Kamis, 13 Mei 2010

Kuliah 9

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( KDRT )
UU PKDRT

1. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK PEREMPUAN
Bagaimana kondisi perempuan, ditinjau dari sosial, ekonomi dan politik tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berkembang di suatu negara. Ideologi yang menjadi arus mainstream di sebuah negara menentukan bagaimana perempuan diperlakukan di negara tersebut.
Feodalisme yang menempatkan dominasi kepada pemilik lahan, dalam hal ini kaum laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai obyek dari kekuasaan dominan tersebut. Maka istilah yang muncul, wanita sebagai sebutan perempuan yang artinya wani ditoto. Perempuan adalah pelengkap laki-laki yang mempunyai pekerjaan seputar dapur, sumur dan kasur. Film Pride and Prejudice menggambarkan situasi Feodal, pada abad ke-18 di Eropa. Posisi perempuan benar-benar sebagai pelengkap laki-laki. Bagaimana kehidupannya dari masa kecil sampai dengan dewasa hanya diperuntukan untuk bagaimana mendapatkan simpati, perhatian dan cinta dari laki-laki. Tentunya laki-laki yang diidamkan pun tidak hanya sebatas laki-laki “biasa” saja tetapi yang mempunyai nilai lebih; harta, tahta dan kedudukan (kekuasaan). Perempuan sangat mengidamkan laki-laki tampan, gagah, mapan dan mampu melindungi perempuan, sehingga y ang dipilih misalnya; pengusaha, militer dan bangsawan. Perempuan tidak bisa memilih dan kehidupan yang “merdeka’. Tetapi menunggu dipilih dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada pihak yang dianggapnya memiliki dominasi terhadapnya, orang tua dan kerabat. Kondisi ini merupakan gambaran masih lekatnya budaya patriarkhi pada karakter masyarakat Feodal. Pada situasi ini kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah hal yang dianggap biasa dan seharusnya atas nama “kesetiaan, cinta kasih dan kodrat” seorang perempuan.
Bergeser pada masyarakat industri ada perubahan terhadap perlakuan kepada perempuan. Pada awalnya perempuan lebih banyak di rumah dengan aktivitas domestik, pada masa ini perempuan didorong untuk keluar dari pekerjaan domestik dan beraktivitas pada ranah publik. Tuntutan industri yang membutuhkan tenaga kerja massal dan murah jatuh pada perempuan. Mereka didorong untuk menempati pos-pos pekerjaan publik sebagai salah satu bentuk upaya partisipasi dan kesetaraan perempuan terhadap akses pekerjaan. Selain sektor pekerjaan, perempuan pada masa ini pun juga mendapatkan kemudahan dalam mengenyam pendidikan karena pendidikan dan pekerjaan tidak bisa dipisahkan. Untuk mendapatkan pekerjaan “layak” tentunya memerlukan pendidikan yang tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan memunculkan tindak kekerasan, walaupun perempuan didorong untuk bekerja pada ranah publik, akan tetapi terdapat konstruksi sosial dan budaya yang mengkondisikan perempuan bertanggungjawab terhadap pekerjaan domestik. Inilah yang disebut dengan double bourden (beban kerja ganda). Kondisi ini yang memungkinkan perempuan dan laki-laki yang pada posisi setara sangat rentan dengan “kekerasan” yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Pelaku bisa dari pihak perempuan ataupun laki-laki, korban pun sebaliknya bisa laki-laki dan perempuan.
Jika demikian yang menjadi permasalahan adalah bukan jenis kelaminnya laki-laki ataupun perempuan, tetapi lebih pada perilaku kekerasan yang muncul dari pihak yang mendominasi terhadap yang lain, bisa laki-laki ataupun perempuan. Artinya kesetaraan dan partisipasi ini tidak mengenal jenis kelamin, akan tetapi lebih pada budaya saling menghargai dan “menganggap ada” kelompok-kelompok marginal, bukan sebagai sampah masyarakat.

2. PEREMPUAN DAN ISLAM
Posisi perempuan dalam Islam memang dibedakan dengan laki-laki, akan tetapi perbedaan tersebut seharusnya bukanlah sebagai pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak uang lain. Akan tetapi justru mendukung misi pokok Al Qur’an yakni terciptanya hubungan harmonis yang didasari kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga yang nantinya menjadi pendukung terwujudnya suatu negara yang penuh ampunan dari Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Kesamaan tersebut daat dilhat pada; (1) hakikat kemanusiaannya. Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan untuk peningkatan kualitas kemanusiaannya. . hak tersebut antara lain; waris (An.Nisa/4:11), persaksian (Al Baqarah/2:282), aqiqah ( At Taubah/ 9:21). (2) islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat pahala yang sama atas amal sholeh yang dibuatnya, sebaliknya keduanya mendapatkan azab yang sama atas pelanggarannya. Dan (3) Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antaumat manusia (Al Hujurat/49:13). Pada aaayat tersebut menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan diperlakukan sama walaupun berasal dari bangsa dan suku yang berlainan (Musdah, 2001).
Rasulullah pun sebagai nabi juga sangat memberikan contoh dalam membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, Beliau mengerjakan pekerjaan rumah tangga; mencuci, membersihkan rumah, memeras susu kambing dan sebagainya. Dalam hal partisipasi, istri-istri Beliau diberikan kebebasan untuk berpendapat dan lebih berperan dalam kehidupan publik (pencari nafkah utama).
Sementara itu, beberapa ayat Al Qur’an yang menafsirkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (An Nisa), beberapa Ulama melakukan tafsir ulang bahwa pada konteks tersebut, hubungan laki-laki dan perempuan lebih pada hubungan yang bersifat bekerjasama satu sama lain (partner kerja). Sementara itu tentang adanya Hadis dari Abu Hurairah RA, yang menyebutkan bahwa perempuan yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, jika kau paksa meluruskannya dia akan patah, dan jika kau biarkan tentu dia akan tetap bengkok. Mengenai tafsir dari hadist tersebut perlu dibaca dengan kritis, bahwa ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang penciptaan antara laki-laki dan perempuan bahwa perempuan diciptakan terlebih dahulu dibandingkan dengan laki-laki. Al Qur’an yang menjelaskan relasi tersebut adalah sebagai berikut; Q.S 4:1; 7:189 dan 39:6. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi satu sama lainnya (Musdah, 2001)


3. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin pun secara tekstual memberikan ruang yang sama terhadap peran antara laki-laki dan perempuan tersebut. Akan tetapi ada kata yang selalu kita ingat sebagai seorang sosiolog yang selalu membaca fakta di masyarakat bahwa fakta yang muncul di lapangan, tidak selalu sama dengan apa yang tertulis. Pada kenyataannya indahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kitab suci tersebut, umat Islam pun banyak yang tidak menerjemahkan tekstual tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kesetaraan dan saling melengkapi satu sama lain pun belum bisa terwujud, bahkan yang muncul adalah diskriminasi sosial yang berbasiskan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi ada karena adanya perbedaan antara jenis kelamin yang satu terhdapa yang lain, dalam arti ada satu jenis kelamin yang tertinggal dibandingkan lainnya. Diskriminasi sosial tersebut berbentuk; stereotype, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan beban ganda (Faqih,1998). Berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan ini menurut UU No. 24 tahun 2004 tentang UU PKDRT kekerasan dikategorikan menjadi; kekerasan ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Berdasarkan data Rifka Annisa, kasus kekerasan yang menimpa perempuan tersebut adalah sebagai berikut;
Data KDRT menurut Rifka Annisa

2003 335
2004 349
2005 312
2006 269
2007 329
2008 309

Data KDRT menurut Mitra Perempuan

1997 64
1998 101
1999 113
2000 232
2001 258
2002 111
2004 329
2005 455
2006 323
2007 283
2008 275


4. Undang-Undang PKDRT
Tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting bagi gerakan perempuan di Indonesia. Mengingat pada tahun tersebut undang-undang yang memberikan perlindungan kepada perempuan disetujui dan menjadi affirmative action terhadap setiap kekerasan yang menimpa perempuan selama ini. Banyak pihak yang tidak menyetujui dan mencibir kelahiran Undang-undang tersebut, disebut sebagai undang-undang yang bersifat “lelucon” dengan mengatakan “relasi suami istri dalam rumah tangga diatur oleh orang lain”. Itu merupakan permasalahan yang privat dan negara tidak perlu mengatur urusan privat sebuah rumah tangga.
Tentu tidak mudah mengubah apa yang menjadi stereotype masyarakat tentang relasi antara perempuan dan laki-laki dalam konteks domestik (pekerjaan rumah tangga). Perlu kerjasama dengan berbagai pihak, tidak hanaya gerakan perempuan itu sendiri aakan tetapi perlu bersinergi dengan gerakan sosial yang lain. Gerakan perempuan di Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan gerakan perempuan di tingkat Internasional. Pada masa Orde lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mampu menunjukan aktivitas sebagai sebuah organisasi perempuan yang mampu sejajar dengan organisasi yang lain. Perempuan pada masa itu sudah mendapatkan hak sosial, ekonomi dan politik dari negara. Akan tetapi pergolakan politik pada masa itu menyebabkan organisasi dibubarkan sampai pada level yang paling rendah.
Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan direduksi dan dibuat seragam dari tingkat nasional sampai daerah dengan nama Dharma Wanita dengan kegiatannya yang paling familiar adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Pada waktu itu kegiatan PKK ini justru mendomestifikasi peranan perempuan. Artinya perempuan lebih banyak disibukan dengan aktiviitas domestik dibandingkan dengan kegiatan publik, dengan tujuan untuk meningatkan peran serta perempuan sebagai pendukung keharmonisan keluarga dan masyarakat. Walaupun pada situasi sedemikian rupa, gerakan perempuan justru mampu membangun kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya dengan berbagai macam aktivitas yang bersifat non formal. Tentunya yang mempelopori aktivitas tersebut adalah akademisi yang melahirkan gerakan sosial berbasiskan perempuan dalam wadah Non Government Organisation (NGO), LSM ataupun organisasi lain yang bersifat massal. Pasca reformasi semua aktivitas perempuan tersebut menemukan momentum sampai pada tahap perjuangan litigasi, terutama dengan lahirnya UU PKDRT dan adanya kuota 30% untuk perempuan di DPR. Kedua perangkat hukum tersebut memberikan angin pada aktivitas kaum perempuan di domestik dan publik. Setiap kekerasan yang terjadi pada level domestik ada perlindungan hukum bagi kaum perempuan. Demikian pula pada ranah publik, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa berkiprah di dunia politik sama dengan kaum laki-laki, dimana selama ini dunia politik banyak didominasi laki-laki.


5. SOSIOLOGI HUKUM
Pada masa sekarang ini, sudah hampir 6 tahun berlakunya UU PKDRT dan kuota 30 % untuk perempuan. Harapannya dengan lahirnya payung hukum bagi perempuan tersebut, semakin berkurangnya kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga dan partisipasi aktif perempuan pada dunia politik semakin tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Payung hukum itupun diiringi dengan berbagai macam kegiatan yang bersifat edukatif bagi masyarakat dan penyadaran bagi perempuan itu sendiri tentang hak-haknya, untuk menyangga dan menguatkan masyarakat terhadap keberadaan perlindungan hukum bagi perempuan. Sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Pemerintah dan organisasi non pemerintah pun terlibat aktif dalam upaya tersebut, dengan berbagai macam bentuk program pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Upaya ini secara umum dinilai berhasil, masyarakat sudah familiar dengan permasalahan perempuan. Sebutan perempuan sudah tidak asing di masyarakat. Sebelum familiar dengan perempuan, istilah yang digunakan adalah wanita yang dalam terminologi Jawa sebagai kependekan dari wani ditoto (perempuan adalah orang yang mudah ditata (diatur) oleh laki-laki sebagai kaum yang dominan). Perempuan sendiri adalah seseorang yang diempu(akar)kan. Artinya memiliki kekuatan sebagai ujung tombak dari keberhasialn keluarga dan negara. Perempuan diposisikan sebagai makhluk yang terhormat dan sejajar dengan laki-laki.
Selain penyebutan istilah perempuan, pada dunia kerja pada beberapa jabatan tertentu di setiap level mulai ada kebijakan yang tidak bias gender. Dalam arti adanya pelibatan perempuan dalam setiap aktivitas atau program kegiatan dan menduduki berbagai macam jenis pekerjaan. Situasi ini memposisikan perempuan untuk lebih berperan aktif dalam aktivitas publik dan tidak hanya tersita pada aktivitas domestik. Lagi-lagi perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam pekerjaan publik dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan partisipasi perempuan dan laki-laki pada berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa menjadi tukang parkir, tambal ban ataupun angkat besi serta menikmati fasilitas yang dulunya tabu dilakukan. Naik motor laki-laki ataupun bekerja di pertambangan sudah biasa perempuan lakukan.
Kesempatan partisipasi yang sama dalam berbagai jenis pekerjaan serta payung hukum untuk perlindungan hukum bagi perempuan adalah termasuk afirmative action untuk mencegah terjadinya berbagai macam kekerasan; psikis, fisik, ekonomi ataupun seksual. Pada kenyataannya pasca diberlakukannya UU PKDRT tersebut angka kekerasan terhadap perempuan, cenderung meningkat (lihat tabel angka kekerasan). Bahkan bisa jadi lebih tinggi karena banyak kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat dibiarkan saja dan tidak disampaikan kepada pihak luar (pemerintah atau lembaga bantuan hukum). Mengingat kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan, artinya kalau korban tidak melaporkan, suatu kasus tidak bisa diproses.
Pasca pemberlakuan payung hukum tersebut, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki akan tetapi oleh perempuan sendiri kerap terjadi. Perempuan menjadi pelaku kekerasan. Yang sangat nampak adalah relasi PRT dengan pengguna jasa (majikan) yang mayoritas lebih dekat dengan perempuan. Banyak kekerasan terhadap PRT dilakukan oleh majikan perempuan daripada majikan laki-laki. Perempuan kelas atas menindas perempuan kelas bawah pada situasi ini. Termasuk kekerasan istri terhadap suami di rumah tangga. Fenomena yang lain, laki-laki pun juga semakin banyak yang melakukan kekerasan, ketika istrinya memiliki “kelebihan” dari segi ekonomi, poltik ataupun status sosial. Watak feodalisme dengan budaya patriarkhi muncul ketika relasi antara suami dan istri di luar kondisi yang seharusnya berlaku dalam masyarakat, laki-laki lebih mendominasi perempuan.
Masyarakat Indonesia pada transisi feodalisme ke modern secara revolusi masih menyisakan kultur yang feodal. Pada kelas tertentu memang pendidikan gender dan sosialisasi UU PDRT dapat terjangkau, akan tetapi pada kelas lain yang berjumlah mayoritas justru tidak mengetahui apa itu gender dan KDRT. Kebiasaan mendominasi dan melakukan kekerasan menjadi sebuah “tradisi” sampai subyek pelaku maupun korban tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan disebut kekerasan. Kekuatan yang bersifat hegemonik masih mengungkung setiap tindakan masyarakat. Arus modern yang serba cepat dengan membawa angin keseteraan baru merubah ide dan wacana relasi antara kelas dominan dan terdominasi bahkan pada situasi tertentu semakin terpolarisasi jarak diantara keduanya. Pendekatan law enforcement pun belum mampu merubahnya.
Pasal-pasal dalam UU PKDRT yang mendefinisikan kekerasan, ancaman hukuman dan denda yang harus dibayarkan pelaku pada korban hanya menjadi praktek pejabat hukum dan tidak diterjemahkan oleh masyarakat. Tidak banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diangkat sampai ke pengadilan, kecuali untuk beberapa masyarakat yang mempolitisirnya atau membuat sensasi. Mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ranah hukum adalah “tabu” bagi mayoritas masyarakat. Ada ketakutan, rasa malu, keengganan ataupun tidak mampu membayar perkara sampai ke pengadilan menjadikan mayoritas masyarakat memilih diam dengan apa yang terjadi. Apalagi citra pejabat hukum ataupun lembaga peradilan adalah sangat buruk dengan berbagai macam kasus suap dan korupsi.
Tahap diberlakukannya UU PKDRT baru satu langkah untuk menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Mengingat sampai pada tahap ini perubahan di dalam masyarakat belum nampak secara progresif. Pada situasi tertentu, masih ada kebijakan yang bias gender. Bahkan kebijakan yang dianggap peka gender pun justru semakin memperlemah posisi perempuan itu sendiri. Kuota 30% bagi perempuan di parlemen adalah afirmative action, akan tetapi ada sebagain berpendapat justru semakin menunjukan posisi perempuan yang “lemah” sehingga memerlukan jatah kursi untuk mempengaruhi kebijakan. Kalau perempuan itu setara kemampuan dan kecerdasannya dengan laki-laki tanpa mendapatkan jatah pun pasti akan bisa menjadi anggota parlemen.
Penegakan hukum yang tidak dilakukan secara progresif perlu ditindaklanjuti dengan langkah berikutnya, pendekatan sosial budaya untuk membersihkan sisa feodalisme. Sosialisasi dan pendidikan gender secara masif harus menjadi konsumsi semua kelas dalam masyarakat. Yang lebih penting lagi selalu menekankan bahwa penghapusan kekerasan tersebut bukanlah antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengertiannya lebih luas, yakni relasi antara masyarakat yang dominan dan terdominasi. Keasadaran kelas untuk lebih memanusiakan masyarakat lain yang tertindas sosial, ekonomi dan politik adalah paling penting. Sehingga permasalahan kekerasan bukanlah laki-laki adalah musuh perempuan dan sebaliknya. Akan tetapi lebih pada perlawanan kelas yang terdominasi terhadap yang mendominasi. Kesadaran yang tidak bias jenis kelaminnya tersebut, akan menumbuhkan penghargaan dan saling menghormati kaum yang berbeda jenis kelamin. Itulah hakikat pelaksanaan UU PKDRT secara progresif. Tanpa UU tersebut pun seharusnya kita sudah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, karena dalam diri kita sudah tertanam untuk menempatkan kaum tertindas setara dengan kita. Tanpa diskriminasi dan penindasan (*)

REFERENSI;
Faqih,Mansur. 1996. Membincang Feminisme. Surabayaa. Risalah Gusti
Musdah. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender. Jakarta. Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Depag RI
Waryono Abdul Ghafur. 2004. Dinamika Studi Gender. Yogyakarta. UIN SUKA
-------------. 2009. Gender dan Islam; Teks dan Konteks. Yogyakarta. PSW UIN SUKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar