Minggu, 28 Februari 2010

Kuliah 4

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

Pada kuliah ke empat ini kita akan membahas tentang Sosiologi Hukum Islam . Pengertian sosiologi islam sangat perlu untuk dikaji berkaitan dengan sosiologi dan islam sebagai ilmu.
PENGERTIAN SYARI’AH DAN FIQH
Syari’ah secara etimologis berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh Bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Secara terminologis (istilah) syari’ah menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mengadnung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah Syariatkan begi hamba-hambaNya. Menurut Manna al Qathan, syariah berartoi segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya, baik mneyangkut akidah, ibadah akhlak dan muammalah. Berdsarkan kesimpulan diatas, syariah itu sama dengan agama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Syariah tertuu atau digunakan untuk menunjukan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh manusia.(Djamil, 1987)
Fiqh secara semantic bermakna untuk mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Sedangkan secara terminologis, menurut Abu Zahrah mengethaui hukum-hukum syara’ yang bersifat amliyah yang dikaji dari dalil-dalil yang terperinci. Berdasrkan pengertian tersebut, fiqh bukanlah hukum syara itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara’. Mengingat fiqh itu hanya interpretasi yang bersifat zanni yang terikat dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, maka fiqh senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Berdasarkan pengertian tersebut, hakikat fiqh dapat dipahami, yaitu;
1. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara
2. Fiqh membicarakan hal-hal yang bersifat ‘amaliyyah furu’iyyah (praktis dan bersifat cabang)
3. Pengetahuan tentang hukum syara’ didasarkan pada dalil tafsili, yakni Al Qur’an dan Hadis
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid (Djamil, 1987)
Syariah sebagai hukum Allah diturnkan di muka bumi dengan tujuan menegakan kemaslahan, kedamaian dan kebahagiaan umat manusia. Syariah ada yang diterangkan secara jelas dan ada yang samar (implicit). Terhadap hukum yang bersifat implicit ini, perlu dilakukan pengakajian dan penelitian terhadapnya. Ketentuan yang terperinci tentang tingkkah laku mukallaf diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah. Hasil pemahaman tersebut yang disebut fiqh. Sehingga secara sederhana fiqh tersebut diartikan sebagai penjelasn terhadap syariah yang terang dan agak terang serta pemahaman dan penggalian terhadap kandungan syariah yang tidak tampak. (Djamil, 1987)

PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Kata hukum islam sama sekali tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan literature hukum dalam Islam. Yang ada dalam Al Qur’an dalah kata-kata Syariah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term Islamic law dari literature Barat. Apabila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rassul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragam Islam (Djamil, 1987).
Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teleologis, artinya hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujaun. Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunai dan akhirat. Bukan kebahagiaan yang fana dan di dunia semata, tetapi juga di akhirat kelak. Tujuan dari hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim. Dengan adanya syari’ah tersebut dapat ditegakan di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang (Djamil, 1987)
Hukum islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al Qur’an maupun As sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku universal, relevan pada setiap ruang dan waktu manusia. Keuniversalan hukum islam ini sebagai kelanjutan dari hakikat Islam sebagai agama Universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaranNya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam dimanapun dan kapanpun. Hukum islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari al fiqh al Islamiy atau dalam konteks tertentu disebut al syariah al islamiy, atau dalam literature Barat disebut dengan Islamic Law. Wahyu Allah dalam al Qur’an menjadi memuat hukum islam yang utama. Kata syariah kemudian dijelaskan oleh Rasulullah dengan ijtihad-ijtihadnya yang berwujud dalam Al Sunnah. Adapun Al Fiqh adalah proses pemahaman terhadap al syariah yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi social masyarakat. Al Qur’an sebagai sumber pertama hukum islam, di dalamnya memuat ajaran-ajaran di bidang hukum perdata, dagang, pidana, Tata Negara, acara, perburuhan, ekonomi dan sosial dan hukum Internasional. Ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam Al qur’an dilengkapi dengan sunnah Rasul dan dikembangkan dengan ijtihad Ulama, keputusan Pemerintah dan ijtihad hakim dalam yurisprudensi (Al Munawar, 2004)
Mulai dari awal kedatangan Islam sampai dengan saat ini, hukum Islam menjadi factor penting dalam menentukan setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijakan dalam penyelenggaraan Negara. Mengenai sejarah berlakunya hukum islam di Indonesia, dapat dilihat dari dua periode yakni 1) periode penerimaan hukum islam sepenuhnya dan 2) periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat. Periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat, disebut sebagi teori receptive. Penerimaan hukum islam sepenuhnya disebut dengan teori receptio in complexu. Pada masa ini hukum islam dilaksanakan sepenuhnya oleh hukum islam, semenjak adanya kerajaan-kerajaan islam di Indonesia, pemerintah hukum kolonial juga memberlakukan hukum islam bagi umat islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum waris yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan.
HUKUM ISLAM PADA ZAMAN BELANDA
VOC yang lebih dahulu berkuasa di Indonesia tidak terlalu memperdulikan agama dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Setealh kekeuasaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, baru ada perhatian terhadap perkembangan Islam di Indonesia, terutama karena gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekeuasaaan Kesultanan Othmaniyyah di istambul, merupakan Imperium Islam di eropa Timur dan Asia kecil pada abad ke XVII sampai abad ke XX. Pan Islamisme ini bertujuan untuk mempersatukan umat Islam seduani dengan Sultan Turki sebagai pimpinan tertinggi. Belanda mendapat perlawanan dari kesultanan dan pemimpin umat Islam di seluruh Indonesia, sepajang abad ke XIX. Oleh karean itu Belanda memperhatikan psychology massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum islam di Indonesia. Pengakuan tersebut akhirnya dituangkan dalam peraturan-peraturan hukum seperti terdapat dalam pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving disingkat A.B. jo Pasal 131 ayat 2 Indische Staatsregeling atau I.S. Pada pokoknya pasal 11 A.B menentukan bahw a bagi orang Indonesia yang baginya berlaku Hukum Perdata Belanda baik karena agama, penaklukan sukarela pda hukum perdata Barat, baginya berlaku ketentuan-ketentuan hukum Indonesia, yakni hukum agama, lembaga-lembaga dan kebijakan-kebijakannnsepanjang tidak bertentangan dengan asas keadilan. Mengenai kegiatan keagamaan terlihat adanya sikap diskriminatif terhadap agama-agama selain Kristen, termasuk Islam (Syahar, 1986) Pelaksanaan hukum Belanda dikeluarkan peraturan Resolutie der indische Regeering tanggal 25 Mei 1760, yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Dalam Reggerings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 dinyatakan bahwa oleh hakim Indonesia, hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten) (Al Munawar, 2004)
HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
Adapun periode penerimaan hukum islam oleh hukum adat, dipahami bahwa hukum islam berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Bila yang dimaksud hukum adat adalah kebiasaan maka pertengahan abad ke 19 hukum agama dalam hal ini hukum islam dan hukum kebiasaan berlaku sama kuat sepanjang dihormati oleh amsyarakat dan selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan meruapkan kebutuhan kemasyarakatan yang nyata. Istilah hukum adat baru dikenal pada abd ke 19 oleh van Vollenhoven. Menurunta bagi golongan bumiputera, hukum yang berlaku baginya adalah hukum adat, yakni hukum yang turun menurun (tradisional) Indonesia. Hukum agama termasuk dan tetutama hukum islam merupakan tambahan atau pelengkap hukum tradisional yang telah ada di masyarakat. Pendapat ini berdasarkan pada banyaknya pengurangan kekuasaan raja-raja dan Sultan-Sultan Islam di Indonesia oleh Belanda (Syahar, 1986).
Sementara menurut Mr. Van den Berg yang menganggap bahwa hukum kebiasaan itu atau hukum adat adalah hukum agama, bila masyarakat setempat beragama Islam, maka hukum yang berlaku (hukum adatnya) adalah hukum Islam. Demikian halnya apabila masyarakat setempat juga beragama lain, maka hukum yang adat yang berlaku adalah hukum agama itu sendiri. Teori ini yang dikenal dengan receptio in complex. Pendapat van den Berg ini berdasarkan pada zaman sebelum pemerintah Belanda mengeliminir kekuasaan Sultan-Sultan dan Raja-raja Islam di Indonesia. (Syahar, 1986)


Pada Zaman kemerdekaan, hukum islam pun melewati dua kali periode; 1) periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasive. 2) Periode kedua adalah periode hukum islam sebagai autoritatif. Sumber persuasive dalam kontek hukum konstitusi, yaitu sumber hukum yang baru diterima apabila diyakini. Dalam hukum islam, piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan sumber persuasive. Hukum islam baru menjadi autoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam ketatanegaraan, ketika dekrit Presiden 5 Juli yang mengakui bahwa PIagam Jakarta menjiwai UUD 1945 (Al Munawar, 2004)
MATERI HUKUM ISLAM SECARA NASIONAL
Apabila dilihat dari ilmu Fiqh, maka yang dapat dimasukan ke dalam hukum islam itu adalah bagian dari mu’amalat dari Syariat, sementara ibadah yang merupakan relasi antara manusia dengan Tuhan tidak menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya perubahan yang menandai perkembangan hukum islam dan masyarakat muslim. Perubahan tersebut pada orientasi masyarakat Muslim dari urusan ibadah (hubungan vertical manusia dengan Allah) kepada urusan muammalat (hubungan horizontal manusia dengan lingkungan alam). Mu’amalat itu menurut kitab-kitab fiqh meliputi;
1. Munakahat dengan syarat dan rukunnya
2. Faraidh atau pembagain warisan
3. Jinayat atau hukum pidana
4. Jihad atau hukum perang
5. Buyu’ atau jual-beli termasuk riba
6. Syarikat atau perseorangan
7. Al suthanat atau hukum tata Negara
8. Aqdhiyah atau hukum acara
Diantara materi hukum islam (mu’amaalat) diatas yang telah masuk sebagai hukum Indonesia hanyalah bagian munakahat untuk seluruh Indonesia dan faraidh untuk sebagian Indonesia (Syahar,1986). Kontribusi materi hukum islam tersebut dapat kita lihat pada beberapa undang-undang sebagai berikut;
1. UU No.1/1974 tentang perkawinan
2. UU No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional
3. UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5. PP No. 28 tahun 1991 tentang Perwakafan nasional
6. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat.
Sejarah perjalanan hukum islam di Indonesia, kehadiran hukum islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa datang menegaskan bahwa hukum islam itu ada dalam hukum nasional, baik secara tertulis atau pun tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum. Teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum islam dalam hukum nasional Indonesia, ada dalam arti;
1. Bagian integral dari dari hukum nasional Indonesia
2. Kemandirian yang diakui
3. Hukum nasional dan norma hukum islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
4. Bahan utama dan unsur utama
Jadi secara eksistensial kedudukan hukum islam dalam hukum nasional merupakan sub system dari hukum nasional. Karenanya hukum isla m juga menjadi memberikan sumbangan bagi pembaharuan dan pembentukan hukum nasional. Bagaimana secara sosiologis, tentunya pada kondisi eksistensial tersebut, hukum islam melibatkan kesadaran keberagaman dalam masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan dengan masalah kesadaran hukum dan norma hukum.
Disamping itu, penerapan hukum islam di Indonesia juga mengalami kendala, yakni;
1. Kemajemukan bangsa
2. Metode pendidikan hukum yang cenderung bersifat trikotomi; islam, barat dan adat
3. Kurangnya pengkajian akademik di bidang hukum islam (Al munawar, 2004)


SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang ecara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. Maksudnya sejauh mana hukum itu mempengaruhi tingkah laku social dan pengaruh tingkah laku social terhadap pembentukan hukum (Tebba, 2003). Dengan obyek sosiologi hukum adalah; produk undang-undang, para pejabat hukum dan pendapat para ahli tentang situasi dan kondisi hukum yang berada di dalam masyarakat.
Hukum Islam tidak saja berfungsi sebagai hukum secular, tetapi juga berfungsi sebagai nilai-nilai normative. Ia secara teoritis berkaitan dengan segenap aspek kehidupan dan satu-satunya pranata (institusi) social dalam islam yang dapat memberikan legitimasi terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam penyelarasan antara islam dan dinamika social. Sehingga hukum islam mempunyai fungsi ganda; 1) sebagai hukum berusaha mengatur tingkah laku manusia (umat Islam) sesuai dengan citra islam dan 2) sebagai norma memberikan legitimasi ataupun larangan-larangan tertentu dengan konteks spiritual. Apabila dilihat dari segi hukum tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan social dan budaya di sekitarnya dan dari norma menunjukan bahwa adanya intervensi Allah dalam penetapan hukum. Hal itu yang menjadi ciri dari hukum islam dan yang membedakan masyarakat Islam dengan di luar Islam. Pola cita masyarakat bukan islam terbentuk berdasarkan pengalaman dan pemikiran social secara evolusi, sedangkan pola cita masyarakat islam diturunkan oleh Allah berupa wahyu dan terbentuk secara revolusi (cepat). (Tebba, 2003)
CATATAN;
Berlakunya hukum Islam di Indonesia merupakan sub system dari hukum nasional. Artinya hukum islam bukan menjadi acuan pokok, akan tetapi hukum islam justru harus mengacu pada konstitusi dasar yang ada di Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Situasi ini ditunjang karena bangsa Indonesia sangat plural dan multikultur, dari segi social budaya dan termasuk religiusnya. Sehingga pembelakuan hukum Islam tentunya perlu dikaji lebih jauh.
Mengkaji tentang pelaksanaan hukum islam di Indoensia harus dilakukan karena di Negara ini, mayoritas penduduknya beragama muslim. Salah satu cara yang dtempuh adalah dengan melakukan penelitian untuk memahami secara mendalam tentang kasus-kasus yang terjadi dalam pelaksanaan hukum islam. Umat islam harus mampu menjabarkan hukum islam dalam konteks sosiologis. Adapun cabang-cabgang hukum islam yang dikenal selama ini adalah; tarikh tasyri’ (sejarah hukum islam), falsafah al tasyri’ al islami (filsafat hukum islam), qawa’id fiqh (kaidah-kaidah hukum islam), ushul fiqh (pengantar hukum islam) dan fiqh itu sendiri. Penjabaran dalam sosiologis itu perlu dilakukan agar pelaksanaan hukum islam itu benar-benar memperhatikan keadilan semua umat dan islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalaupun selama ini pembahasan hukum yang berkaiatan dengan muammalat dikatakan sudah selangkah lebih maju apabila dibandingkan dengan pembahasan ibadah, maka ke depan hukum islam harus lebih progressif lagi dengan konteks kehidupan social yang lebih kompleks atau melahirkan fiqh social.

BAHAN DISKUSI;
1. Undang-Undang tentang Nikah Sirri

Rabu, 24 Februari 2010

Referensi Sosisiologi Hukum Islam

1.Prof Dr. Said Agil A Munawar,MA.2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Penamedia. Jaarta
2.Sudirman Tebba.2003.Sosiologi Hukum Islam. UII Press. Yogyakarta
3.Drs. H. Saidus Syahrar,SH. 1986. Asas-Asas Hukum Islam. Alumni. Bandung
4.DR.H.Fathurrahman Djamil,MA.1987.Filsafat Hukum Islam. Logos wacana Ilmu. Jakarta
5. Joseph Schacht.1985. Pengantar Hukum Islam. DEPAG RI. Jakarta

Hukum Cambuk

Malaysia Berencana Gelar Konferensi Internasional

KOMPAS, Rabu, 24 Februari 2010 | 03:38 WIB

kuala lumpur, selasa - Pemerintah Malaysia berencana menyelenggarakan sebuah konferensi internasional tentang hukuman cambuk. Fokus bahasannya soal kelayakan hukuman itu menurut hukum agama di Malaysia, yang mengenakan hukum cambuk kepada perempuan.

Menteri Peranan Perempuan Shahrizat Abdul Jalil mengatakan hal itu di Kuala Lumpur, Selasa (23/2). Dia sedang menggalang dukungan dari kabinet untuk bisa menggelar konferensi itu. Dia akan mengundang para menteri dari negara berpenduduk mayoritas Islam.

Para akademisi dan ahli-ahli agama turut diundang untuk bertukar ide dan pengalaman dalam menerapkan hukum syariah. Dari para undangan diharapkan ada masukan penting bagi Malaysia dalam mengambil keputusan soal hukum yang sesuai dengan ajaran agama.

Pekan lalu, Malaysia mengumumkan bahwa otoritas penjara telah mencambuk tiga perempuan yang belum menikah pada tanggal 9 Februari. Mereka dikenai hukuman cambuk setelah Peradilan Syariah di Kuala Lumpur menyatakan mereka bersalah karena telah melakukan hubungan badan pranikah.

Pembela memprotes

Tiga wanita yang dicambuki itu dilaporkan telah mengakui kesalahan mereka kepada pihak berwenang. Sekarang mereka sedang hamil. Menurut media lokal yang dekat dengan pemerintah, ketiga perempuan itu menerima hukuman cambuk. Mereka mengatakan, hukuman fisik itu memberi mereka kesempatan untuk bertobat.

Pemerintah juga sudah menegaskan, hukum cambuk dengan menggunakan rotan itu mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada maksud untuk menyakiti perempuan secara fisik. Meski demikian, para aktivis dan kelompok pembela hak perempuan mengatakan, hukum cambuk itu sangat kejam, merendahkan, dan diskriminatif.

Wakil Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mendukung hukuman cambuk. Otoritas berwenang Malaysia hanya menggunakan tongkat rotan yang ringan untuk mencambuki punggung perempuan dalam kondisi berpakaian lengkap. Ketiganya menjadi perempuan pertama yang kena hukum cambuk.

Dua sistem peradilan

Selama ini di Malaysia belum ada hukum cambuk yang dikenai kepada perempuan. Hukum cambuk kepada pria Malaysia sudah lazim terjadi, terutama kepada pelaku kejahatan, seperti pemerkosa, pengedar narkoba, dan imigran gelap. Cambukan dengan tongkat rotan diarahkan ke bokong sehingga menyebabkan memar dan luka.

Malaysia berpenduduk sekitar 28 juta, dan 60 persen di antaranya pemeluk Islam. Negara ini memiliki dua sistem peradilan, sipil dan syariah. Hukum sipil tidak mencambuki perempuan dan anak-anak. Untuk masalah pribadi, orang Muslim menghadap ke peradilan syariah. Adapun hukum sipil ditujukan untuk kelompok non-Muslim, umumnya etnis China dan India. (AP/AFP/REUTERS/CAL)

Kamis, 18 Februari 2010

Kuliah 3

PEMIKIRIAN SOSIOLOGI TENTANG SOSIOLOGI HUKUM
Pada kuliah ketiga ini kita akan membahas tentang tokoh-tokoh sosiologi yang mempunyai sumbangan pemikiran terhadap sosiologi hukum dan melanjutkan film the Jury yang baru diselesaikan minggu lalu.

1.EMILE DURKHEIM
Karya Durkheim menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Ciri khas dari masyarakat tradisional ini adalah menghasilkan solidaritas mekanik bahwa solidaritas itu berdasarkan pada suatu tingkatan homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan lainnya. Homgneitas serupa hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim (Johnson, 1986).
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif, seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Dalam karyanya “The Division of Labour in Society” ini juga, Durkheim mencoba mengkaji perbedaan antara hukum dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik dan hukum dalam masyarakat dengan solidaritas organic (Cotteral, 1999). Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secra obyektif yang menimpa masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukukman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang atau tidanakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya. (Johnson, 1986)
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan soidaritas mekanik dibentuk oleh hukum represif. Karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Karena setiap orang merasakan pelanggaran itu dan sama-sama meyakini moralitas bersama, maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggarannya terhadap system moral kolektif. Pencurian akan melahirkan hukuman berat. Meskipuan pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat. (Ritzer, 2008)
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. (www.wikipedia.org). Masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif dimana seseorang yang melanggar hukum harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Hukum restitutif berfungsi untuk mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantugan yang komplek antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tipe sanksi yang diberikan kepada seorang tersangka misalnya bukan untuk memberikan efek jera, melainkan untuk memulihkan keadaan (Johnson, 1986)
Dalam masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap system moral itu sendiri. Karena kurangnya moral bersama, kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Para pelanggar hukum pada masyarakat organis akan dituntut membuat restitusi untuk siapa saja yang diganggu gugat kepentingannya. Meskipun dalam masyaerakat ini ada hukum represif akan tetapi hukum yang bersifat restitutif lebih menonjol (Ritzer, 2008)
Dalam system organic, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat. Sebagai hasilmnya hukum itu lebih besifat rasional, disesuaikan dengnparahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang kompleks itu, yang mendasaari solidaritas social. Pola restitutif ini jelas terlihat pada hukum-hukum pemilikan, hukum-hukum kontrak, hukum perdagangan dan pertaurana dministratif dan prosedur-prosedur.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri. (www.wikipedia.org)

CATATAN;
Perkembangan hukum yang berlaku di masyarakat menunjukan tingkat perkembangan masyarakat tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik mainstream. Hukum adalah manifestasi dari persoalan laten ekonomi dan politik suatu Negara. Menurut Durhekim pembagian kerja yang ada di masyarakat (tentunya ditnjau dari segi ekonomi) mempengaruhi solidaritas yang terbentuk dan hukum yang berlaku. Hukum represif untuk masyarakat mekanik dan hukum restitutif bagi masyarakat organic.
Kondisi berlakunya sutau hukum tertentu adalah tahap perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa hukum yang berlaku di suatu Negara tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan hukum yang belaku di Negara yang lain. Semuanya adalah proses, kesadaran dan kebutuhan bersama terhadap peraturan yang seharusnya ditaati oleh semua kelompok dalam masyarakat itu sendiri.
Pada perkembangan masyarakat kita, masyarakat tradisional (pedesaan) tidak selalu menerapkan hukum represif, justru ada yang restitutif dan pada masyarakat modern (perkotaan, dengan pembagian pekerjaan yang tinggi) tidak juga menerapkan hukum yang bersifat restitutif akan tetapi justru sebaliknya. Hal ini yang perlu menjadi catatan bahwa kedua karakter masyarakat tersebut masih menerapkan hukum yang bersifat represif (bersifat mengukum dan memberikan efek jera), tidak bersifat restitutif (memulihkan dan mencegah keadaan). Mengapa hal ini bisa terjadi, apakaah tahap perkembangan masyarakat kita adalah baru pada solidaritas mekanik ataukah hukum yang bersifat restutif itu utopia balaka ?

2. MAXILIAN WEBER
Weber merupakan tokoh yang sanagt berpeangaruh di sosiologi karena karyanya banyak dan bervariasi dapat ditafsirkan secara beragam sehingga sangat mempengaruhi banyak teori sosiologi. Karyamya mempengaruhi teori structural fungsional melalui Talcot Parson, karyanya juga dianggap penting bagi tradisi konflik dan teori kritis yang sama-sama dibangun oleh Marx dan Weber. Ahli interaksi simbolik juga dipengaruhi oleh Weber dengan teori verstehen. Kalangan teoritikal pilihan rasional pun juga dipengaruhi oleh Weber (Ritzer, 2008)
Pada awalnya studi Weber adalah ilmu hukum dan menjalani kerja akademik pertamanya juga di bidang hukum. Kemudian dia bergeser memiliki ketertarikan yang luar biasa pada sosiologi dan sejarah. Berkaitan dengan analisisnya tentang hukum, tidak bisa dipisahkan pendapatnya tentang tindakan social. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tidak lain untuk memfokuskan perhatian pada individu, pola, regularitas hukum dan bukan pada kolektivitasnya. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subyektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia individual. Weber tidak mengelak bahwa sosiologi tindakan pada akhirnya berkutat pada individu, bukan kolektivitas (Ritzer, 2008)
Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar;
1. Rasionalitas sarana-tujuan
Atau disebut tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia laian; harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan actor lewat upaya dan perhitungan yang rasional. (Ritzer,2008). Tingkat rasionalitas ini merupakan tahapan yang paling tinggi karena menyangkut pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang diperguankan untuk mencapainya. Individu dilhat sebagai seseorang yang mempunyai tujuan-tujuan yang mungkin didinginkannya dan atas suatu criteria menentukan satu tujuan diantara tujuan-tujaun yang saling bersaiangan. Individu yang menentukan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Pada akhirnya suatu pilihan dibuat dibuat atas dasar alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitasnya. Tindakan ekonomi pada system pasar merupakan bentuk dasar dari tindakan rasionalitas instrumental. Tipe tindakan ini juga tercermin pada organisasi birokratis yang ada saat ini. (Johnson, 1986)
2. Rasionalitas nilai
Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh atas kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religious atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya
3. Tindakan Afektual
Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor
4. Tindakan Tradisional
Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak actor yang biasa dan telah lazim dilakukan
Tindakan-tindakan social yang dilakukan oleh individu memperngaruhi bangunan dasar untuk struktur-struktur social yang lebih besar, mulai dari tungajtan hubungan social, ke tingkat keteraturan ekonomi dan social politik. Stabilitas keteraturan social yang abash tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja (uniformitas tidak diperkuat oleh sanksi eksternal) atau pada kepentingan diri individu yang terlibat. Sebaliknya keteraturan social didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-pertauran yang mendasari keteraturan itu sebagai sesutaui yang diterima dan atau yang diinginkan. Norma atau pertauran tersebut bisa berdasarkan hukum atau konvensi. Pembedaan diantara keduanya aalah bahwa hukum tersebut diperkuat oleh sutau badan khsusus, sedangkan konvensi didukung oleh tanggapan masyarakat di sekitarnya (Johnson, 1986)
Individu dapat menerima peraturan yang berlaku berdasarkan alasan yang berbeda-beda. Organisasi yang berbadan hukum, yang didirikan berdasarkan kepentingan kontraktual merupakan hubunagn yang asosiatif (rasional) bukan komunal (emosional). Perhatain Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan social yang abash, ini artinya bahwa keteraturan social dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu diterima sebagai sesuatu yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada dominasi atau mereka yang dominan.
Menurut Weber tiga dasar legitimasi yang digunakan untuk menggolongkan otoritas adalah sebagai berikut;
1. Otoritas Legal Rasional
Otoritas ini dianggap paling tertinggi tingkatannya, otoritas ini berdasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peratuuarn yang dibuat secara resmi dan ditaur sevcara impersonal. Orang yang mau melakukan otoritas ini karena dia memilki posisi social yang menurut peraturan yang sah dia didenisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi social yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai yang harus tunduk dalam bidang-bidang tertentu. Artinya peraturan berhubungan dengan posisi serupa itu, bukan dengan orang yang kebetulan menduduki posisi itu. Otoritas legal rasional ini diwujudkan dalam bentuk organisasi birokrasi (Johnson, 1986)
2. Otoritas Tradisional
Tipe otoritas ini berdasarkan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu sertablegitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimiliknya. Jadi alas an terpenting seseorang taat pada struktur otoritas adalah kepercayaan terhadap hal masa lalu yang selalu ada. Mereka menggunakan otoritas termasuk dalam satu kelompok status yang secara tradisional menggunakan otoritas atau yag mereka dipilih sesuai dengan pertauran yang berlaku. Hubunagn antara tokoh yang memilki otoritas dengan bawahannya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Weber menggolongkan tiga otoritas tradisional; gerontokrasi, patriarchalime dan patrimonialisme.
1. Gerontokrasi
Pengawasan berada pada pada orang-orang tua pada kelompok. Tidak memiliki staf administrasi
2. Patriarchalisme
Pengawasan pada tangan satu satuan kekerabatan (rumah tangga) yang dipegang oleh seorang individu tertentu yang memilii otoritas warisan. Memilki staf adminstrasi
3. Patrimonialisme
Memiliki staf administrasi yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpinnya. Pegawai-pegawai lahir di dalam administrasi rumah tangga si pemimpin. Para administrator pemerintaha dalah pelayan pribadi dan wakil-wakil pemimpin.
3. Otoritas Karismatik
Otoritas ini berdasarkan pada mutu luar biasa yang dimilki pemimpin itus ebagai seorang pribadi. Istilah charisma digunakan untuk menunjukan pada daya trik pribadi yang ada pada diri seorang pemimpin. Dalam penggunaan Weber, hal itu meliputi karakteristik-karakteristik pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menajdi pengikutnya. Dia juga menggunakan istilah ini untuk pemeimpin umat beragama yang kharismatik dimana dasar kepemimpinan mereka adalah keperayaan bahwa mereka memiliki suatu hubungan khusus dengan yang Ilahi atau malah mewujudkan karakteristik-karakteristil Ilahi tersebut. (Johnson, 1986)
Tidak seperti system otoritas tradisionalda n legal rasional, kepemimpinan karismatik tidak diorientasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Kalau otoritas tradisional diorientasikan untuk mempertahankan status quo, kepemimpinan karismatik biasanya menantang status quo. Pemimpin karismatik mengemukakan pesannya dengan rumusan tegas. Gerakan social yang dipimpin secara kharismatik bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah yang biasanya muncul di luar kerangka kehidupan sehari-hari yang biasa dan dalam semangatnya bertentangan dengan apa yang rutin dalam kehidupan yang biasa tersebut. (Johnson, 1986)

CATATAN;
Sumbangan pemikiran Weber pada sosiologi hukum adalah tahap perkembangan masyaraakat yang mencerminkan bagaimana hukum itu berlaku. Pada masyarakat yang memiliki tindakan rasional dipengaruhi oleh otoritas tradisional, nilai dan kharismatik tentunya hukum yang berlaku berbeda dengan tahapan masyarakat yang memiliki rasionalitas sarana tujuan. Pada masayarakat ini bukan lagi konvensi dan hukum lisan yang berfugsi untuk menegakan peraturan dalam masyarakat, akan tetapi yang berlaku adalah hukum positif seperti yang kita kenal saat ini, yang produknya berupa undang-undang.
Birokrasi seperti yang kita kenal saat ini dalam berbagai macam bentuknya ataupun system ekonomi kapitalisme yang kita kenal memerlukan suatu regulasi yang tegas, teratur dan mengatur system keteraturan social secara rapi. Bentuk-bentuk organisasi social seperti ini ataupun tahapan masyarakat yang legal dan rasional ini merupakan kondisi yang tepat untuk berlakunya hukum positif.

3.TALCOTT PARSON
Struktural fungsional merupakan aliran sosiologi yang dominan pada awal abad ke-19 dengan tokoh yang tokohnya Talcot Parson dan Robert Merton. Kingsley Davus mengatakan bahwa dalam hal maksud dan tujuan, fungsionalisme structural sinonim dengan sosiologi. Dalam fungsionalisme structural, istilah structural dan fungsional tidak boleh digunakan secara bersamaan, meskipun kedua-duanya adalah satu kesatuaan. Kita dapat mempelajari struktur-struktur masyarakat tanpa membahas fungsinya (atau konsekuensi-konsekuensinya) baagi struktur lain. Senada dengan itu kita dapat menelaah fungsi dari berbagai proses social yang mungkin saja tidak berbentuk structural. Meskipun fungsionalisme structural memiliki beragam bentuk. Fungsionalisme masyarakat adalah pendekatan dominan dinatar para fungsionalis structural social (Ritzer, 2008)
Menurut focus ini, isu fungsional utamanya adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan orang-orang pada posisi tepat dalam system stratifikasi, yang dapat dikerucutkana menajdai daua maslaha; 1). Bagaimana masyarakat memasukan hasrat untuk memasukai posisi tertentu pada individu-individu yang tepat. 2) begitu orang-orang pada posisi yang tepat, bagaimana masyarakat memberikan hasrat untuk memenuhi persyaratan-persyaratan posisi tersebut. Fungsionalisme structural Parson ini mempunyai 4 imperatif fungsional bagi system tindakan, yakni skema AGIL; fungsi adalah suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan system. Empat imperative fungsional yang diperlukan adalah A (adaptation)-adaptasi, G (goal attainment)-pencapaian tujuan; I (integration)-integrasi dan L 9Latency)- pemeliharaan pola. Agar sebuah system bisa berjalan dan bertahan hidup, maka keempat imperatif fungsional tersebut harus berjalan bersama-sama;
1. Adaptasi, system harus mengatasi kebutuhan situasional yang dating dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Pencapaian Tujuan, sistemharus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya
3. Integrsi, system harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menadji komponennya, ia pun harus mengatur antara ketiga imperative fungsional tersebut
4. Latensi (pemeliharaan pola), system harus melengkapi, memelihara dan memperbari motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahan motivasi.
Dalam analisis structuralnya Parson lebih banyak mengkaji tentang system social pada skala makro, yakni kolektivitas, nirma dan nilai. Pada analisis sistemnya, dia juga seorang fungsionalis dengan prasyaratnya sebagai berikut;
1. Sistem harus terstruktur sehingga dapat beroperasi secara baik dengan system yang lain
2. Agar bisa bertahan hidup, system harus didukung oleh system yang lain
3. System harus secara signifikan memenuhi kebutuhan-kebutuhan aktornya
4. System harus menimbulkan partisipasi yang memadai dari anggota-anggotanya
5. Sistem harus mempunyai control yang minimum terhadap perilaku yang merusak
6. Jika konflik mmejadi sesuatu yang menimbulkan kerusakan signifikan, ia harus dikontrol. (Ritzer, 2008)

Pada akhirnya system memerlukan bahasa dan regulasi untuk menjalankan fungsinya


CATATAN;
Struktural fungsionalisme mensyaratkan beberapa hal agar dapat terwujud system social yang bisa berjalan sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Sistem social tersebut memerlukan aturan (hukum) yang berfungsi untuk menggerakan roda-roda system agar berjalan dengan baik. Secara eksplisit Parson memang tidak memberikan sumbangan pada sosiologi hukum, akan tetapi hanya secara global memberikan pendapat bahwa system social yang dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya memerlukan prasyarat memperhatiakn system yang lain sehingga berjalan seirama dengan harmoni kehidupan. Hukum itu lah yang diiperlukan untuk menciptakan sebuah system social yang rapi, teratur dan ada mekanisme keseimbangan dengan system yang lain. Alat control apabila terjadi konflik yang berada dalam system itu pula yang disebut dengan hukum yang sangat diperlukand alam masyarakat.

MOGA BERMANFAAT
KITA DISKUSIKAN HARI SENIN DI KELAS YA……….

Minggu, 14 Februari 2010

Nenek Minah Tak Curi Cokelat!

KOMPAS; Senin, 15 Februari 2010 | 02:33 WIB

Oleh Soetandyo Wignjosoebroto

Pada suatu hari di bulan Agustus 2009 seorang nenek tua dari Dusun Sidoharjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, memanen kedelai di lahan garapannya. Berbatasan dengan sebuah kebun cokelat milik PT Rumpun Sari Antan, si nenek bernama Minah itu melihat pohon-pohon cokelat yang banyak berbuah. Ia memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu meletakkannya di tempat. Tak ada maksud padanya untuk menyembunyikannya dan tidak pula ada maksud di benaknya untuk membawanya pergi.

Perbuatan si nenek diketahui mandor kebun. Ditanyai mandor, ia mengaku bahwa dialah yang memetik karena menginginkan bibitnya. Mandor mengingatkan si nenek, perbuatan seperti itu bisa dianggap mencuri. Nenek Minah minta maaf dan membiarkan buah kakao yang dipetiknya itu ”disita” mandor.

Sepekan kemudian, Nenek Minah dipanggil dan diperiksa polisi di Polsek Ajibarang. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan Nenek Minah sepenuhnya memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP yang secara legal-formal harus dibilangkan sebagai tindak pencurian. Tanpa menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, Nenek Minah yang tak hanya buta huruf, tetapi juga buta hukum dan buta hak mengiyakan saja apa yang ditulis polisi dalam BAP-nya dan apa yang ditulis jaksa dalam surat tuntutannya.

Ia disidang tanpa didampingi pengacara. Dia tak mengetahui hak-haknya sebagai tersangka. Dia tak tahu liku-liku acara pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal dalam bahasa Indonesia; notabene itu bukan bahasa yang dimengerti si nenek yang sepanjang hidup tinggal di desa pengguna bahasa Jawa. Ia mengaku sangat lelah berurusan dengan polisi, jaksa, dan pengadilan. Dia harus ulang-alik dari rumah ke kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer, dan terpaksa mengutang uang angkot kepada tetangga.

Pada akhir drama ini ia dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Dinyatakan bersalah, ia dipidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan. Putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa yang mohon agar hakim memidana si nenek dengan pidana penjara enam bulan. Nenek Minah menerima putusan hakim, bukan karena dia menganggap putusan hakim itu adil atau tak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan dengan hukum yang berlaku di negeri ini. Berbeda dengan Nenek Minah, jaksa belum mau menerima putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutannya, dan oleh sebab itu jaksa menyatakan masih akan pikir-pikir untuk berkonsultasi dulu dengan Kajari.

Di mana keadilan?

Ketika putusan dibacakan, dan diketahui bahwa Nenek Minah memperoleh hukuman percobaan lebih ringan dari tuntutan jaksa, dan karena itu dapat segera pulang, hadirin yang memadati ruang pengadilan bersorak dan bertepuk tangan. Sejumlah orang mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang, yang diberikan kepada nenek itu untuk bekal pulang. Tak jelas apakah itu merupakan tengara kemenangan ”rasa keadilan” (yang bermukim di relung sanubari para hadirin) atas hukum UU yang lugas dan buta nilai.

Dewasa ini, polemik di tengah masyarakat antara para ahli hukum dan khalayak awam pemerhati kehidupan hukum dalam soal luas sempitnya konsep ”hukum” telanjur marak, dan berkaitan dengan soal ini juga isu keadilan. Para ahli hukum berkeyakinan bahwa keadilan hanya bisa ditemukan dalam rumusan hukum undang-undang nasional yang berlaku untuk siapa pun tanpa pandang bulu. Inilah keadilan dengan sebutan legal justice yang akan mampu menjamin kepastian tiadanya perlakuan diskriminatif. Sementara itu, khalayak ramai berkeyakinan bahwa keadilan merupakan substansi moral yang tak mungkin diakomodasi di dalam hukum UU yang berlaku umum untuk siapa pun tanpa kecuali. Lagi pula, hukum UU itu nyatanya dibentuk oleh wakil-wakil dari golongan yang umumnya berkedudukan sosial-ekonomi mapan, dan bukan dari golongan mereka yang masih rawan.

Mana pernah UU perburuhan mengakomodasi pertama-tama kepentingan kaum buruh yang tak pernah memenangi satu kursi pun di parlemen. Mana pernah UU agraria ikut dirancang parlemen dengan membukakan akses kepada petani tak bertanah untuk ikut menggaungkan suaranya di situ? Adakah insan-insan miskin pedesaan semacam Nenek Minah bisa ikut membidani UU hukum pidana yang berlaku, yang hampir setengah dari pasal- pasal tentang kejahatan dimaksudkan untuk melindungi hak milik kaum berpunya, dan tidak untuk memfungsikannya demi kepentingan orang tak berpunya?

Ahli hukum, khususnya para pekerja hukum yang menganut paham legisme, yang berpendapat ”tidak ada hukum kecuali yang sudah pernah diundangkan dan belum dicabut berlakunya”, umumnya lebih nyaman bekerja berdasarkan ”apa bunyi kata-kata UU”.

Sementara, khalayak ramai, yang disokong oleh pemikiran para akademisi yang progresif, amat berkeyakinan bahwa hukum yang berkeadilan itu adalah hukum nasional yang dalam terapannya dari kasus ke kasus mampu menyapa kaidah-kaidah moral yang berlaku setempat, masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat. Masih ada langit di atas langit, masih ada hukum (moralitas) di atas hukum (UU yang berjejuluk hukum positif, there is law beyond law, kata RonaldDworkin!

Hukum rakyat

Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum”, yang di dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Di sini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Boleh dipersoalkan di sini, hukum mana yang sebenarnya dalam kasus-kasus pidana itu yang dilanggar. Hukum UU yang tertulis itu, ataukah hukum rakyat yang masih berlaku di locus delicti (tempat kejadian perkara); atau hukum yang di dalam kepustakaan hukum sering dikenali dengan istilah living law, atau yang di Inggris diistilahkan dengan law of the country.

Maka, apabila persoalan wederechtelijk dan law of the country ini diangkat dalam persoalan Nenek Minah dan kakaonya, sebenarnya tidaklah ada unsur pidana dalam perbuatan Nenek Minah ini. Nenek Minah tidaklah dapat dikatakan sebagai pencuri yang mencuri. Menurut hukum rakyat setempat, yang namanya mencuri itu apabila barang yang diambil tersebut dibawa pergi dan disembunyikan, dan tidak cuma dipetik dan diletakkan di tempat.

Undang-undang hukum pidana dalam teks aslinya pun sebenarnya menyebutkan bahwa hanya orang yang ”een goed ... wegneemt” yang harus disebut pelaku pencurian. Wegneemt berasal dari kata dasar wegnemen, yang berarti mengambil dan membawanya pergi. Kita ingat, Nenek Minah tidak melarikan kakao yang dipetiknya itu. Nenek Minah tidak mencuri! Polisi, jaksa, dan bahkan hakim harus bertindak cermat dalam hal ini agar tak berlaku aniaya kepada hamba-hamba Allah yang belum beruntung.

Soetandyo Wignjosoebroto Pengamat Sosiologi Politik Universitas Airlangga

Rasa Keadilan Masih Tersisih Masyarakat Miskin Semakin Tidak Berdaya

KOMPAS; Senin, 15 Februari 2010 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Wajah Aris (13) tampak memelas. Kulit hitamnya menunjukkan bahwa ia hidup di jalanan. Meski masih belia, Aris bakal melalui masa remajanya di dalam sel Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, Banten. Ia dihukum lima tahun penjara karena terbukti mencuri telepon genggam dua bulan lalu.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, yang bertemu Aris di LP Anak Tangerang, pekan lalu, terperanjat. Ia tidak menduga Aris yang belia dihukum berat walau hanya mencuri sebuah telepon genggam. ”Ia akan menghabiskan masa remajanya di penjara. Ini sangat memprihatinkan,” kata Patrialis.

Dalam kunjungan sebelumnya di LP Anak Tangerang, Desember 2009, Patrialis juga menemukan empat anak berusia 10 tahunan dihukum 3-4 tahun karena terlibat berbagai kejahatan. Padahal, semestinya anak-anak itu tak perlu menjalani hukuman di penjara, dan dikembalikan kepada orangtuanya.

Menurut sosiolog Kastorius Sinaga di Jakarta, Minggu (14/2), cerita anak-anak yang terpaksa mendekam di penjara itu kian menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan rakyat miskin di negeri ini. Aris dan kawan-kawan adalah korban penerapan hukum yang mengabaikan rasa keadilan.

Ia membandingkan hukuman bagi Aris dengan Robert Tantular, pemilik Bank Century, yang juga dihukum lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan, di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Robert sebelumnya dihukum empat tahun penjara.

”Kita perlu benar-benar mendesak agar penegakan hukum di negeri ini dapat memberikan rasa keadilan, menimbulkan efek jera, dan memberikan jaminan kepastian hukum,” tutur Kastorius, yang juga Direktur Eksekutif Centre for Information and Law Economic Studies itu.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Minggu, secara terpisah di Jakarta, mengaku pula sangat prihatin terhadap sejumlah peristiwa hukum yang belakangan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat. Cerita pemidanaan terhadap ”kenakalan” anak di Surabaya atau hukuman bagi Nenek Minah yang diduga mencuri kakao terjadi saat penegak hukum menerapkan hukum seperti apa yang tertulis. Penegak hukum berperilaku seperti itu terutama saat berhadapan dengan pelanggar dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Sementara pada pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun memiliki akses pada kekuasaan, penegak hukum tidak melakukan hal serupa, bahkan cenderung mengatur sedemikian rupa supaya hukum bisa lebih menguntungkan bagi pelanggar jenis itu.

Dalam pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahfud mendesak penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum. ”Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika orang kecil yang berurusan dengan hukum, aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal. Seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke pengadilan,” ujarnya.

Namun, jika pelaku adalah orang mampu atau memiliki akses ke kekuasaan, unsur dalam undang-undang coba disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan tindak pidana itu. Akibatnya, terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendara sepeda motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya. Padahal, ia juga korban kecelakaan itu. Rasa keadilan masyarakat juga terluka.

”Apalagi saat melihat dalam kasus besar, yang jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, penegak hukum malah sibuk bicara soal unsur hukum formal, yang katanya belum terpenuhi, sehingga kasus besar itu tak kunjung selesai,” ujarnya.

Patrialis juga berkeinginan hukum substantif ditegakkan di negeri ini. Anak-anak yang berusia 10 tahun tidak semestinya dipenjara, apalagi jika kejahatan yang dilakukannya tidak mengancam keselamatan orang lain.

”Saya juga prihatin, ada nenek yang sudah sakit-sakitan masih harus masuk lembaga pemasyarakatan,” paparnya. Padahal, semestinya mereka bisa tak perlu menjalani hukuman di penjara.

Tajam ke bawah

Senada, guru besar ilmu hukum Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Agnes Widanti, mengakui, masyarakat miskin semakin tak berdaya saat berhadapan dengan hukum. Penegak hukum dengan mudahnya menjatuhkan hukuman kepada masyarakat miskin yang terbukti bersalah tanpa melihat konteks mengapa hal itu terjadi.

Agnes mengakui, saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apa pun, seperti orang miskin, dengan mudahnya dijerat.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Siti Rakhma Mary Herwati menambahkan, hukum saat ini cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang.

Menurut Rakhma, harus ada keadilan yang dirasakan rakyat saat berhadapan dengan hukum. Namun, kenyataannya, hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin.

Dalam hukum progresif, seharusnya penegak hukum tidak hanya berlaku normatif. ”Ada kalanya penegak hukum harus mendengar hati nuraninya. Kasus Minah yang mengambil tiga kakao misalnya, hakim tak perlu menangis. Keyakinan hakim bisa digunakan untuk membebaskan seseorang,” ujar Agnes lagi.

Rakhma menambahkan, negara lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan.

”Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial,” ujar Rakhma.

Dari kasus yang ditangani LBH Semarang, kasus pencurian kapuk randu di Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, dengan terdakwa Manisih (39), Sri Sumarti (19), Juwono (16), dan Rusnoto (14), sebagai contoh. Keempatnya akhirnya dihukum 24 hari penjara karena dinilai terbukti mencuri 14 kilogram randu senilai Rp 12.000. Padahal, yang mereka lakukan adalah nggresek (mengambil sisa panen) yang menjadi tradisi masyarakat setempat.(DWA/UTI/TRA)

Sabtu, 13 Februari 2010

Polisi Berusaha Menjadi Mediator

KOMPAS; Kamis, 11 Februari 2010 | 04:24 WIB

Serang, Kompas - Polisi sejak awal berusaha menjadi mediator agar kasus pencurian sehelai kaus di Kampung Sisipan, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, selesai. Kasus itu menyeret Aspuri sebagai terdakwa. Tujuan mediasi agar kasus itu bisa diselesaikan dengan musyawarah.

Namun, pihak pelapor bersikeras melanjutkan kasus itu sehingga kasus tersebut akhirnya naik sampai ke kejaksaan hingga persidangan di pengadilan.

Demikian penjelasan Kepala Kepolisian Sektor Kasemen Ajun Komisaris Edi Haidir di Serang, Provinsi Banten, Rabu (10/2).

”Kami tidak bisa menolak ketika pihak pelapor keukeuh (bersikukuh) untuk melanjutkan kasus,” kata Edi.

Menurut Edi, selama ini polisi beberapa kali mampu memediasi suatu perkara yang ringan sehingga tak harus berlanjut sampai ke pengadilan. Namun, pada kasus pencurian kaus dengan terdakwa Aspuri itu, upaya mediasi tidak berhasil.

Edi mengatakan, polisi menangani kasus pencurian sehelai kaus itu sesuai prosedur, termasuk melengkapi berkas. Apabila polisi menolak memproses laporan tersebut, pelapor dapat mempersoalkan polisi. Apalagi, kalau dalam kasus itu ditemukan ada barang bukti, kesaksian yang cukup, dan pengakuan tersangka.

Jaksa Ratna yang menangani kasus pencurian kaus dengan terdakwa Aspuri di Kejaksaan Negeri Serang, Selasa (9/2), menuturkan, kejaksaan pun tidak bisa menolak ketika berkas perkara yang diserahkan dari kepolisian sudah lengkap.

Aspuri dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun. Selama menjalani proses hukum kasus pencurian kaus itu, Aspuri mendekam di tahanan selama 2,5 bulan.

Tiga penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Banten, yakni Chudari, Damri Sitompul, dan Rusdi Holid, mendampingi Aspuri. Mereka mendampingi Aspuri sejak yang bersangkutan menjalani sidang kedua dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, Senin.

Dalam persidangan itu, Damri Sitompul mengatakan, hukum harus ditegakkan, tetapi harus memerhatikan asas keadilan.

Di kantornya, Rabu, Rusdi Holid menuturkan, selain pertimbangan yuridis formal, penanganan suatu kasus juga harus mempertimbangkan aspek lainnya, seperti aspek kemanusiaan dan sosial.

Rusdi mengatakan, dalam kasus pencurian kaus yang didakwakan kepada Aspuri, sebenarnya tidak perlu sampai dilakukan penahanan. Aspuri cukup dihadirkan setiap kali persidangan. ”Penahanan memang dimungkinkan apabila secara hukum memenuhi, tapi aspek kemanusiaan juga harus dipertimbangkan. Menurut saya, untuk kasus pencurian selembar kaus tidak perlu sampai ditahan,” katanya.

Penahanan Aspuri selama lebih dari 2,5 bulan terakhir menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa bekerja. Biasanya, setiap hari Aspuri bekerja sebagai buruh tani.

Pada Senin depan, Aspuri akan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Serang dengan agenda penuntutan.

Ujang, ayah angkat Aspuri, mengatakan, mereka sekeluarga akan ikut menghadiri sidang tersebut. Mereka ingin memberikan dukungan moral kepada Aspuri.

Beberapa tetangga Aspuri mengatakan, Aspuri selama ini dikenal sebagai anak yang sopan, cenderung pendiam.

”Anaknya biasa-biasa saja, enak diajak bergaul,” kata Suhendar, teman Aspuri.

Tetangga lain, Wati, menjelaskan, pada malam hari, Aspuri rajin membimbing anak-anak kecil di desanya mengaji.

Mekanisme alternatif

Kepala Urusan Bina Operasi Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Serang Inspektur Satu Anang Jhuswandi menjelaskan, upaya mediasi melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa termasuk salah satu langkah untuk mengarah ke penegakan hukum yang berkeadilan.

Upaya itu untuk menyelesaikan kasus-kasus mudah dengan kerugian kecil. ”Langkah ini melibatkan tokoh masyarakat juga pihak yang berperkara. Mereka bermusyawarah,” kata Anang.

Pada 7 November 2009, Kepolisian Sektor Kasemen menerima laporan hilangnya beberapa barang di rumah Dewi yang lama kosong di Kampung Sisipan. Pada 13 November 2009, polisi menangkap Boin, warga Kampung Sisipan. Barang bukti berupa VCD, kipas angin, dan bingkai foto, yang bernilai total Rp 500.000.

Untuk Aspuri, barang bukti berupa satu kaus motif belang- belang seharga Rp 80.000. Perkara Boin dan Aspuri ini disusun dalam berkas terpisah karena peristiwanya tidak bersamaan. (CAS)

Jumat, 12 Februari 2010

Kuliah 2

MEMAHAMI SOSIOLOGI HUKUM

Pada Kuliah kedua ini kita akan memabahas;
1. Film “The Jury” adalah gambaran dari praktek peradilan di Amerika yang menerapkan aliran Realisme
2. Pengertian, ruang lingkup, obyek kajian Sosiologi Hukum

1.PENGERTIAN SOSIOLOGI HUKUM
Sebelum kita membahas tentang apa itu sosiologi hukum, kita perlu menguraikan dua ilmu pengetahuan yang berbeda tersebut, yakni sosiologi dan hukum. Mengingat sosiologi hukum tersebut seolah-olah berasal dari dua hal yang berbeda dan digabungkan menjadi satu ilmu pengetahuan yang baru yang akan kita pelajari selama satu semester ini, yakni sosiologi hukum.
Sosiologi merupakan cabang sosial science. Menurut J. Bierrens de Haan; Sosiologi adalah ilmu tentang pergaulan hidup atau ilmu yang menyelidiki masyarakat dari sudut pergaulan; Prof. Djojodiguno; sosiologi memiliki sasaran untuk mempelajari hidup bermasyarakat ; Lester F. Ward dan William Summer; sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Emile Durkheim; sosiologi adalah ”the sciences of institutions”. George Simmel; sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari human relationships ; M. Kovalevsky; sosiologi adalah “the science of sosial organization and sosial change” (Adham Nasution, 1983 :1); Pitirim A. Sorokin; “sosiology is a generalizing science of socio kultural phenomena viewed in their generic form, types and manifold interconection” (P.A.Sorokin, 1974:1)
Sementara itu hukum adalah norma dan kekuasaan yang sengaja dibuat oleh pemerintah (datang dari atas) dengan tujuan untuk mengubah masyarakat. Hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. UMUM karena berlaku bagi setiap orang. NORMATIF karena menentukan apa yang seharusnya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan, serta pelaksanaannya. Hukum yang dimaksud adalah hukum positif.
Perbedaan Sosiologi dan Hukum adalah sebagai berikut; Sosiologi adalah sebuah ilmu yang tidak normatif, bebas nilai dan netral, teori kemungkinan, pendekatan masalah adalah fakta-fakta sosial saat ini dengan perspektif masa depan, obyek studi masyarakat secara kolektif, kajian bersifat deskriptif (menjelaskan), menganalisis bahwa das sollen tidak sesuai dengan das sein, putusan yang bersifat kompromistis, pilihan satu diantara dua atau tiga pilihan dengan hipotesisnya masing-masing.
Sedangkan Hukum berisikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (normatif), pendekatan masalah adalah fakta-fakta sosial saat ini dan masa lalu yang bisa dibuktikan kebenarannya, obyek studi adalah individu di dalam masyarakat. Kajian hukum bersifat preskriptif (mengharuskan/memerintah), kaedah hukum lebih mementingkan das sein (apa yang seharusnya terjadi) daripada das sollen (apa yang senyatanya terjadi), putusan hakim bersifat ini, itu atau tidak sama sekali.
Mengapa sosiologi mempelajari hukum atau hukum juga mempelajari ilmu sosial ?
Sosiologi berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung di dalam satu jaringan atau sistem sosial di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 1987;4) dan Pandangan sosiologi; hukum adalah gejala sosial (terkait, setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan). Ditinjau dari hukum, adanya hakekat sosial hukum dari tata hukum. Hukum lahir sebagai proses sosial, Hukum sebagai sosial control atau alat pengendalian sosial, Menurut Roscoe Pound, hukum as tool of sosial engineriing (sarana pembaharu dalam masyarakat). Apabila digambarkan relasi kedua ilmu tersebut adalah sebagai berikut;

Ilmu Hukum Sosiologi







Berdasarkan bagan tersebut diatas, hubungan antara ilmu hukum dan ilmu sosial tidak bisa dipisahkan karena keduanya mempuanyai hubungan yang erat dengan subyek dan obyek pembahasan yakni masyarakat. Ilmu hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat karena adanya living law dan ilmu sosial sendiri pun juga menganalisis tentang fenomena sosial masyarakat. Sehingga sosiologi hukum sebagai sebuah ilmu sangat diperlukan untuk menganalisis bekerjanya hukum di masyarakat.
Sosiologi hukum diperkenalkan pertama kali oleh Anzilotti, tahun 1882. Sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi yaitu merupakan penerapan pendekatan sosiologis terhadap realitas ataupun masalah-masalah hukum. Sosiologi hukum bukan cabang studi ilmu hukum. Cabang ilmu hukum yang berkaitan dengan sosiologi adalah sociological jurisprudence, yakni sebuah studi tentang karakteristik khusus dari ketertiban hukum. Pandangan ini lahir dari seorang ahli hukum yang mengamati masyarakat. Hal ini artinya ada semangat dari para juris untuk menganalisis dari segi sosialnya. Pandangan sosiologi hukum seperti ini pernah digunakan oleh Oliver W. Holmes (penganut aliran Realismea).
Sociological Jurisprudence adalah cabang dari ilmu hukum, disebut kajian yuridis normatif, cabang dari ilmu normatif, mempelajari bagaimana agar hukum menjadi efektif, proses pada logika (logic), pilihan praktis, tujuan dan pengambilan keputusan (decision) serta berdasarkan nilai subyektif.
Menurut definisi dari beberapa Ilmuwan tentang Sosiologi hukum adalah sebagai berikut; 1) suatu ilmu teoritis yang berisikan generalisasi tentang fenomena masyarakat, sejauh yang menyangkut dengan substansi, aplikasi, dan akibat dari suatu aturan hukum (J.Hall); 2) suatu studi tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial (Roscoe Pound); 3) sosiologi jiwa manusia yang mempelajari realitas sosial dari hukum secara lengkap, dimulai dari pengungkapan yang dapat diobservasi yang bersifat esternal dan dapat berwujud,dalam suatu sikap kolektif yang efektif dan didasari atas dasar-dasar materiil (George Gurvitch); 4) cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya (Soerjono Soekanto); 5) ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis (R.Otje Salman); 6) pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya, dengan karakteristik sebagai berikut;
1. bertujuan memberi penjelasan tentang praktik hukum, baik oleh hakim maupun dalam masyarakat. 2. Menguji keabsahan empiris dari suatu aturan hukum. 3. tidak melakukan penjelasan tentang hukum (Satjipto Rahardjo). Menurut Satjipto untuk mengetahui pemahaman sosiologi hukum untuk memotret gejala hukum dapat dengan mengajukan pertanyaan berikut ini;
1. Apakah hukum benar-benar mewujudkan kaidahnya dalam fakta masyarakat?
2. Apakah benar bahwa hukum itu mengatur masyarakat atau rakyat?
3. Apakah hukum menimbulkan efek sebagaimana yang dikehendaki hukum tersebut atau yang ditimbulkan justru efek yang berbeda atau tidak menimbulkan efek sama sekali?
4. Kalaupun ada efek yang ditimbulkan, apakah memang efek tersebut ditimbulkan oleh hukum?
5. Mengapakah hukum menjadi seperti itu, apa tidak ada pengaturan alternatif yang lain atau memang harus begitu?

MODEL KAJIAN HUKUM
Metode kajian sosiologi hukum dapat dikategorikan sebagai berikut, yakni;
1. Kajian Konvensional
Lebih menitikberatkan pada kontrol sosial yang dikaitkan dengan konsep sosialisasi (menjadikan individu sadar akan eksistensi aturan hukum di dalam pergaulan masyarakat)
2. Kajian Kontemporer
Pengkajian masalah-masalah yuridis empiris atas hukum dalam masyarakat yang heterogen dan multikultur

OBYEK KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM
 Sosiologi hukum berobyekan hukum
- Mengamati tentang hukum positif
 Sosiologi hukum berobyekan para pelaku hukum
- Mengamati para pelaku/penegak hukum (polisi,hakim/judge,jaksa/atternoy,advokad/lawyer)
 Sosiologi hukum berobyekan pendapat orang mengenai hukum
- Mengamati pandangan masyarakat terhadap para penegak hukum



CONTOH KAJIAN OBYEK SOSIOLOGI HUKUM
 Hukum dan sistem sosial
 Hukum dan kekuasaan
 Hukum dan negara
 Hukum dan ekonomi
 Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
 Struktur sosial dan hukum
 Hukum sebagai simbol
 Modernisasi hukum
 Kesadaran hukum dan perasaan hukum
 Hukum,kapitalisme,sosialisme,dan marxisme
 Hukum dan globalisasi
 Konflik sosial dan musyawarah
 Konsep stratifikasi
 Hukum dan ketidakadilan
 Kepastian dan kesebandingan hukum
 Efektivitas hukum
 Penerapan hukum di kepolisian dan kejaksaan
 Kontrol sosial melalui hukum
 Profesi hukum
 Pendidikan hukum
 Perbed aan antara das sollen dan das sein
 Fungsi hukum dalam membangun masyarakat
 Persamaan dan perbedaan antarsistem hukum

LETAK DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM
 Dasar-dasar sosial atau basis sosial dari hukum
misalnya : hukum nasional di Indonesia, dasarnya Pancasila, dengan ciri-cirinya;gotong royong,musyawarah,dll
 Efek-efek hukum terhadap gejala sosial lainnya
misalnya; Undang-undang perkawinan terhadap gejala kehidupan rumah tangga, Undang-undang Pilkada terhadap gejolak politik

GEORGE GURVITCH, membagi Sosiologi Hukum;
1. Sosiologi hukum Sistemik
mempelajari hubungan kenyataan sosial dan berbagai jenis hukum, dimulai dengan klasifikasi terhadap masyarakat
2. Sosiologi hukum Genetik
mempelajari keteraturan sebagai kecenderungan perubahan bagi perubahan setiap tipe hukum dan mempelajari faktor yang menyebabkan transformasi dari keteraturan terhadap hukum
3. Sosiologi hukum Diferensial
dimulai dengan mempelajari klasifikasi terhadap bentuk-bentuk kelompok masyarakat atau unit-unit kolektif

TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM
1. Teori Klasik
- Dipelopori oleh Eugen Ehrlich, dengan konsep living law
- Tempat hukum dan berkembangnya hukum bukanlah undang-undang atau doktrin, melainkan dalam masyarakat
2. Teori Makro
- Dikembangkan oleh Max Weber dan Durkheim
- Adanya keterkaitan hukum dan bidang-bidang lain di luar hukum, seperti ekonomi,budaya dan politik kekuasaan
3. Teori Empiris
- Hukum dapat diamati secara eksternal hukum dengan mengumpulkan berbagai data dari luar hukum yang disebut perilaku hukum (behaviour of law), yang memunculkan dalil-dalil tertentu,misalnya;
1. Jumlah hukum meningkat seiring dengan menurunnya kontrol sosial di luar hukum
2. Hukum mempunyai korelasi dengan jarak sosial (keintiman di masyarakat)
3. Hukum berkorelasi dengan status orang yang menggunakan hukum
4.Jumlah peraturan bagi masyarakat yang berstatus tinggi lebih tinggi daripada yang berstatus rendah
4. Teori Sibernetika
- Pelopor Talcot Parson, dengan teori struktural fungsional
- Membagi masyarakat menjadi beberapa subsistem (budaya-hukum,sosial,politik,dan ekonomi)
- Sektor hukum berada dalam budaya, yang berfungsi melakukan integrasi diantara proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat sehingga tercapai ketertiban

Pengaruh Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum terhadap Sosiologi Hukum;
1. Aliran Ilmu Alam (Aristoteles)
- hukum dan moral
- kepastian hukum dan keadilan
2. Madzab Formalisme (Hens Kelsen)
- logika hukum
- fungsi kekekalan dari hukum
- peranan petugas hukum
3. Madzab Sejarah dan Kebudayaan (Von Savigny)
- kerangka budaya dari hukum
- hukum dan perubahan sosial
4. Madzab Utilitarianisme dan Sosiological Jurisprudence (Roscoe Pound)
- Konsekuensi sosial dan hukum
- Klasifikasi tujuan makhluk hidup dan tujuan sosial
5. Madzab Sosiological Jurisprudence dan Legal Realism (Holmes)
- hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
- masalah hukum dan kebijakan hukum
- faktor politis dan kepentingan dalam hukum
- segi peri kemanusiaan hukum
- telaah mengenai putusan pengadilan dan pola perilakunya

LATAR BELAKANG LAHIRNYA SOSIOLOGI HUKUM
Sepanjang abad ke-19 dunia hukum dipengaruhi paham formalisme; hukum adalah ilmu pasti dan yang menjaddi tokoh sentralnya adalah Langdell. Sosiologi hukum sebagai sebuah ilmu berkembang pada abad ke-20, pasca PD IIdengan banyaknya permasalahan rasial. Artinya bahwa pelaksanaan hukum positif selama ini tidak menggunakan azas keadilan, akan tetapi lebih memberlakukan penghukuman terhadap masyarakat kulit hita daripada kulit putih.
Donald Black, seorang sosiolog hukum dari Amerika mengatakan bahwa abad ke-20 adalah abadnya sosiologi (the age of sociology) (Satjipto, 2002). Gerakan hukum yang bersifat sosiologis ini mengembangkan dasar-dasar intelektual dan teoritikal terhadap sosiologi hukum. Gustav Radburg mengindikasikan pentingnya pendekatan masyarakat pada sektor hukum. Menurutnya ada tiga nilai hukum; keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum, yang mana dalam kegunaan dari hukum tersebut menyebabkan studi tentang manfaat hukum bagi masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan. Berkaitan dengan Ilmu hukum sendiri merupakan bagian dari ilmu sosial, dengan obyeknya dunia nyata, filosofisnya pragmatisme dan fokus sentralnya proses pembuatan putusan pengadilan

Pandangan Sosiologi terhadap Hukum
Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat dan perilaku masyarakat
Hukum merupakan refleksi moralitas masyarakat maupun moralitas universal
Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap keadilandan ketertiban sosial dalam menata interaksi sosial di masyarakat

Faktor Penyebab gerakan Hukum berorientasi Sosiologis
Berkembangnya ilmu pengetahuan; aliran sejarah hukum, ilmu sosial (sosiologi), ilmu politik, filsafat hukum; Dinamika industrialisasi, urbanisasi, demokrasi, teknologi, dan globalisasi ; Teori tradisional bahwa masyarakat merupakan suatu ikatan hubungan hukum; Berkembangnya hukum secara evolutif dari “status” (feodalistik) ke “kontrak” (modern); Analisis Durkheim dengan teorinya “rekonstruksi” ; adanya perubahan dari masyarakat segmental (hak dan keawajiban pada unit yang tdk signifikan) ke fungsional (kesadaran kolektif/solidaritas organik); Hukum berubah dari represif menjadi restitutif


Prinsip Sosiologi Hukum;
1. Hukum sebagai struktur normatif dibedakan dengan masyarakat sebagai kehidupan faktual dan sebagai aksi bersifat interelasi
2. Hukum dan masyarakat merupakan dua variabel independen (dipengaruhi karakter evolutif hukum)
3. Dapat dilakukan uji hipotesis yang empiris tentang hubungan antara hukum dan masyarakat

Tahap perkembangan sosiologi hukum;
1. Tahap Primitif/missioner
- hukum merupakan wilayah tertutup
2. Tahap Keahlian dan Keterampilan Sosiologis
- adanya kajian terhadap masyarakat dalam penelitian tentang hukum
3. Tahap Otonomi dan kematangan intelektual
- fakta-fakta sosiologis dikaji dalam hukum secara mendalam ??

Pemikiran dan perintis sosiologi hukum adalah;
1. EMILE DURKHEIM
 Pengaruh logika positivis sangat besar
 Konsepnya; kesadaran kolektif, pikiran kelompok, pemikiran kolektif dan solidaritas sosial
 Adanya pergerakan pararel antara hukum yang represif dan solidaritas mekanikal & hukum yang restitutif dan solidaritas organik
 Hukum restitutif mengatur masyarakat dalam hubungan;
1. hubungan negatif
- hubungan antara manusia dengan benda tertentu
- contoh; hak property
2. hubungan positif
- hubungan dalam masyarakat sebagai akibat pembagian kerja
Semua hukum adalah hukum publik, semua hukum adalah sosial (all law is social)
2. MAX WEBER
 Konsepnya “herschaft”, konsep yang bersifat subyektif, satu individu dengan yang lainnya saling mempengaruhi
 Seseorang dapat mendominasi yang lain, yang memberikannya kekuasaan
 Kekuasaan ini dalam hukum dinamakan “dominasi hukum”
 Dominasi hukum ada tiga tahap perkembangan;
1. bentuk tradisional
(sistem hukum formal irasional)
2. bentuk otoritas kharismatik
3. bentuk hukum rasional
 Dua kategori hukum;
1. hukum yang dibuat (law making)
2. hukum yang ditemukan (law finding)
 Sosiologi hukum adalah perbuatan individu yang diadaptasikan pada tatanan yang valid
 Hukum yang diinginkan Max Weber adalah hukum murni (pure law) dari Hans Kelsen
 Masalah sentral dalam Sosiologi hukum;
1. hubungan hukum dan dominasi
2. hubungan hukum dan struktur politik
atau negara
3. hubungan hukum dan sistem ekonomi
 Sosiologi hukum berhubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial lain
3. EUGEN EHRLICH
 Konsepnya hukum yang hidup (living law) dan kehidupan hukum (legal life) yang merupakan dasar bagi suatu penemuan hukum yang bebas (free finding of law) agar hukum tertulis bisa mengadopsi kepentingan masyarakat
 Konsep living law;
- hukum memberi bentuk pada organisasi kemasyarakatan yang diorganisir masyarakat
- hukum tidak diciptakan oleh sanksi
- hukum bukan penyelesai konflik, tetapi ekspresi dari ketertiban faktual
- hukum bukan alat dari kekuasaan politik melainkan sarana perubahan sosial
- hukum bukanlah negara dan pengadilan bukan lembaga negara, tetapi hukum
negara sangat dominan dalam hukum positif
4. ROSCOE POUND
 Konsepnya “sociological jurisprudence”
 Hukum sebagai alat rekayasa masyarakat
(a tool of social engineering)
 Hukum yang baik bersifat ideal-realistik, kombinasi dari paham idealisme dan
pragmatisme;
- unsur realitas sosial
- elemen ideal berupa nilai spiritual



………….……..,,,,,,,,,,,…….………….

Senin, 08 Februari 2010

Kuliah 1

ALIRAN DAN BEKERJANYA HUKUM

Sebagai sebuah ilmu yang bersifat praksis, sosiologi hukum menganalisis hukum secara luas. Hukum itu memang tidak bisa dimaknai secara sempit dalam bentuk undang-undang semata, akan tetapi proses kelahiran sebuah undang-undang dan dampak berlakunya sebuah undang-udang (peraturan) dalam masyarakat pun perlu dikaji. Sehingga masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan sebuah peraturan. Atau hukum menghadirkan kebahagiaan dalam masyarakat. Untuk mengawali pembahasan dalam mata kuliah ini kita akan mengenali hukum itu lebih dekat, sehingga kita tidak menyimpulkan bahwa hukum itu sama dengan produk perundang-undangan.

1. ALIRAN DALAM HUKUM
Aliran pemikiran hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia sering dilihat sebagai suatu jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran yang dominan pada suatu waktu. Aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum itu secara konvensional (Barat) dibedakan atas;
1. Hukum Alam
Hukum alam tumbuh di Yunani dan Romawi yang di kedua negara tersebut memiliki perbedaan dalam penerapannya. Karena memang hukum alam ini tidak tunggal. Pemikiran Yunani tentang Hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan Romawi lebih praktis dan mengaitkan hukum alam dengan hukum positif. Tiga tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari Yunani adalah Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa berhukum itu untuk menciptakan keadilan, baik keadilan korektif atau distributif. Tokoh dari Romawi adalah Cicero yang menyatakan konsepnya true law (hukum yang benar) harus berdasarkan pada penalaran yang benar (right reason).
Hukum alam sebagai metode selalu berusaha untuk menciptakan aturan-aturan yang mampu menghadapi keadaan yang berbeda-beda. Ia tidak mengandung kaidah, tetapi hanya mengajarkan bagaimana membuat aturan yang baik. Hukum alam secara substansi merupakan hukum alam yang membuat kaidah-kaidah. Ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dari beberapa asas yang absolut sifatnya yang dikenal dengan Hak Azasi Manusia.
2. Positivisme
Aliran positivisme berakar dari filsafat Yunani yakni Epicurus. Sementara itu positivsme dari aliran hukum mendapat banyak pengaruh dari positivisme sosiologis yang dimotori oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Kaum positivis menganut paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Dalam kajian sains hanya ada satu saja metode untuk menghasilkan kesimpulan yang lugas, yakni metode scienties. Mempelajari benda-benda mati dalam ilmu Fisika sama halnya dengan mempelajari manusia yang memiliki jiwa dan ruh. Perilaku pada ranah yang berbeda itu sama-sama dikontrol oleh hukum sebab akibat yang berlaku universal. Menurut Rousseau, positivisme sepertinya hendak menyatakan bahwa manusia-manusia itu memang dilahirkan sebagai makhluk bebas, akan tetapi di dalam kehidupan yang nyata di masyarakat mereka akan menemukan dirinya terikat dimana-mana. Kehidupan manusia dikontrol dan dikuasai oleh seperangkat hukum positif yang lengkap dan tuntas serta bersanksi, sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa law is society. Hukum dipositifkan dengan statusnya yang tertinggi diantara berbagai norma (the supreme state of law), yang teridri dari pernyataan tentang berbagai perbuatan yang didefinisikan sebagai “fakta hukum” dengan konsekuensinya yang disebut “akibat hukum”.
Perkembangan hukum yang diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara bangsa yang modern ini mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian dalam pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib itu. Hukum menurut modelnya yang baru ini diperlukan para reformis untuk mengatasi kesemena-menaan para penguasa otokrat yang mengklaim dirinya sebagai secara sepihak sebagai penegak hukum yang bersumber dari kekuasaan Ilahi yang maha Sempurna.
Dari sinilah berawal pemikiran yang mengetengahkan dan memperjuangkan ide bahwa apa yang dimaklumatkan sebagai hukum harus mempunyai statusnya yang positif dalam arti telah disahkan tegas-tegas (positif) sebagai hukum dengan membentuknya dalam wujud produk perundang-undangan. Inilah pemikiran positivisme yang berkembang pasca revolusi Perancis yang serta merta menolak segala pemikiran yang serba metafisik dan menolak praktik-praktik penyelenggaraan tertib kehidupan atas dasar rujukan yang metayuridis. Inilah tipe hukum yang dikenal dengan istilah hukum undang-undang. Setiap unsur-unsur yang ada di dalamnya ditandai dengan penomoran. Setiap unsur ini terbaca sebagai aturan berupa kalimat yang menyatakan ada tidaknya sutau peristiwa atau perbuatan tertentu (disebut dengan fakta hukum), yang disusul dengan pernyataan tentang apa yang akan menjadi akibatnya (akibat hukum). Sehingga dalam khazanah peristilahan hukum nasional modern, setiap baris aturan dalam setiap undang-undang disebut norma-norma positif dan keseluruhannya disebut dengan hukum positif. Jaminan akan berlakunya kepastian hukum, demi terwujudnya keteraturan dalam kehidupan nasional yang diupayakan lewat langkah-langkah poistivisasi dan sistematisasi.
Hukum nasional yang menganut ajaran positivisme yang marak di Barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 18 ini kemudian dikenali sebagai hukum positif dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan. Berawal dari sini lahirnya hukum nasional yang dituliskan atas dasar konsep-konsep kaum positivis yang akan dirawat oleh sebarisan hukum yang profesional. Dari sini awal mula hukum sebagai norma-norma penata tertib yang tidak menjadi bahasan para filosof dan atau kaum moralis, melainkan kian berlanjut ke para ahli hukum penggunanya (ahli hukum, the lawyers) dan atau pengkajinya yang ilmuwan (sarjana hukum, jurist). Dari sini lahirlah kajian ilmu baru yang disebut dengan ilmu hukum tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang mengikuti norma-norma.
Kritik terhadap paham legisme diberikan oleh kelompok Critical Legal Study (CLS) yang sejak tahun 1970an mengkritik pikiran berikut rasional dan rasionalitas kaum yuris legal yang liberal itu. Adalah paradigma mereka yang tergabung dalam CLS yang mehatakan bahwa masyarakat bukanlah struktur yang terbangun sepenuhnya dari konsensus-konsensus dan yang karena itu lalu mampu bertahan secara penuh dan berterus pada konsensus-konsensus itu. Kritik yang dilakukan oelh kaum CLS pada tahun 1970an tersebut sebenarnya sudah dilakukan pada tahun 1940an oleh kaum Realist
3. Utilitarianisme
Aliran ini bahwa tujuan hukum dan keadilan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang dan tujuan peruandang-undangana dalah untuk kebahagiaan semua orang (masyarakat); John Stuart Mill yang menyatakan bahwa berhukum adalah suatu tindakan untuk pencapaian kebahagiaan dan sangat keliru jika hukum tidak bertujuan untuk mendapatkannya; Rudolf Von Jhering yang menyatakan bahwa hukum bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik.
4. Hukum Murni
Tokohnya adalah Hans Kelsen, tetapi banyak juga yang menggolongkan pada golongan positivisme karena pandangannya tentang isi kaedah-kaedah hukum yang merupakan produk dari negara. Secara ringkas Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum, seperti; sejarah, moral, sosiologis, politik dan sebagianya. Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Menurutnya keadilan adalah masalah ideologi yang ideal rasional….
5. Historisme
Tokohnya adalaah Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran historisme adalah bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan kekuatan inti rakyat dan akhirnya mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Hukum itu bukan dibuat akan tetapi ditemukan dalam masyarakat, hukum yang benar-benar hidup adalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah ketidakpercayaan pada pembuatan undang-undang dan kodifikasi. Peranan pakar hukum lebih penting daripada pembuatan undang-undang.
6. Sosiologis
Hukum adalah kenyataan sosial dan bukan hukum sebagai kaidah. Hubungan antara positivisme dan sosiologis adalah keduanya memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau perundang-undangan. Kalau positivisme memandang kaidah-kaidah dalam bentuk undang-undang, sedangkan sosiologis memandang hukum adalah kenyataan sosial. Ia mempelajari bagaimana dan mengapa tingkah laku sosial yang berhubungan hukum dan pranata hukum sebagaimana yang berlaku di suatu negara. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri sedangkan sosiologi hukum memandang hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada di dalam masyarakat; ekonomi, politik, budaya, sosial. Positivisme hanya mempersoalkan hukum sebagai das sollen (apa yang seharusnya), sedangkan sosiologi hukum memandang hukum sebagai das sein (dalam kenyataannya). Positivisme berpandangan yuridis dogmatis sedangkan sosiologi hukum berpandangan empiris. Metode yang digunakan oleh positivisme adalah preskriptif yaitu menerima hukum positif dan penerapannya sedangkan sosiologi adalah deskriptif.
7. Antropologis
Hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk survival, hukum juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
8. Realisme
Aliran ini tumbuh dari aliran realias dalam pemikiran filsafat umum. James dikenal sebagai pencetus teori pragmatis, suatu filsafat positif yang menolak sistem tertutup dan berlaku absolut dan asli dan beralih pada pandangan tentang fakta-fakta, tindakan, kekuatan (powers). Hal ini dimungkinkan untuk melawan hal-hal yang bersifat dogmatik, artifisial dan menganggap ada kebenaran mutlak. Para Yuris yang beraliran realis pada umumnya berpendapat bahwa ilmu hukum yang sesungguhnya adalah dibangun dari suatu studi tentang hukum dalam pelaksanaannya (the law in action).
1. Realisme Amerika
Tokoh-tokohnya adalah; Oliver Wendell Holmes, selama 30 tahun menjabat Hakim Agung dengan kata-katanya yang terkenal the life of the law has been, not logic, but experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang penting. Hukum adalah kelakuan aktual para hakim (patterns of behaviors) dimana patterns of behaviour (keputusan) hakim itu ditentukan oleh 3 faktor; kaidah-kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi, moral hidup pribadi hakim dan kepentingan sosial. Llewellyn menyatakan bahwa hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus menerus berubah. Tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Masyarakat merupakan proses yang terus menerus berubah secara berkesinambungan sehingga perubahan hukum merupakan hal yang esensial. Hal yang fundamental bagi aliran realis adalah keyakinan mereka tentang perlunya investigasi yang menggunakan metode objektif. Jerome Frank dengan pengertiannya bahwa hukum adalah bukan Undang-undang melainkan seperangkat kenyataan-kenyataan, suatu keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kenyataan yang ada. Benjamin Cardoso, seorang hakim yang terkenal di USA, Pokok-pokok pandangannya adalah hukum adalah kegiatan hakim di pengadilan yang terikat pada tujuan hukum, yaitu kepentingan umum; hakim bebas memutus tetapi dengan batasan, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Realisme Skandinavia
Bersama dengan aliran Amerika merupakan suatu penolakan umum terhadap das sollen dalam studi hukum dan juga menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan kenyataan-kenyataan dari sistem hukum. Realisme ini lebih menitikberatkan perhatiannya pada aspek-aspek perilaku hakim daripada pernyataan-pernyataan tentang hukum yang tumbuh dari perhatian pada sifat hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum.
Banyaknya aliran hukum yang berkembang di dunia tersebut, akan tetapi yang menjadi mainstream adalah dua aliran besar, yakni legal positivism dan legal realism. Sementara aliran yang lain itu mengikuti aliran yang mainstraim. Utilitarianisme, historisme, sosiologis-antropoligis mempunyai landasan pikir yang sama dengan Realisme. Sedangkan aliran alam merupakan cikal bakal lahirnya aliran positivisme yang berkembang saat ini.
Positivisme dan Realisme sama-sama melahirkan hukum positif yang belaku di masyarakat. Dalam positivisme disebut sebagai undang-undang (law), Realisme dikenal dengan act. Proses pembuatan peraturan tersebut juga melibatkan badan legislatif, yang membedakan adalah pada pelaksanaannya. Aliran Positivisme selalu mengacu pada undang-undang untuk mengatur masyarakat atau yang dikenal dengan hukum positif artinya hukum yang diacu saat ini yang mengatur secara tegas-tegas suatu kasus tertentu. Kebalikannya dengan realism yang lebih mengutamakan hati nurani masyarakat dalam menerapkan sebuah undang-undang. Sehingga Realisme sangat cepat dalam merespon setiap fakta hukum yang berkembang, sedangkan Positivisme agak lambat merespon sebuah persoalan yang ada di masyarakat. Keterlambatan tersebut dikarenakan mengacu kepada setiap prosedur secara detil dalam menghadapi setiap peristiwa hukum dan untuk menghasilkan peraturan yang baru. Realisme berkembang sebagai kritik terhadap positivisme dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan aspek kemanusiaan atau hati nurani (conscience) dalam berhukum. Aliran realisme selalu disebut sebagai pahlwan karena dalam bekerjanya hukum selalu mempunyai itikad baik dan memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama pihak yang tertindas dalam berhukum. Sementara itu positivisme dianggap berhukum yang tidak berperasaan dan tidak mempunyai keberpihakan kepada masyarakat yang lemah. Untuk menutupi kekurangan tersebut, maka lahirlah Lembaga yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan adanya MK tersebut masyarakat bisa mengadukan persoalannya yang tidak diakomodir oleh produk hukum yang berlaku. Perkembangan Realisme di Indonesia mulai tahun 1990- an semenjak merebaknya kekuatan civil society di Indonesia, dengan motor penggeraknya YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Sementara dari perseorangan, pak Satjipto Rahardjo yang mengembangkan aliran Realisme dengan paradigma hukum progresif.
Dalam praktek peradilan pidana, kedua aliran tersebut mempunyai praktek yang sangat berbeda. Aliran positivism, perangkat hukumnya adalah; judge (hakim), lawyer (pengacara) dan atternoy (jaksa). Decision maker (pengambil keputusan) dalam sidang adalah Hakim, melalui sidang majelis hakim. Yang mengakibatkan hakim adalah seorang yang dipuja-puja kebenarannya dalam memutuskan perkara. Hakim adalah dewa dan “disembah” oleh para tersangka dan dihormati oleh pekerja hukum yang lainnya karena peranannya yang sangat besar dalam memutuskan sebuah perkara. Aliran Realisme, perangkat hukumnya tidak terpusat pada seorang hakim. Decision makernya ada pada jury, sekelompok perwakilan masyarakat yang terdiri dari berbagai profesi dan memiliki kapasitas untuk memutuskan perkara. Hakim berfungsi sebagai fasilitator yang berperan memeberikan asistensi kepada para Jury tersebut, artinya kekuasaan tertinggi bukan pada hakim. Selain hakim dan jury, pekerja hukum yang lainnya sama dengan positivism,yakni aternoy (jaksa) yang mempunyai peranan penuntut umum.
Kedua aliran mempunyai sisi kelemahan dalam praktek pidana. Keterpusatan pada hakim ataupun pada jury, menyebabkan kedua pekerja hukum rawan aksi penyuapan oleh para tersangka. Hal tersebut menjadi sisi kelemahan kedua aliran. Menurut Boaventura De Sausa Santos mengatakan bahwa ada tiga tahapan pada penyempurnaan berlakunya hukum di sebuah negara, yakni 1) the frontier; 2) the baroque; 3) the South. Pada tahap pertama (The Frontier) merupakan tahap awal berkembangnya masyarakat yang masih belum teratur dan masih berlaku hukum adat yang tidak terulis. Masyarakat sangat cair relasi sosialnya, hirarkhi sosial yang sangat lemah dan bercampurnya peninggalan sejarah dan penemuan baru dalam masyarakat. Bangunan masyarakat pada periode ini sangat lambat dan ruwet. Pada masyarakat seperti itu, tidak aturan yang secara tertulis berlaku, semuanya normatif dan identik dengan suasana “kacau balau”.
Pada tahapan masyarakat yang kedua, digambarkan seperti design bangunan seni dan arsitektur pasca klasik pada abad ke-17 di Eropa atau design kebudayaan negara-negara di Amerika Latin. Bangunan ini merupakan bangunan yang sangat eksentrik dari sebuah kebudayaan modern. Pada tahap ini masyarakat sudah mempunyai kebudayaan dan sosial yang kreatif, mempunyai kodifikasi, mempunyai bangunan dan hukum yang nyata. Pada tahap ini berlaku hukum tertulis seperti apa yang kita kenal saat ini berupa produk undang-undang dan menunjukan suatu keteraturan.
Tahapan ketiga ini merupakan tahapan tertinggi suatu masyarakat karena peraturan yang berlaku di sebuah negara adalah tidak hanya untuk melanggengkan kekauasaan dari bangsawan, akan tetapai memberikan keadilan bagi kelompok yang tertindas juga. Hukum yang selama ini berlaku adalah hukum yang “mengeksploitasi dan tidak memberikan akses yang sam” bagi semua golongan dalam masyarakat. Hukum pada tahap The South mempunyai semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut.
Untuk bisa melihat bekerjanya hukum, kita awali dengan proses-proses sebuah hukum bisa berlaku menjadi sebuah peraturan yang berlaku di masyarakat;

1. Pembuatan hukum
Proses pembuatan hukum mempunyai hubungan dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum tersebut sebagai sebuah fungsi dalam masyarakat. Di dalam hubungannya dengan masyarakat dimana pembuatan hukum itu dilakukan, orang membedakannya dengan beberapa model. Menurut Chambliss dan Seidman dua model masyarakat tersebut adalah;
1. Masyarakat yang berbasiskan kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus)
Masyarakat kategori ini minim sekali mengalami konflik karena atau ketegangan sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi landasan hidupnya. Unsur-unsur yang menjadi pendukung kehidupan sosial itu dapat terangkum dalam satu kesatuan yang laras (well integrated). Di dalam masyarakat tersebut masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku dalam masyarakat itu. Pembuatan hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh warga masyarakat.
2. Masyarakat yang berdasarkan Konflik
Pada model ini masyarakat dinilai sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warga masyarakat mendapatkan tekanan dari sebagian masyarakat yang lain. Pembuatan hukum tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat

2. Bekerjanya Hukum di Pengadilan
Dilihat dari kaitan sosialnya, setiap pengadilan itu merupakan respon dari susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan yang dimaksud adalah sebagai pranata sosial untuk menyelesaikanya sengketa yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan pranata yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah, Chambliss menyebutkan ada dua unsur yang menentukan;
1. Tujuan yang hendak dicapai untuk menyelesaikan sengketa. Apabila hendak mendamaikan orang yang bersengketa maka cara yang dilakukan adalah mendamaikan
2. Tingkat perlapisan yang ada di dalam masyarakat, semakin tinggi tingkat perlapisan yang ada di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan niali-nilai yang terdapat disana. Berdasarkan dua unsure tersebut menunjukan, bahwa masyarakat yang kurang berlapis dan kurang kompleks maka penyelesaian yang dilakukan lebih dipilih cara perukunan dan begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan bagan berikut ini;
Tabel 1; Pranata yang digunakan masyarakat untuk menyelesaikan masalah
Masyarakat kurang komplek Masyarakat Komplek
Masyarakat kurang berlapis Perukunan
Perukunan Penerapan hukum
perukunan
Masyarakat berlapis Perukunan
Penerapan hukum Penerapan hukum
Penerapan hukum
(dikutip dari Satjipto, 1995)

Unsur-unsur yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengolahan sebuah sengketa di pengadilan;
1. Cara-cara bagaimana persoalan itu bisa sampai di pengadilan
Syarat dasar bagi persoalan sampai pengadilan; pengetahuan tentang hukum dan kemampuan keuangan. Baik perkara pidana dan perdata, tetapi mayoritas perkara pidana. Masuknya perkara pidana tergantung dari lembaga-lembaga hukum yang bertugas menangani perkaranya, misalnya kepolisian. Secara umum, kepolisian lebih mudah memperkarakan orang miskn daripada orang kayak arena keterbatasan sumber ekonomi dan politiknya.
1. Sumber-sumber teori
2. Atribut-atribut pribadi hakim
Seorang hakim mempunyai peran sebagai berikut; pengemban nilai-niali yang dihayati oleh masyarakat, hasil pembinaan masyarakat dan menjadi obyek pengaruh pada massanya. Secara umum hakim itu berasal dari pembinaan oleh hakim senior sebelumnya dengan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Menurut Dahrendoorf, mayoritas hakim berasal dari kelas atas, sehingga jika menangani kasus kelas menengah ke bawah, merupakan dunia yang lain bagi seorang hakim dan bisa jadi sebuah ancaman bagi dirinya.
3.Sosialisasi professional hakim
Pendidikan sarjana hukum di Indonesia itu masih menekankan pada keterampilan untuk menerapkan hukum bukan untuk melakukan pembaharuan hukum, berbuat kreatif, mencari alternatif-alternatif pengaturan yang lebih sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
4. Tekanan-tekanan keadaan terhadap hakim
Kondisi sosial menempatkan hakim pada posisi yang paling tinggi di dalam setiap aspek kehidupan. Seorang hakim memilki previllige yang tinggi dibandingkan dengan masyarakt yang bekerja di sektor pekerjaan yang lain.
5. Tekanan-tekanan keorganisasian terhadap hakim
Pengadilan merupakan lembaga yang mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, sehingga mereka mengembangkan kehidupan sendiri, membentuk norma-norma sendiri untuk mewujudkan tujuannya sendiri pula. Sehingga pengadilan pun juga dituntut untuk melakukan kegiatan yang bersifat rasional ekonomis dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut;
1. Berusaha untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal bagi lembaganya
2. Berusaha menekan sampai batas minimal, beban-beban yang menekan organisasinya.
3. Alternatif-alternatif peraturan yang bisa dipakai

4. Pelaksanaan Hukum (Hukum sebagai suatu proses)
Hukum diciptakan untuk dijalankan. Menurut Scholten; hukum yang tidak pernah dijakankan pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum. Hukum juga bukan dari keluaran pabrik yang begitu keluar langsung bisa dipakai. Akan tetapi perlu dipersiapkan piranti untuk mendukungnya. Itu artinya hukum hanya bisa berjalan jika ada manusia, yang sekaligus juga mencipakan hukum itu sendiri. Disinilah peranan sosiologi hukum, yang memandang bahwa hukum itu bukan hanya seperangkat peraturan yang bersifat statis akan tetapi sebagai sebuah proses. Hukum itu tampak pada sidang-sidang pengadilan, dalam tindakan para pejabat atau pelaksana hukum, dalam kantor-kantor pengusaha dan juga dalam hubungan-hubungan yang dilakukan oleh dan diantara para anggota masyarakat satu sama lain (Soerjono Soekanto, sosiologi pengantar).
Apakah hukum yang dijalankan oleh masyarakata dalah cerminan dari hukum yang dituangkan dalam peraturan? Roscoe Pound membuat pembedaan antara law in book and law in action. Pembedaan itu mencakup hal-hal sebagai berikut; apakah hukum yang berlaku dalam bentuk peraturan yang diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu, apakah yang dikatakan oleh pengadilan itu sama dengan apa yang dilakukan olehnya, apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh sutau peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataan (Edwin,hal 39. Menurut Van Doorn, dalam setiap pengorganisasian itu banyak kita dapati manusia itu terjatuh pada luar bagan yang telah ditetapkan. Perbuatan manusia tersebut sangat sulit untuk didisiplinkan oleh organisasi karena masyarakat yang diwajibkan untuk menaati bagan tersebut memiliki latar belakang yang berbeda; kepribadian, asal usul sosial, kepentingan ekonomi dan politik serta pandangan hidupnya.

5. Hukum dan nilai-nilai di dalam masyarakat
Pembahasan mengenai pola-pola penyelenggaraan hukum oleh badan-badan yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum telah memperlihatkan hal penyimpangan antara produk hukum dan pelaksanaannya. Hukum berupaya untuk menetapkan pola hubungan antara masyarakat dan merumuskan nilai-nilai yang diterapkan oleh masyarakat menjadi bagan atau stereotype (Soekanto, hal 25). Sehingga hal ini berhubungan dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarak at. Norma menurut Parson adalah suatu deskripsi tertulis mengenai perbuatan yang konkret dan dipandang sebagai suatu perbuatan yang diinginkan, sedangkan nilai diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang.
Menurut Lon L. Fuller hukum itu adalah sebagai sebuah usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Usaha tersebut tergantung pada energy, wawasan, intelegensia dan kejujuran dari mereka yang menjalankan hukum. Delapan nilai yang harus dimiliki oleh hukum yang disebut sebagai delapan prinsip legalitas, adalah;
1. Harus ada peraturan yang terlebih dahulu, artinya tiadan ada tempat bagi keputusan ad hoc atau tindakan arbitrer
2. Peraturan itu harus diumumkan kepada khalayak
3. Peraturan tersebut tidak berlaku surut
4. Perumusan peraturan-peraturam itu harus jelas dan terperinci (mudah dimengerti)
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
6. Diantara peraturan tidak boleh ada pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya
7. Peraturan tersebut harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah
8. Harus terdapat kesesuaian antara pejabat hukum dengan peraturan yang dibuatnya.
Kegagalan menajalankan salah satu dari asas hukum tersebut disebut sebagai sistem hukum yang jelek.
Fungsi hukum adalah sebagai berikut; melayani kebutuhan-kebutuhan elementer bagi kelangsungan kehidupan sosial (memepertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan penyimpangan). Singkatnya untuk menjaga ketertiban dan control sosial. Pendapat yang lain menyatakan bahwa hukum adalah suatu lembaga di dalam masyarakat yang menegakan ketertiban dan menjalankan control, sehingga di dalam hukum itu harus memiliki nilai-niai tersendiri yang harus diwujudkan. Semakin masyarakat mengaitkan hukum dengan nilai-nilai yang harus diwujudkan, maka semakin besar fungsi hukum itu dalam melindungi hak-hak manusia. Selznick mengatkan hukum dengan latar belakang masyarakat yang menganut nilai-nilai tertentu. Misalnya; demokrasi.
Telaah tentang hukum yang dikaitkan dengan nilai-nilai serta sikap-sikap terhadap sistem hukum dikembangkan menjadi konsep kultur hukum yang membedakan dengan sistem hukum. Sistem hukum lebih berfokus pada prosedur yang lebih menunjukan pada konsepsi hukum prosedural. Sistem hukum ada 2 macam; common law dan civil law.
Friedman merumuskan Kultur Hukum sebagai berikut; sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama dengan sikap-sikap dan nilai terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya baik secara positif atau negative. Berhubungan dengan ini, ketika kita mengamati bekerjanya hukum, maka kita harus melihatnya sebagai suatu proses, yakni apa yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga hukum dan bagaimana mereka melakukannya. Sehingga kita bisa melihat hukum diluar dari kerangka hukum itu sendiri, tetapi nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Komponen untuk melihat bekerjanya hukum;
1. Struktural
Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Secara struktural ini dapat melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan-penggarapan bahan hukum secara teratur.
Misalnya; ada pengadilan negeri, tinggi, administrasi atau agama
2. Kultural
Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
Kultural hukum berfungsi untuk bensinnya motor keadilan
3. Substantif
Komponen ini adalah segi output sistem hukum, ke dalam pengertian ini dimasukan norma-norma hukum itu sendiri baik berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan. Komponen substantif ini tidak terikat pada formalitas tertentu, apakah undang-undang ataupun peraturan. Yang dipentingkan apakah ia digunakan di dalam masyarakat.
Ketiganya menyatu dan saling berinteraksi dan membentuk sistem hukum.