. Sebagaimana dilakukan kepada seorang PRT, N (disamarkan), yang mengalami kegoncangan jiwa karena pernah dilecehkan oleh temannya di masa kecil, dianiaya oleh kakek tiri, mendapatkan perlakukan buruk dari majikan di tempat kerja, sampai dengan kasus terakhir N dicerai oleh suaminya karena perselingkuhan. Pendampingan secara intensif dilakukan untuk memulihkan kondisi N yang secara psikis mengalami goncangan. Hingga saat ini N sudah bekerja lagi di daerah Kwarasan, Jogjakarta Barat.
Sedangkan pendampingan litigasi yang dilakukan untuk memperjuangkan kasus PRT lewat jalur hukum. Beberapa penganiyaan yang dialami oleh PRT dapat dipidanakan karena tindakan majikan yang melanggar KUHP. Salah satu kasus yang sampai saat ini ditangani melalui jalur litigasi adalah kasus Sutini. Sutini (29), seorang PRT yang bekerja di Rumah Makan Mie Bandung di Jalan Bhayangkara, Jogjakarta. Sebagaimana layaknya PRT yang lainnya, Sutini mengerjakan pekerjaan di warung dan juga mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaan majikannya. Dia mulai bekerja dari jam 4 pagi sampai dengan jam satu malam dengan waktu istirahat yang bisa dibilang tidak ada untuk pekerjaan normal. Dari pagi dia menanak nasi untuk dijual di warung sampai dengan malam hari. Belum lagi tambahan pekerjaan kerumahtanggaan lainnya.
Pekerjaan yang dapat dikatakan berat itu ternyata tidak mendapatkan upah yang setimpal, bahkan upahnya yang perbulan dijanjikan sebesar 100-150 ribu itu tidak dikasihkan kepada Sutini tepat waktu, ditunda- tunda sampi 2-3 bulan bahkan diberikan kepada orang tuanya, dan Sutini tidak mendapatkan apapun. Belum lagi adanya pemotongan upah sepihak jika melakukan kesalahan kerja, misalnya ketika memecahkan gelas atau piring. Demikian halnya jika masak nasi sampai basi. Disamping itu Sutini juga mendapatkan penganiayaan dan pelecehan fisik, pemukulan dengan tang sampai berdarah-darah dan ditempeleng kepalanya. Kejadian yang dialaminya selama enam tahun itu, ternyata tidak dapat ia tahan lagi. Puncaknya awal tahun 2003, Sutini melompat pagar rumah majikan dan melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada pihak yang berwajib dan kejadiannya itu banyak diberitakan oleh media massa.
Memperjuangkan kasus Sutini melalui jalur litigasi memerlukan energi dan semangat besar, karena keburukan pengadilan di Indonesia, yakni proses yang lama, berbelit-belit, dan memerlukan banyak uang. Mempidanakan kasus penganiayaan Sutini berlangsung hampir satu tahun, sepanjang tahun 2003. Sampai akhirnya dari Pengadilan Negeri Jogjakarta menyatakan kasus tersebut kedaluarsa karena sudah hampir satu tahun. Di akhir putusan pidana pun tidak berpihak pada Sutini, karena majikan hanya dihukum 4 bulan percobaan penjara atau sama saja tidak pernah mendapatkan hukuman.
Usaha memperjuangkan keadilan bagi Sutini tidak pernah selesai, kegagalan kasus pidana bukan berarti berkhir dan memacu langkah lebih tinggi, yakni memperdatakan kasus Sutini di sepanjang tahun 2004. Dengan tuntutan membayarkan upah Sutini yang belum dibayar dan juga membayar ganti rugi penganiayaan secara fisik ataupun psikis terhadap Sutini.Walaupun berbagai macam media massa gencar memberitakan proses perdata kasus Sutini dan surat desakan kepada majelis hakim datang dari berbagai pihak, termasuk PRT sendiri, akan tetapi tidak mempengaruhi putusan hakim. Hakim bahkan menolak gugatan perdata kasus Sutini dan tidak memberikan upah yang belum dibayarkan tersebut, dengan alasan Sutini wajar mendapatkan perlakuan seperti itu karena mempunyai gangguan psikologis. Ketidakberpihakan lembaga peradilan ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya mafia peradilan di lembaga peradilan, yang tidak pernah memihak kepada PRT. Sampai saat tulisan ini ditulis, kasus Sutini baru diproses di tingkat banding.
Sedangkan untuk kasus Jumiah diupayakan pendampingan dengan cara menguatkan psikisnya secara kontinu, membantu pengobatan kelumpuhan dan kebutaan yang dideritanya. RTND juga mengupayakan adanya keringan biaya Rumah Sakit yang merawat, mencari dukungan dan solidaritas dari pihak lain untuk memberi bantuan uang biaya pengobatan.
Perlindungan Hukum
Jumiah, Sutini, dan N hanyalah sebagian kecil dari PRT yang mengalami penganiayaan oleh majikan. Jika kita mau membaca dan memperhatikan berita di media massa, hampir setiap hari selalu ada berita tentang PRT. Entah PRT itu digunting telinganya karena memecahkan barang milik majikan atau dituduh mencuri uang, disekap di kamar mandi karena dianggap tidak becus dalam bekerja, digosok matanya dengan balsem karena sering sakit- sakitan dan kurang cekatan dalam bekerja, bahkan ada PRT yang melayang nyawanya hanya karena dituduh mencuri roti majikan di lemari es. Dan masih banyak lagi penganiyaan yang dilakukan oleh majikan terhadap PRT yang tdiak pernah diketahui publik.
Kekerasan terhadap PRT yang dilakukan oleh majikan, masyarakat dan negara merupakan belenggu stratifikasi sosial yang selalu memposisikan kelas bawah sebagai pihak yang lemah, dalam hal ini PRT. Secara sosial, PRT lebih rendah posisi dan relasinya dengan majikan. PRT adalah pihak yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga diupah berapapun dan disuruh mengerjakan apapun dia mau dan tidak bisa menolaknya. Sedangkan majikan adalah seorang pemberi kerja dalam posisi atas, yang dapat memperlakukan PRT nya sesuka hati. Masyarakat pun masih sangat rendah menilai PRT dan belum menganggap PRT sebagai sebuah pekerjaan. Hal ini sangat tampak ketika seorang PRT mempunyai permasalahan sosial, masyarakat justru melecehkannya. Negara pun kurang peka terhadap permasalahan PRT. Ketika ada kasus PRT prosedurnya dipersulit dan penanganannya berbelit- belit.
Jeratan stratifikasi sosial tersebut perlu dibongkar untuk memberikan ruang bagi PRT sebagai pihak yang lemah. Membongkar status dan sebutan pembantu untuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). PRT bukanlah orang yang ngenger di rumah majikan, bukan hanya babu, bukan hanya jongos yang bisa disuruh apa saja, kapan saja dan diperlakukan apa saja. PRT adalah sama kedudukannya dengan majikan. Keduanya saling membutuhkan. PRT membutuhkan majikan dan majikan membutuhkan PRT, keduanya seimbang posisinya. PRT bekerja di rumah majikan karena dia adalah pekerja bukan pembantu.
Ada beberapa konsekuensi logis ketika sebutan pembantu diubah menjadi pekerja. Bukan hanya sekedar menigkatkan martabat ataupun status PRT itu sendiri, akan tetapi lebih pada memanusiakan manusia, memanusiakan pekerja, dan memanusiakan perempuan karena hampir sembilan puluh persen lebih PRT adalah perempuan. Sebagai seorang manusia, PRT mempunyai hak untuk hidup layak, hak berekspresi, hak untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinanNya, hak berbicara dan sebagainya. Sebagai seorang pekerja, PRT mempunyai hak mendapatkan upah layak, jaminan kesehatan, waktu istirahat, hari libur, dan beban kerja yang sesuai dengan upah dan kemampuan. Sebagai seorang perempuan, PRT memerlukan istirahat di kala sakit haid ataupun di kala hamil dan menyusui.
Banyak majikan yang akan mencibir dan tidak akan terima apabila PRT mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia, pekerja, dan perempuan. Dengan berbagai dalih mereka kemukakan. Gajinya yang tidak cukup untuk mengupah PRT secara layak ataupun alasan sudah berbaik hati mau menyekolahkan PRT nya sampai dengan Perguruan Tinggi.
Diantara penyebabnya disamping masyarakat masih belum legowo degan peran pentingnya PRT dalam kehidupan Rumah Tangga, secara struktural tidak ada peraturan yang khusus mengatur PRT. Undang- undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai pekerja, dalam hal ini bagian dari buruh. Kondisi kerja yang wajar akan diterima oleh PRT jikalau kebetulan majikan yang ditemui memperlakukannya dengan baik. Kalau pun tidak, ketika akan memperkarakan PRT yang bermasalah pun kesulitan karena tidak adanya acuan dalam memutuskan perkara. Sehingga dari waktu ke waktu, kasus PRT hanya berhenti di tengah jalan, tanpa ada penyelesaian hukum secara adil.
Akankah PRT yang menjadi korban penganiayaan semakin bertambah ? akankah korban hanya meratapi nasibnya, tatkala negara dan masyarakat tidak mempedulikannya ? Hal itulah yang mendorong RTND dan pihak- pihak yang terkait selalu berupaya mendesakan perlindungan hukum bagi PRT, dalam bentuk perda yang mengatur PRT di daerah Jogjakarta khususnya dan UU PRT yang berlaku secara Nasional. Mengingat kesibukan dan kepadatan agenda DPRD untuk menggoalkan berbagai macam perda yang mengatur masyarakat, sangatlah perlu menyusun draft standarisasi perlindungan PRT. Beberapa penekanan dalam susunan draft tersebut adalah pemaknaan tentang PRT, perjanjian kerja yang seharusnya dilakukan PRT dengan majikan sebelum dia bekerja, adanya perlindungan bagi PRT, misalnya ketika dia sakit, adanya rasa aman ketiks berada di lingkungan kerja, dan juga bantuan hukum ketika PRT bermasalah, adanya pengupahan yang layak sesuai dengan beban kerjanya, dan adanya pendidikan alternatif bagi PRT untuk meningkatkan profesionalitas kerjanya.
Pada tahun 1999, JPPRT (Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang terdiri dari; RTND, LBH Jogjakarta, Yabinkas, SBPY, LKBH UII, Lapera, Rifka Annisa, KPI DIY, PSW UMY, Serikat PRT DIY, dan ICM, mengajukan draft raperda PRT kepada DPRD Sleman. Dan sudah sampai pada pembahasan untuk menjadi perda. Akan tetapi terjadi penolakan karena diakhir pengesahan Perda PRT, ketentuan itu hanya berlaku untuk PRT yang menandatangani kontrak kerja, sedangkan PRT yang tidak menandatangani kontrak kerja tidak mendapatkan perlindungan hukum. Padahal jika ditelusuri dari jumlah PRT Di DIY saja, menurut data Susenas 2002 sejumlah 36.961 orang, tidak ada 5 persen yang menggunakan kontrak kerja. Belum jumlah secara keseluruhan di Indnesia. Sedangkan kontrak kerja sendiri masih dalam tahap pembahasan karena pada keadaan tertentu kontrak kerja itu tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Usaha terus menerus untuk menggoalkan Perda PRT di DIY tidak kenal lelah selalu diupayakan. Akan tetapi DPRD kota pun masih enggan untuk melakukan pembahasan Perda PRT. Pada tanggal 5 Maret 2003, Gubernur DIY mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang berisi desakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengeluarkan peraturan yang mengatur hubungan kerja antara PRT dengan Pengguna Jasa (majikan) dengan memperhatikan jaminan keselarasan hubungan kerja antara PRT sendiri dengan majikan, pengupahan dan kesejahteraan PRT, hak dan kewajiban serta perlindungan PRT dengan majikan, pelaksanaan hubungan kerja antara PRT dengan majikan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan PRT, dan pengawasan terhadap PRT dan majikan. SE itupun belum memberikan perlindungan kepada PRT dan permasalahannya, hanya sebuah himbauan. Diharapkan pada tahun 2005 mendatang ada kemauan positif dari pemerintah kota untuk menggoalkan SE tersebut dalam bentuk Perda PRT yang berlaku di Jogjakarta. Tentunya dengan desakan dari berbagai pihak secara terus menerus, kesiapan draft standarisasi perlindungan PRT, kampanye yang terus menerus tentang permasalahan PRT kepada publik. Sedangkan untuk skala Nasional tidak bisa dilakukan oleh RTND sendiri, sehingga dibentuklah Jaringan Advokasi Nasional (Jala) PRT yang melakukan kegiatan legislasi, kampanye isu PRT secara Nasional dengan harapan dapat mewujudkan UU PRT yang berlaku secara Nasional. Beberapa lembaga yang tergabung Jala PRT diantaranya; Spekham, Institut Perempuan, Rifka Annisa, KPPD, ICM, Atma, SP Kinasih, Gema Perempuan, Perisai, FOBMI, Komnas Perempuan, Kapal Perempuan, dan LBH Apik.
Pengorganisasian PRT
Dalam proses kegiatan perlindungan kepada PRT, hal yang sangat diperlukan adalah bagaimana PRT sendiri yang menyuarakan bahwa dirinya membutuhkan perlindungan hukum, bukan pihak lain. Sehingga pengorganisasiaan PRT untuk membangun basis massa PRT menjadi sangat perlu dilakukan. Hal yang sudah dilakukan adalah mendirikan Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) di berbagai daerah yang menjadi basis PRT, yakni perumahan yang ada di. Operata yang sudah terbentuk diantaranya; Operata Jambusari, Griya Arga Permai (GAP), Wirokerten, Gunungsempu, Berbah, Sumberan, dan lainnya. Di Operata itu diskusi, pertemuan infrormal tentang permasalahan, sharing pendidikan keterampilan menjadi materi pokok seminggu sekali. Juga sharing atau curhat tentang permasalahan PRT di tempat kerja. Penguatan organisasi juga dilakukan dengan pemahaman tentang HAM, gender, kepemimpinan, ketenagakerjaan, dan keorganisasian. Jatuh bangun memang pengorganisasian PRT, mengingat kondisi kerja PRT tertutup akses dari luar, sehingga perlu strategi yang sesuai dengan konteks PRT tersebut.
Sedangkan untuk PRT yang belum bekerja, pendidikan alternatif diadakan sebagai bekal untuk bekerja, melalui Sekolah PRT. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan PRT yang sduah bekerja untuk meningkatkan profesionalisme dalam bekerja. Pendidikan di Sekolah PRT terbagi dalam 3 jurusan yakni; pramurukti, baby sitter, dan kerumahtanggaan. Ketiga jurusan tersebut paling banyak dibutuhkan oleh majikan yang membutuhkan jasa PRT. Disamping pendidikan keterampilan, yang diutamakan adalah pendidikan kritis, tentang bagaimana memahami persoalan apapun dan berani melakukan negosiasi dengan majikan. Diharapkan adanya bekal pendidikan alternatif tersebut, PRT mempunyai posisi tawar di depan majikan, karena lebih profesional dengan pekerjaan dan mengetahu hak serta kewajibannya sebagai pekerja.
Pengorganisasian terpenting adalah mendorong lahirnya organisasi di kalangan PRT sendiri dalam skala luas, minimal lingkup Jogjakarta. Tanggal 23 April 2003, lahirlah Serikat PRT “Tunas Mulia” Jogjakarta. Anggota Serikat PRT ini terdiri dari anggota Operata yang tersebar di beberapa perumahan dan PRT sebaran yang tidak tergabung adalam Oparata. Harapannya Serikat PRT dapat mandiri menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Mandiri dalam organisasi, usaha dana, dan networking dengan pihak lain. Tanpa tergantung kepada pendampingnya. Pengorganisiran yang dilakukan belum berarti apa- apa karena masih banyaknya permaslahan yang belum diselesaikan. Tentunya memerlukan banyak masukan dari berbagai kalangan, guna menambah jumlah anggota yang tergabung dalam Serikat PRT, sebagai sarana membangun Gerakan PRT.


Rujukan;
Kompas 6 desember 2004, Hal 41, “Reformasi Agraria dan Masalah Perempuan”.
Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13, Tahun 2003

Kuliah 9

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( KDRT )
UU PKDRT

1. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK PEREMPUAN
Bagaimana kondisi perempuan, ditinjau dari sosial, ekonomi dan politik tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berkembang di suatu negara. Ideologi yang menjadi arus mainstream di sebuah negara menentukan bagaimana perempuan diperlakukan di negara tersebut.
Feodalisme yang menempatkan dominasi kepada pemilik lahan, dalam hal ini kaum laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai obyek dari kekuasaan dominan tersebut. Maka istilah yang muncul, wanita sebagai sebutan perempuan yang artinya wani ditoto. Perempuan adalah pelengkap laki-laki yang mempunyai pekerjaan seputar dapur, sumur dan kasur. Film Pride and Prejudice menggambarkan situasi Feodal, pada abad ke-18 di Eropa. Posisi perempuan benar-benar sebagai pelengkap laki-laki. Bagaimana kehidupannya dari masa kecil sampai dengan dewasa hanya diperuntukan untuk bagaimana mendapatkan simpati, perhatian dan cinta dari laki-laki. Tentunya laki-laki yang diidamkan pun tidak hanya sebatas laki-laki “biasa” saja tetapi yang mempunyai nilai lebih; harta, tahta dan kedudukan (kekuasaan). Perempuan sangat mengidamkan laki-laki tampan, gagah, mapan dan mampu melindungi perempuan, sehingga y ang dipilih misalnya; pengusaha, militer dan bangsawan. Perempuan tidak bisa memilih dan kehidupan yang “merdeka’. Tetapi menunggu dipilih dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada pihak yang dianggapnya memiliki dominasi terhadapnya, orang tua dan kerabat. Kondisi ini merupakan gambaran masih lekatnya budaya patriarkhi pada karakter masyarakat Feodal. Pada situasi ini kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah hal yang dianggap biasa dan seharusnya atas nama “kesetiaan, cinta kasih dan kodrat” seorang perempuan.
Bergeser pada masyarakat industri ada perubahan terhadap perlakuan kepada perempuan. Pada awalnya perempuan lebih banyak di rumah dengan aktivitas domestik, pada masa ini perempuan didorong untuk keluar dari pekerjaan domestik dan beraktivitas pada ranah publik. Tuntutan industri yang membutuhkan tenaga kerja massal dan murah jatuh pada perempuan. Mereka didorong untuk menempati pos-pos pekerjaan publik sebagai salah satu bentuk upaya partisipasi dan kesetaraan perempuan terhadap akses pekerjaan. Selain sektor pekerjaan, perempuan pada masa ini pun juga mendapatkan kemudahan dalam mengenyam pendidikan karena pendidikan dan pekerjaan tidak bisa dipisahkan. Untuk mendapatkan pekerjaan “layak” tentunya memerlukan pendidikan yang tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan memunculkan tindak kekerasan, walaupun perempuan didorong untuk bekerja pada ranah publik, akan tetapi terdapat konstruksi sosial dan budaya yang mengkondisikan perempuan bertanggungjawab terhadap pekerjaan domestik. Inilah yang disebut dengan double bourden (beban kerja ganda). Kondisi ini yang memungkinkan perempuan dan laki-laki yang pada posisi setara sangat rentan dengan “kekerasan” yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Pelaku bisa dari pihak perempuan ataupun laki-laki, korban pun sebaliknya bisa laki-laki dan perempuan.
Jika demikian yang menjadi permasalahan adalah bukan jenis kelaminnya laki-laki ataupun perempuan, tetapi lebih pada perilaku kekerasan yang muncul dari pihak yang mendominasi terhadap yang lain, bisa laki-laki ataupun perempuan. Artinya kesetaraan dan partisipasi ini tidak mengenal jenis kelamin, akan tetapi lebih pada budaya saling menghargai dan “menganggap ada” kelompok-kelompok marginal, bukan sebagai sampah masyarakat.

2. PEREMPUAN DAN ISLAM
Posisi perempuan dalam Islam memang dibedakan dengan laki-laki, akan tetapi perbedaan tersebut seharusnya bukanlah sebagai pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak uang lain. Akan tetapi justru mendukung misi pokok Al Qur’an yakni terciptanya hubungan harmonis yang didasari kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga yang nantinya menjadi pendukung terwujudnya suatu negara yang penuh ampunan dari Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Kesamaan tersebut daat dilhat pada; (1) hakikat kemanusiaannya. Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan untuk peningkatan kualitas kemanusiaannya. . hak tersebut antara lain; waris (An.Nisa/4:11), persaksian (Al Baqarah/2:282), aqiqah ( At Taubah/ 9:21). (2) islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat pahala yang sama atas amal sholeh yang dibuatnya, sebaliknya keduanya mendapatkan azab yang sama atas pelanggarannya. Dan (3) Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antaumat manusia (Al Hujurat/49:13). Pada aaayat tersebut menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan diperlakukan sama walaupun berasal dari bangsa dan suku yang berlainan (Musdah, 2001).
Rasulullah pun sebagai nabi juga sangat memberikan contoh dalam membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, Beliau mengerjakan pekerjaan rumah tangga; mencuci, membersihkan rumah, memeras susu kambing dan sebagainya. Dalam hal partisipasi, istri-istri Beliau diberikan kebebasan untuk berpendapat dan lebih berperan dalam kehidupan publik (pencari nafkah utama).
Sementara itu, beberapa ayat Al Qur’an yang menafsirkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (An Nisa), beberapa Ulama melakukan tafsir ulang bahwa pada konteks tersebut, hubungan laki-laki dan perempuan lebih pada hubungan yang bersifat bekerjasama satu sama lain (partner kerja). Sementara itu tentang adanya Hadis dari Abu Hurairah RA, yang menyebutkan bahwa perempuan yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, jika kau paksa meluruskannya dia akan patah, dan jika kau biarkan tentu dia akan tetap bengkok. Mengenai tafsir dari hadist tersebut perlu dibaca dengan kritis, bahwa ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang penciptaan antara laki-laki dan perempuan bahwa perempuan diciptakan terlebih dahulu dibandingkan dengan laki-laki. Al Qur’an yang menjelaskan relasi tersebut adalah sebagai berikut; Q.S 4:1; 7:189 dan 39:6. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi satu sama lainnya (Musdah, 2001)


3. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin pun secara tekstual memberikan ruang yang sama terhadap peran antara laki-laki dan perempuan tersebut. Akan tetapi ada kata yang selalu kita ingat sebagai seorang sosiolog yang selalu membaca fakta di masyarakat bahwa fakta yang muncul di lapangan, tidak selalu sama dengan apa yang tertulis. Pada kenyataannya indahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kitab suci tersebut, umat Islam pun banyak yang tidak menerjemahkan tekstual tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kesetaraan dan saling melengkapi satu sama lain pun belum bisa terwujud, bahkan yang muncul adalah diskriminasi sosial yang berbasiskan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi ada karena adanya perbedaan antara jenis kelamin yang satu terhdapa yang lain, dalam arti ada satu jenis kelamin yang tertinggal dibandingkan lainnya. Diskriminasi sosial tersebut berbentuk; stereotype, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan beban ganda (Faqih,1998). Berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan ini menurut UU No. 24 tahun 2004 tentang UU PKDRT kekerasan dikategorikan menjadi; kekerasan ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Berdasarkan data Rifka Annisa, kasus kekerasan yang menimpa perempuan tersebut adalah sebagai berikut;
Data KDRT menurut Rifka Annisa

2003 335
2004 349
2005 312
2006 269
2007 329
2008 309

Data KDRT menurut Mitra Perempuan

1997 64
1998 101
1999 113
2000 232
2001 258
2002 111
2004 329
2005 455
2006 323
2007 283
2008 275


4. Undang-Undang PKDRT
Tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting bagi gerakan perempuan di Indonesia. Mengingat pada tahun tersebut undang-undang yang memberikan perlindungan kepada perempuan disetujui dan menjadi affirmative action terhadap setiap kekerasan yang menimpa perempuan selama ini. Banyak pihak yang tidak menyetujui dan mencibir kelahiran Undang-undang tersebut, disebut sebagai undang-undang yang bersifat “lelucon” dengan mengatakan “relasi suami istri dalam rumah tangga diatur oleh orang lain”. Itu merupakan permasalahan yang privat dan negara tidak perlu mengatur urusan privat sebuah rumah tangga.
Tentu tidak mudah mengubah apa yang menjadi stereotype masyarakat tentang relasi antara perempuan dan laki-laki dalam konteks domestik (pekerjaan rumah tangga). Perlu kerjasama dengan berbagai pihak, tidak hanaya gerakan perempuan itu sendiri aakan tetapi perlu bersinergi dengan gerakan sosial yang lain. Gerakan perempuan di Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan gerakan perempuan di tingkat Internasional. Pada masa Orde lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mampu menunjukan aktivitas sebagai sebuah organisasi perempuan yang mampu sejajar dengan organisasi yang lain. Perempuan pada masa itu sudah mendapatkan hak sosial, ekonomi dan politik dari negara. Akan tetapi pergolakan politik pada masa itu menyebabkan organisasi dibubarkan sampai pada level yang paling rendah.
Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan direduksi dan dibuat seragam dari tingkat nasional sampai daerah dengan nama Dharma Wanita dengan kegiatannya yang paling familiar adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Pada waktu itu kegiatan PKK ini justru mendomestifikasi peranan perempuan. Artinya perempuan lebih banyak disibukan dengan aktiviitas domestik dibandingkan dengan kegiatan publik, dengan tujuan untuk meningatkan peran serta perempuan sebagai pendukung keharmonisan keluarga dan masyarakat. Walaupun pada situasi sedemikian rupa, gerakan perempuan justru mampu membangun kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya dengan berbagai macam aktivitas yang bersifat non formal. Tentunya yang mempelopori aktivitas tersebut adalah akademisi yang melahirkan gerakan sosial berbasiskan perempuan dalam wadah Non Government Organisation (NGO), LSM ataupun organisasi lain yang bersifat massal. Pasca reformasi semua aktivitas perempuan tersebut menemukan momentum sampai pada tahap perjuangan litigasi, terutama dengan lahirnya UU PKDRT dan adanya kuota 30% untuk perempuan di DPR. Kedua perangkat hukum tersebut memberikan angin pada aktivitas kaum perempuan di domestik dan publik. Setiap kekerasan yang terjadi pada level domestik ada perlindungan hukum bagi kaum perempuan. Demikian pula pada ranah publik, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa berkiprah di dunia politik sama dengan kaum laki-laki, dimana selama ini dunia politik banyak didominasi laki-laki.


5. SOSIOLOGI HUKUM
Pada masa sekarang ini, sudah hampir 6 tahun berlakunya UU PKDRT dan kuota 30 % untuk perempuan. Harapannya dengan lahirnya payung hukum bagi perempuan tersebut, semakin berkurangnya kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga dan partisipasi aktif perempuan pada dunia politik semakin tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Payung hukum itupun diiringi dengan berbagai macam kegiatan yang bersifat edukatif bagi masyarakat dan penyadaran bagi perempuan itu sendiri tentang hak-haknya, untuk menyangga dan menguatkan masyarakat terhadap keberadaan perlindungan hukum bagi perempuan. Sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Pemerintah dan organisasi non pemerintah pun terlibat aktif dalam upaya tersebut, dengan berbagai macam bentuk program pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Upaya ini secara umum dinilai berhasil, masyarakat sudah familiar dengan permasalahan perempuan. Sebutan perempuan sudah tidak asing di masyarakat. Sebelum familiar dengan perempuan, istilah yang digunakan adalah wanita yang dalam terminologi Jawa sebagai kependekan dari wani ditoto (perempuan adalah orang yang mudah ditata (diatur) oleh laki-laki sebagai kaum yang dominan). Perempuan sendiri adalah seseorang yang diempu(akar)kan. Artinya memiliki kekuatan sebagai ujung tombak dari keberhasialn keluarga dan negara. Perempuan diposisikan sebagai makhluk yang terhormat dan sejajar dengan laki-laki.
Selain penyebutan istilah perempuan, pada dunia kerja pada beberapa jabatan tertentu di setiap level mulai ada kebijakan yang tidak bias gender. Dalam arti adanya pelibatan perempuan dalam setiap aktivitas atau program kegiatan dan menduduki berbagai macam jenis pekerjaan. Situasi ini memposisikan perempuan untuk lebih berperan aktif dalam aktivitas publik dan tidak hanya tersita pada aktivitas domestik. Lagi-lagi perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam pekerjaan publik dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan partisipasi perempuan dan laki-laki pada berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa menjadi tukang parkir, tambal ban ataupun angkat besi serta menikmati fasilitas yang dulunya tabu dilakukan. Naik motor laki-laki ataupun bekerja di pertambangan sudah biasa perempuan lakukan.
Kesempatan partisipasi yang sama dalam berbagai jenis pekerjaan serta payung hukum untuk perlindungan hukum bagi perempuan adalah termasuk afirmative action untuk mencegah terjadinya berbagai macam kekerasan; psikis, fisik, ekonomi ataupun seksual. Pada kenyataannya pasca diberlakukannya UU PKDRT tersebut angka kekerasan terhadap perempuan, cenderung meningkat (lihat tabel angka kekerasan). Bahkan bisa jadi lebih tinggi karena banyak kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat dibiarkan saja dan tidak disampaikan kepada pihak luar (pemerintah atau lembaga bantuan hukum). Mengingat kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan, artinya kalau korban tidak melaporkan, suatu kasus tidak bisa diproses.
Pasca pemberlakuan payung hukum tersebut, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki akan tetapi oleh perempuan sendiri kerap terjadi. Perempuan menjadi pelaku kekerasan. Yang sangat nampak adalah relasi PRT dengan pengguna jasa (majikan) yang mayoritas lebih dekat dengan perempuan. Banyak kekerasan terhadap PRT dilakukan oleh majikan perempuan daripada majikan laki-laki. Perempuan kelas atas menindas perempuan kelas bawah pada situasi ini. Termasuk kekerasan istri terhadap suami di rumah tangga. Fenomena yang lain, laki-laki pun juga semakin banyak yang melakukan kekerasan, ketika istrinya memiliki “kelebihan” dari segi ekonomi, poltik ataupun status sosial. Watak feodalisme dengan budaya patriarkhi muncul ketika relasi antara suami dan istri di luar kondisi yang seharusnya berlaku dalam masyarakat, laki-laki lebih mendominasi perempuan.
Masyarakat Indonesia pada transisi feodalisme ke modern secara revolusi masih menyisakan kultur yang feodal. Pada kelas tertentu memang pendidikan gender dan sosialisasi UU PDRT dapat terjangkau, akan tetapi pada kelas lain yang berjumlah mayoritas justru tidak mengetahui apa itu gender dan KDRT. Kebiasaan mendominasi dan melakukan kekerasan menjadi sebuah “tradisi” sampai subyek pelaku maupun korban tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan disebut kekerasan. Kekuatan yang bersifat hegemonik masih mengungkung setiap tindakan masyarakat. Arus modern yang serba cepat dengan membawa angin keseteraan baru merubah ide dan wacana relasi antara kelas dominan dan terdominasi bahkan pada situasi tertentu semakin terpolarisasi jarak diantara keduanya. Pendekatan law enforcement pun belum mampu merubahnya.
Pasal-pasal dalam UU PKDRT yang mendefinisikan kekerasan, ancaman hukuman dan denda yang harus dibayarkan pelaku pada korban hanya menjadi praktek pejabat hukum dan tidak diterjemahkan oleh masyarakat. Tidak banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diangkat sampai ke pengadilan, kecuali untuk beberapa masyarakat yang mempolitisirnya atau membuat sensasi. Mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ranah hukum adalah “tabu” bagi mayoritas masyarakat. Ada ketakutan, rasa malu, keengganan ataupun tidak mampu membayar perkara sampai ke pengadilan menjadikan mayoritas masyarakat memilih diam dengan apa yang terjadi. Apalagi citra pejabat hukum ataupun lembaga peradilan adalah sangat buruk dengan berbagai macam kasus suap dan korupsi.
Tahap diberlakukannya UU PKDRT baru satu langkah untuk menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Mengingat sampai pada tahap ini perubahan di dalam masyarakat belum nampak secara progresif. Pada situasi tertentu, masih ada kebijakan yang bias gender. Bahkan kebijakan yang dianggap peka gender pun justru semakin memperlemah posisi perempuan itu sendiri. Kuota 30% bagi perempuan di parlemen adalah afirmative action, akan tetapi ada sebagain berpendapat justru semakin menunjukan posisi perempuan yang “lemah” sehingga memerlukan jatah kursi untuk mempengaruhi kebijakan. Kalau perempuan itu setara kemampuan dan kecerdasannya dengan laki-laki tanpa mendapatkan jatah pun pasti akan bisa menjadi anggota parlemen.
Penegakan hukum yang tidak dilakukan secara progresif perlu ditindaklanjuti dengan langkah berikutnya, pendekatan sosial budaya untuk membersihkan sisa feodalisme. Sosialisasi dan pendidikan gender secara masif harus menjadi konsumsi semua kelas dalam masyarakat. Yang lebih penting lagi selalu menekankan bahwa penghapusan kekerasan tersebut bukanlah antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengertiannya lebih luas, yakni relasi antara masyarakat yang dominan dan terdominasi. Keasadaran kelas untuk lebih memanusiakan masyarakat lain yang tertindas sosial, ekonomi dan politik adalah paling penting. Sehingga permasalahan kekerasan bukanlah laki-laki adalah musuh perempuan dan sebaliknya. Akan tetapi lebih pada perlawanan kelas yang terdominasi terhadap yang mendominasi. Kesadaran yang tidak bias jenis kelaminnya tersebut, akan menumbuhkan penghargaan dan saling menghormati kaum yang berbeda jenis kelamin. Itulah hakikat pelaksanaan UU PKDRT secara progresif. Tanpa UU tersebut pun seharusnya kita sudah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, karena dalam diri kita sudah tertanam untuk menempatkan kaum tertindas setara dengan kita. Tanpa diskriminasi dan penindasan (*)

REFERENSI;
Faqih,Mansur. 1996. Membincang Feminisme. Surabayaa. Risalah Gusti
Musdah. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender. Jakarta. Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Depag RI
Waryono Abdul Ghafur. 2004. Dinamika Studi Gender. Yogyakarta. UIN SUKA
-------------. 2009. Gender dan Islam; Teks dan Konteks. Yogyakarta. PSW UIN SUKA