Selasa, 23 Maret 2010

Absurdnya Anomali Keadilan

TAJUK RENCANA KOMPAS, 20 MARET 2010

Dua nenek sepuh, Rusmini dan Soetarti, harus menghadapi proses pengadilan. Didakwa telah menyerobot tanah. Jika terbukti bersalah, masuk bui dua tahun.
Kita iba atas kasus dua orang berusia 78 tahun, yang akan disidangkan kembali minggu depan itu. Tidak hanya oleh kondisi yang tua renta, tetapi terutama oleh keterpaksaan mereka mengahadapi ganasnya hukum pidana dan bukan perdata. Padahal mereka sedang menunggu keputusan Mahkamah agung aatas gugatan perdata yang mereka ajukan.
Pepatah hukum tidak lain kecuali untuk kepentingan mereka yang kuat dan hukum pada dasarnya memang demikian. Sebaiknya tidak jadi rujukan. Sebab yang adil diartikan sebagai yang legal. Padahal dalam praktek, setiap rezim penguasa membuat hukumncenderung untuk mempertahankan, memperbesar dab melanggengkan kekuasaan.
Hukum dalam konteks demikian bertampang sangar, ganas dan menakutkan. Tidak bagi yang mempunyai kekuatan dan uang, tetapi bagi mereka yang lemah. Keadilan tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip mulia luhur keadilan, tetapi oleh kepentingan yang berkuasa dan berkekuatan.
Putusan pengadilan pun menjadi absurd. Keadilan menjadi anomali, teka teki yang sulit ditebak. Lembaga pengadilan bukan tempat untuk mencari dan mendapatkan keadilan dalam arti sebenar-benarnya, melainkan pengesahan publik.
Hakim dan jaksa bersamadengan polisi, masuk sebagai aparat penegak hukum, merupakan sosok-sosok serba kuasa. Ditangan mereka nasib perkaran diputus dalaam dua pilihan; bersalah atau tidak bersalah.
Keduduakn maha tinggi itu menggerakan ahli sosiologi hukum mengintroduksi ide hukum progresif. Ajakan itu-obsesi almarhum Prof. Satjipt rahardjo, bukan mematikan penafsiran hukum, bukan sebaliknya superaktif menafsirkan demi kepentingan yang berkekuasaan dan berkekuatan. Obsesi itu semata agar lembaga peradilan menjadi tempat meraih keadilan bagi siapapun, memeperkecil terjadinya absurditas dan anomali keadilan.
Dalam kasus Rusmini dan Soetarti, hukum progresif bukan hanya demi rasa iba dan kasihan, tetapi dmei dasr asasi yang bisa dipertanggungjawabkan, yakni menunggu keluarnya keputusan MA atas pengaduan perdata mereka, dan kepastian bahwa PP no.4/1994 tentang Rumah Negara yang jadi gugatan perdata mereka tidak berlaku.
Faktor-faktor diats tidak berarti mematikan prinsip yang bersalah harus dihukum, melainkan bahkan tanpa menempatkan faktor usiapun, asas-asas yuridis bisa menjad celah keberanian dan keluhuran budi hakim dalam memutus perkaras Rusmini dan Soetarti.
Selain keberanian, dibutuhkan empati dan kepekaan nurani hakim. Kasus dua janda pahlawan itu menjadi batu ujian; seberapa jauh anomali dan absurdnya keadilan bisa dibuat tegas sekaligus bernurani.

Senin, 22 Maret 2010

Kuliah 7

HUKUM PROGRESIF
(Disarikan dari Buku Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif dan Membedah Hukum Progresif)

Ada suatu pertanyaan yang berkaitan dengan hukum dan peraturan. Apakah ketertiban di masyarakat merupakan hasil dari bekerjanya hukum. Kita menganggap wajar, bila ketertiban disebabkan oleh karena adanya hukum; seperti perundang-undangan dan isntitusinya. Pikiran tersebut bersifat Hobbesian, dalam arti mempercayakan ketertiban masyarakat sepenuhnya kepada hukum yang hanya bisa dilahirkan oleh satu-satunya kekuasaan. Tanpa adanya kekuasaan absolute yang menguasai seluruh masyarakat, akan terjadi kekacauan, pertentangan antar anggota masyarakat. Maka, demi ketertiban dalam masyarakat, semua orang harus tunduk pada Negara. Masyarakat ditelan habis oleh Negara. Itulah menurut Hobbes, ongkos yang harus dibayar untuk mendaatkan ketertiban dalam masyarakat. Dalam konteks ini tidak ada ruang public, yang ada hanya ruang bagi Negara. Segala urusan ketertiban dalam masyarakat hanya bisa dilakukan melalui Negara, karena itu harus diserahkan kepada hukum. Hukum adalah satu-satunya institusi yang mampu menuntuskan segalanya.
Akan tetapi kenyataan di masyarakat bahwa serahkan semuanya kepada hukum, maka segalanya akan beres, hanyalah mitos belaka. Bila dikatakan bahwa hukum akan menghentikan kejahatan melalui sanksi pidana yang diancamkan, itu hanya sebagian dari proses. Itu baru cita-cita atau harapan karena sesudah peraturan, masih diperlukan tindakan agar apa yang diinginkan oleh peraturan (hukum) menjadi kenyataan. Dalam proses hukum, masih ada polisi yang harus bertindak, masih diperlukan masyarakat yang mendukung keinginan hukum. Artinya hukum perlu bekerja sama dengan penegak hukum untuk menuntaskan sebuah perkara.
Salah satu contoh masyarakat yang sangat menjunjung hukum adalah AS yang mengenal Syndrom Kitty Genovese (SKG). Mereka beranggapan jika sudah ada hukum, mengapa kita harus susah-susah melibatkan diri? Kita sudah membayar pajak, biarkan saja polisi menyelesaikan permasalahan kejahatan. Apa yang dialami oleh Kitty Genovese, pada tahun 1960, dalam perjalanan pulang, perempuan itu dicegat oleh laki-laki di dekat apartemennya, diperkosa, lalu dibunuh. Walaupun dia berteriak-teriak, tidak ada satu orang pun di apartemen yang perlu turun tangan. Hukum yang dijunjung tinggi habis-habisan akan menghilangkan sifat kemanusiaannya dalam hukum. Hukum menjadi steril tanpa adanya kepedulian kemanusiaan. Sebaliknya di Indonesia, kaum legalis menyatakan adanya sindrom tindakan main hakim sendiri, sedangkan para sosiologi hukum mengatakan sebagai bentuk self help dari komunitas di situ. Lalu dimanakah kondisi yang ideal diantara keduanya? Hukum diatas segalanya atau solidaritas yang tinggi dalam berhukum.



NEGARA HUKUM
Semenjak kita memproklamasikan kelahiran Negara hukum RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pada waktu itu kita merasa sudah menjadi Negara hukum yang sempurna secara formal, akan tetapi secara substansialnya masih jauh. Negara hukum yang ingin kita bangun berdasarkan Undang-Undang Dasar yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga Negara hukum memikul beban yang sangat berat, yakni memandu bangsa ini menuju kepada kehidupan yang bahagia.

Negara hukum tidak instan, akan tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia sendiri, layaknya perkembangan masyarakat di Eropa yang membutuhkan waktu 10 abad untuk menemukan sebuah konsep rule of law dan Negara konstitusional yang diawali dari feodalisme, staendesstaat, negara absolute sampai Negara konstitusional. Negara hukum di Indonesia adalah impor, dipaksakan dari luar (imposed from outside) melalui transformasi dan transplantasi, melalui lompatan dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Sehingga membangun Negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum dan membangun peradaban baru. Menjadi Negara hukum yang sebenarnya adalah proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan social dan kultur. Hukum dan Negara hukum modern membutuhkan suatu predisposisi social dan cultural tertentu untuk berhasil dengan baik. Salah satu persyaratan yang menonjol adalah ambruknya tatanan kolektif dan personal untuk digantikan dengan tatanan yang rasional dan impersonal. Seingga semakin teralienasi manusia satu dengan yang lain, hukum modern semakin diperlukan. Semakin urban dan individual suatu masyarakat, maka semakin hukum itu dibutuhkan. Sebaliknya masyarakat dengan kehidupan kolektif dan solidaritas yang tinggi kurang memerlukan hukum.

Negara hukum tidak bisa direduksi menjadi negara undang-undang atau lebih rendah lagi negara prosedur. Apabila itu yang terjadi, negara hukum Indonesia sudah kehilangan grandeur, keaguangan dan kebesarannya. Negara hukum bukan hanya secarik dokumen, tetapi sesuatu proyek yang jauh melampaui dokumen kata-kata dan konsep. Sehingga penyelenggaraannya perlu diserahkan kepada orang-orang yang tercerahkan oleh ide besar bernegara hukum. Negara hukum juga perilaku bagi orang-orang yang melaksanakannya. Negara hukum yang diharapkan menjadi bangunan yang penuh Grandeur dan berkah bagi rakyat manakala hukum dipahami dan dijalankan dengan kelengkapan logika; logika peraturan (membaca peraturan), logika kepatutan sosial (socaial reasonableness). Pada saat kita mempertimbangkan “apakah yang ingin kita lakukan sudah sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat” dan logika keadilan (logika yang dapat diperoleh tidak hanya dengan membaca aturan, tetapi melakukan perenungan dan pemaknaan lebih dalam terhadap apa yang kita baca. Adilkah keputusan yang sudah dibuat ?

Karut marut hukum di Indonesia, bukan hanya ditunjau dari sisi hukum semata, artinya perhatian lebih diarahkan pada aspek perundang-undangan dengan melakukan amandemen, akan tetapi perlu juga diimbangi dengan gerakan penegakan supremasi hukum, yang selama ini berjalan di tempat.

Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan social yang lebih luas. Berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).

Menurut Hakim Agung, O.W.Holmes bahwa menjalankan hukum bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience). Menurut Van Doorn, sosiolog hukum Belanda bahwa hukum merupakan skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri sering terjatuh dari skema yang diperuntukan baginya. Hal ini disebabkan oleh factor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lainnya yang mempengaruhi dan membentuk perilaku. Factor perilaku atau manusia sangat berpengaruh dalam kehidupan hukum. Ketika kita berbicara perilaku dalam hukum, maka hal yang perlu diperhatikan adalah aspek Human Capital, yang kita miliki hanya sedikit. Seseorang pernah menyatakan bahwa “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan. Dalam suatu dialog di TVRI, seorang anak muda ada yang mengatakan bahwa ‘selama UUD kita dijalankan oleh orang-orang yang berjiwa kerdil, maka impian dan cita-cita UUD tidak akan terwujud’.

Selain Human Capital, kita juga memerlukan Social Capital dalam berhukum. Kita menyatakan bangsa Indonesia yang berbudi luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan dan semacamnya, akan tetapi hal tersebut tidak sampai pada kultur hukum kita. Kultur hukum kita cenderung individualistic. SC merupakan tulang punggung untuk menjalankan kehidupan bernegara hukum. Jepang dan Amerika memilki SC masing-masing sebagai pendukung Negara hukumnya. Jepang menekankan moral kolektivisme yang menjalankan hukum dengan hati nurani, sementara AS pada individualism dan liberalism yang sangat rasional dalam menjalankan hukum.

Kita bernegara hukum untuk apa? Apakah hukum itu hanya semata-mata untuk mengatur masyarakat ataukah untuk suatu tujuan yang lebih besar, yakni memberikan kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya. Hukum sebagai peraturan menempatkan rasionalitas diatas segalanya, sehingga dapat menghasilkan sebuah peraturan. Artinya hukum demi hukum. Akan tetapi tujuan hukum bukan pada itu, akan tetapi hukum lebih menginginkan mewujudkan keadilan dan kebahagiaan diatas segalanya. Itu yang kita dapat amati bagaimana orang Timur menjalankan hukum yang ada di negerinya.

Selain pemikiran rasionalitas, ada metode berpikir yang lain, yakni perasaan (mempertimbangkan lingkungan atau habitat sehingga tidak semata-mata logika dan spiritual (mencari makna dan nilai yang tersembunyi dibalik obyek yang ditelaah). Kecerdasan intelektual yang bersifat rasional selalu terikat pada patokan (rule bound) dan amat melekat pada program yang telah dibuat (fixed program) sehingga menjadi deterministic. Berpikir menjadi suatu finite game. Berpikir dengan perasaan lebih maju, karena tidak semata-mata menggunakan logika tetapi bersifat kontekstual. Sedangkan kecerdasan spiritual, tidak ingin dibatasi dengan patokan (rule bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, nilai yang lebih dalam. Dengan demikian berpikir menjadi suatu infinite game, tidak ingin diikat dan dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transenden). Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule making). Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkkrkan kedua model yang lain, akan tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat yang oleh Zohar dan Marshall disebut sebagai “kecerdasan sempurna”.

Dalam kaitannya kehidupan hukum, kecerdasan spiritual tersebut muncul dalam menjalankan hukum, tidak semata-mata menerapkan huruf-huruf dalam peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Paul Scholten, seorang Guru Besar di Belanda menyatakan bahwa hukum memang dalam undang-undang, akan tetapi masih harus ditemukan (finding law). Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar.

Pengadilan Progresif-Kasasi
Kasasi pada tingkat pangadilan adalah tidak lagi membicarakan fakta, yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum yang telah dijalankan dengan benar ataukah tidak oleh pengadilan di tingkat bawah. Yang berhak melakukannya adalah MA, sehingga MA akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan hakim di PN atau PT untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif, proses yang sarat dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya.

Pengadilan progresif memiliki semboyan; hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Dalam pengadilan progresif pun membutuhkan seorang hakim progresif bahwa hakim bukan hanya pembaca teks undang-undang semata, akan tetapi juga sebagai makhluk social. Hakim adalah representasi dari masyarakat, ia berbagi suka dan duka, kecemasan, penderitaan, harapan seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat. Melalui putusan-putusannya, hakim mewakilki suara masyarakat yang tidak terwakilki (unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented). Pekerjaan penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh factor dari luar, tetapi juga dari dalam. Dalam hal ini dikemukakan ada 2 penegak hukum, sehingga melahirkan 2 macam penegakan hukum. Hal ini menunjukan bahwa hukum bukan hanya soal peraturan, akan tetapi keterlibatan manusia secara utuh. Jaksa yang berani dan membedakan dengan yang lainnya karena mereka selalu merujuk pada hati nurani.

PEJABAT HUKUM PROGRESIF
1. Baharudin Lopa

(Baharudin Lopa)
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah. Dia, teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum. Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur.Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung. Ketika menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan (dari berbagai sumber).
2. HAKIM BISMAR SIREGAR

(Bismar Siregar)
Ibarat kaca, mantan hakim agung Bismar Siregar SH, menjadi cermin kebeningan hati nurani bagi para hakim. Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara (1984), ini selalu mengandalkan hati nurani setiap kali mengambil keputusan. Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang, hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.
Untuk itu, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya sendiri. Dia tidak ingin membohongi hati nuraninya ketika memutuskan suatu perkara. Setiap kali membuka berkas perkara atau memimpin sidang pengadilan, nurani keadilan selalu terbayang dibenaknya. Karena itu, kebanyakan teman menganggapnya sebagai hakim yang aneh, penuh kontroversi. Padahal duduk soalnya sederhana saja, Bismar tidak mau disuap, tidak bisa dibeli. Bismar selalu berdialog dengan hati nuraninya: “Salahkah orang ini? Jahatkah dia? Bagaimana hukumannya, berat atau ringan?” Sesudah hati nuraninya memutuskan, maka ia mencari pasal-pasal hukum sebagai dasarnya. Masih ada contoh lain. Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan menjadi tiga tahun. Perkara ini diputuskan oleh PN Tanjungbalai, tetapi diubah oleh Pengadilan Tinggi Sumut. Ketika mengadili seorang tokoh BTI/PKI, Mei 1965, Bismar berani melawan tekanan PKI. Sebab Bismar beranggapan, hakim itu wakil Tuhan di dunia.Dia juga menggelisahkan kekurangan pemahaman dan penjabaran hukum oleh para penegak hukum. Bagi dia, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka harus disingkirkan, asal mencapai keadilan. Demi keadilan, baginya, tidak ada alasan bagi hakim menyatakan belum ada undang-undangnya. Hakimlah undang-undangnya!
Dia juga menyesalkan hakim-hakim yang tidak mengerti ajaran agamanya. Sebab hakim memutuskan perkara dengan diawali kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, sesuai ajaran Tuhan tegakkan dengan adil. Pengalamannya sebagai hakim, selalu memutuskan perkara dengan bijaksana, dengan mendengar hati nurani. Dalam KUHAP juga disebut dengan arif dan bijaksana. “Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum,” ujar Bismar Siregar.
3. POLISI HOEGENG


Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia, ini dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dia simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.
Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat. Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm. Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.
Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan
mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula. Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean. Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng
masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng. (disarikan dari berbagai Sumber)
Mereka; Baharudin Lopa, Bismar Siregar dan Hoegeng adalah tokoh-tokoh penegak hukum yang selalu merujuk pada hati nurani yang memiliki keberanian dalam menegakan hukum. Putusan hati nurani adalah nomor satu, sedangkan hukum adalah nomor dua. Sehingga ada ungkapan bahwa keadilan adalah diatas peraturan. Hukum bisa ditempatkan pada wilayah abu-abu. Masalah yang dihadapi adalah masalah social, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Di lain pihak, ia dituntut untuk bekerja sebagai teknologi yang eksak. Tarikan antara titik kemanusiaan dan titik mesin inilah yang mewarnai dunia hukum saat ini.

HUKUM PROGRESIF
Progresif berasal dari kata Progress yang berarti kemajuan.
Hukum progresif berarti hendaknya hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum sendiri.

Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelamahan dan berusaha untuk memperbaikinya. Hukum sangat rentan dengan terhadap keadaan status quo. Bagi para penegak hukum, mempertahankan status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan perubahan dan pembaharuan. Kekuatan hukum progresif (kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokad, akademisi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dll) akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Hal ini merupakan paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan, yang paling penting adalah manusia yang bisa menolong kondisi buruk yang diakibatkan oleh sistem. Sehingga sangat diperlukan sikap kritis terhadap hukum normatif dan inilah semangat progresif untuk memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people). Hakim-hakim profgresif bertindak atas dasar itu.

Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan kepada rakyat?” Artinya, hukum tidak menjadi tawanan sistem dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, manusia pada dasarnya baik, memilki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Artinya hukum itu menjadi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan tersebut. Hukum bukan raja, tetapi hanya alat saja yang memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Hukum mempunyai tujuan besar untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka hukum selalu berada pada status law in the making. Hukum bukan untuk dirinya sendiri dan tidak final. Artinya setiap putusan adalah sebagai terminal menuju kepada keputusan berikutnya yang lebih baik. Sehingga hukum ini selalu peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya; awalnya ada dua sistem hukum di dunia yang bekerja dengan jalannya masing-masing, yakni civil law dan common law. Civil law adalah sebuah sistem yang mencerminkan karya manusia yang sadar dan sengaja, sedangkan yang common law adalah sistem yang berkembang secara tradisional tanpa aktor-aktor pembuat yang nyata. Akan tetapi sekarang dunia berbicara mengenai keduanya pada suatu sistem yang myxed system. Tentunya percampuran itu terjadi karena berbagi faktor; fenomena global yang memicu kepadatan dan intensitas interasi, interface dan interchange kelembagaan dan proses-proses di dunia.

Hukum progresif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum ini merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang syarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum ini ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo,serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Konsep pemikiran tersebut ditawarkan untuk diimplementasikan dalam tataran agenda akademis dan aksi. Agenda akademis, dalam arti hukum progresif menolak pengutamaan dan penggulan ilmu hukum yang bekerja secara analitis (analytical jurisprudence), yaitu mengedepankan peraturan dan logika. Hukum progresif lebih bertumpu pada aras sosilogis dalam menjalankan hukum.

Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Secara lebih spesifik, hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Hukum ini ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat yang memiliki tipe responsif; artinya hukum akan selalu dikaitakand engan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.

Hukum progresif banyak dipengaruhi oleh aliran legal realisme yang melihat hukum bukan dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibta-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang tentang mengenai hukum melampaui peraturan dan teks dokumen. Karena kehadiran hukum diakiatkan dengan tujuan sosialnya, maka hukum ini juga dekat dengan sociological jurisprodence, Roscoe Pound. Studi hukum bukan hanya tentang peraturan-peraturan, melainkan keluar dari stu dan melihat efek hukum serta bekerjanya hukum. Kedekatan hukum progresif dengan teori hukum alam terletak pada kepeduliannnya terhdap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta juridical. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan. Hukum progresif juga memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies (CLS) di AS, tahun 1977. Keduanya muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum di negera tersebut.

Minggu, 14 Maret 2010

Kuliah 6

Hari senin, tanggal 15 maret 2010 tidak ada kuliah

Tugas makalah harus terkumpul semua
Tanda tangan di Mas Anif

terima kasih,
Muryanti,MA

Kamis, 04 Maret 2010

Kuliah 5

Materi Kuliah ; Praktek Peradilan di Indonesia

Narasumber : Faiz Nugroho, SH (Lawyer)