Selasa, 23 Maret 2010

Absurdnya Anomali Keadilan

TAJUK RENCANA KOMPAS, 20 MARET 2010

Dua nenek sepuh, Rusmini dan Soetarti, harus menghadapi proses pengadilan. Didakwa telah menyerobot tanah. Jika terbukti bersalah, masuk bui dua tahun.
Kita iba atas kasus dua orang berusia 78 tahun, yang akan disidangkan kembali minggu depan itu. Tidak hanya oleh kondisi yang tua renta, tetapi terutama oleh keterpaksaan mereka mengahadapi ganasnya hukum pidana dan bukan perdata. Padahal mereka sedang menunggu keputusan Mahkamah agung aatas gugatan perdata yang mereka ajukan.
Pepatah hukum tidak lain kecuali untuk kepentingan mereka yang kuat dan hukum pada dasarnya memang demikian. Sebaiknya tidak jadi rujukan. Sebab yang adil diartikan sebagai yang legal. Padahal dalam praktek, setiap rezim penguasa membuat hukumncenderung untuk mempertahankan, memperbesar dab melanggengkan kekuasaan.
Hukum dalam konteks demikian bertampang sangar, ganas dan menakutkan. Tidak bagi yang mempunyai kekuatan dan uang, tetapi bagi mereka yang lemah. Keadilan tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip mulia luhur keadilan, tetapi oleh kepentingan yang berkuasa dan berkekuatan.
Putusan pengadilan pun menjadi absurd. Keadilan menjadi anomali, teka teki yang sulit ditebak. Lembaga pengadilan bukan tempat untuk mencari dan mendapatkan keadilan dalam arti sebenar-benarnya, melainkan pengesahan publik.
Hakim dan jaksa bersamadengan polisi, masuk sebagai aparat penegak hukum, merupakan sosok-sosok serba kuasa. Ditangan mereka nasib perkaran diputus dalaam dua pilihan; bersalah atau tidak bersalah.
Keduduakn maha tinggi itu menggerakan ahli sosiologi hukum mengintroduksi ide hukum progresif. Ajakan itu-obsesi almarhum Prof. Satjipt rahardjo, bukan mematikan penafsiran hukum, bukan sebaliknya superaktif menafsirkan demi kepentingan yang berkekuasaan dan berkekuatan. Obsesi itu semata agar lembaga peradilan menjadi tempat meraih keadilan bagi siapapun, memeperkecil terjadinya absurditas dan anomali keadilan.
Dalam kasus Rusmini dan Soetarti, hukum progresif bukan hanya demi rasa iba dan kasihan, tetapi dmei dasr asasi yang bisa dipertanggungjawabkan, yakni menunggu keluarnya keputusan MA atas pengaduan perdata mereka, dan kepastian bahwa PP no.4/1994 tentang Rumah Negara yang jadi gugatan perdata mereka tidak berlaku.
Faktor-faktor diats tidak berarti mematikan prinsip yang bersalah harus dihukum, melainkan bahkan tanpa menempatkan faktor usiapun, asas-asas yuridis bisa menjad celah keberanian dan keluhuran budi hakim dalam memutus perkaras Rusmini dan Soetarti.
Selain keberanian, dibutuhkan empati dan kepekaan nurani hakim. Kasus dua janda pahlawan itu menjadi batu ujian; seberapa jauh anomali dan absurdnya keadilan bisa dibuat tegas sekaligus bernurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar